Translate

Rabu, 22 Oktober 2014

Dimensi dan Determinan Partisipasi dalam Pemberdayaan Masyarakat



BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang 
Penggerakkan dan pemberdayaan masyarakat adalah segala upaya fasilitas yang bersifat persuasif dan melalui pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, perilaku, dan kemampuan masyarakat dalam menemukan, merencanakan serta memecahkan masalah menggunakan sumber daya atau potensi yang mereka miliki termasuk partisipasi dan dukungan tokoh – tokoh masyarakat serta LSM yang masih ada dan hidup di masyarakat (Suhendra, K. 2006).
Penggerakkan dan pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan akan menghasilkan kemandirian masyarakat di bidang kesehatan dengan demikian penggerakkan dan pemberdayaan masyarakat merupakan proses sedangkan kemandirian merupakan hasil, karenanya kemandirian masyarakat dibidang kesehatan dapat diartikan sebagai kemampuan untuk dapat mengidentifikasi masalah kesehatan yang ada di lingkungannya. Peran serta masyarakat di dalam pembangunan kesehatan dapat diukur dengan makin banyaknya jumlah anggota masyarakat yang mau memanfaatkan pelayanan kesehatan seperti, Puskesmas, Pustu, Polindes, mau hadir ketika ada kegiatan penyuluhan kesehatan, mau menjadi kader kesehatan, mau menjadi peserta Tabulin, JPKM, dan lain sebagainya (Notoatmodjo, 2006).
Partisipasi masyarakat adalah proses dimana individu, keluarga, lembaga swadaya masyarakat, dunia usaha dan masyarakat luas pada umumnya, bidan bersama sektor yang bersangkutan menggerakkan masyarakat dalam bentuk pengorganisasian masyarakat yaitu proses pembentukkan organisasi di masyarakat dan dapat mengidentifikasi kebutuhan prioritas dari kebutuhan tersebut, serta mengembangkan keyakinan dan berusaha memenuhi atas sumber – sumber yang ada di masyarakat (Fahrudin, A., 2008).
Partisipasi masyarakat memiliki banyak bentuk, mulai dari keikutsertaan langsung masyarakat dalam program pemerintahan maupun yang sifatnya tidak langsung, seperti sumbangan dana, tenaga, pikiran, maupun pendapat dalam pembuatan kebijakan pemerintah. Namun demikian, ragam dan kadar partisipasi sering kali ditentukan secara masif yakni dari banyaknya individu yang dilibatkan. Padahal partisipasi masyarakat pada hakikatnya akan berkaitan dengan akses masyarakat untuk memperoleh informasi. Hingga saat ini partisipasi masyarakat masih belum menjadi kegiatan tetap dan terlembaga khususnya dalam pembuatan keputusan. Sejauh ini, partisipasi masyarakat masih terbatas pada keikutsertaan dalam pelaksanaan program-program atau kegiatan pemerintah, padahal partisipasi masyarakat tidak hanya diperlukan pada saat pelaksanaan tetapi juga mulai tahap perencanaan pengambilan keputusan (Direktorat Kerjasama Pembangunan Sektoral dan Daerah, 2010)
Kesehatan Masyarakat tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat, keberhasilan program-program promosi kesehatan dalam rangka upaya peningkatan kesehatan bergantung kepada dukungan masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu peran serta masyarakat mutlak di dalam suatu upaya kesehatan termasuk upaya kesehatan ibu dan anak. Upaya kesehatan bukan oleh pemerintah saja, peran serta  masyarakat merupakan unsur mutlak dalam kegiatan upaya kesehatan  kemandirian masyarakat diperlukan untuk mengatasi masalah kesehatannya dan menjalin upaya pemecahannya sendiri adalah kunci kelangsungan pembangunan. GBHN mengamanatkan agar dapat dikembangkan suatu sistem kesehatan nasional yang semakin mendorong peningkatan peran serta masyarakat (Notoatmodjo, 2006).
Konsep pemberdayaan mengemukan sejak dicanangkannya Strategi Global WHO tahun 1984, yang ditindaklanjuti dengan rencana aksi dalam Piagam Ottawa. Dalam deklarasi tersebut  dinyatakan tentang perlunya mendorong terciptanya kebijakan berwawasan kesehatan, lingkungan yang mendukung, reorentasi dalam pelayanan kesehatan, keterampilan individu, dan gerakan masyarakat. Olehnya itu, untuk lebih jelasnya makalah ini akan membahas tentang dimensi dan determinasi partisipasi dalam pemberdayaan masyarakat (Fahrudin, A., 2008).
B.   Rumusan Masalah
    Berdasarkan latar belakang tersebut maka dirumuskan masalah adalah : Bagaimanakan dimensi dan determinan partisipasi dalam pemberdayaan masyarakat?
C.   Tujuan
     Adapun tujuan dalam penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui tentang dimensi dan determinan partisipasi dalam pemberdayaan masyarakat.
D.  Manfaat
1.   Bagi Institusi sebagai sumber informasi untuk menentukan kebijakan dalam mendukung program-program pemberdayaan masyarakat.
2.   Bagi Mahasiswa Prodi Kesehatan Masyarakat, agar dapat menambah wawasan dan memperluas cakrawala berpikir khususnya tentang dimensi dan determinan pemberdayaan masyarakat.
3.   Bagi masyarakat agar dan dapat meningkatkan partisipasinya dalam pembangunan kesehatan.

 

BAB II
PEMBAHASAN

A.   Pemberdayaan Masyarakat
1.    Pengertian Pemberdayaan
         Menurut definisinya, pemberdayaan dapat diartikan sebagai upaya peningkatan kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi, bernegosiasi, mempengaruhi, dan mengendalikan kelembagaan masyarakatnya secara bertanggung-gugat demi perbaikan kehidupannya. Pemberdayaan, dapat juga diartikan sebagai upaya untuk memberikan daya (empowerment) atau kekuatan (strength) kepada masyarakat (Fahrudin, A., 2008).
Keberdayaan masyarakat, adalah unsur-unsur yang memungkinkan masyarakat mampu bertahan (survive) dan (dalam pengertian yang dinamis) mampu mengembangkan diri untuk mencapai tujuan-tujuannya. Dengan kata lain, memberdayakan masyarakat adalah meningkatkan kemampuan dan meningkatkan kemandirian masyarakat (Notoatmodjo, 2007).
Empowerment atau pemberdayaan secara singkat dapat diartikan sebagai upaya untuk memberikan kesempatan dan kemampuan kepada kelompok miskin untuk bersuara (voice) serta kemampuan dan hak untuk memilih (choice). Karena itu,pemberdayaan dapat diartikan sebagai proses terencana guna meningkatkan skala/upgrade utilitas dari objek yang diberdayakan. Dasar pemikiran suatu objek atau target group perlu diberdayakan karena objek tersebut mempunyai keterbatasan, kewtidakberdayaan, keterbelakangan, dan kebodohan dari berbagai aspek. Oleh karenanya guna mengupayakan kesetaraan serta untuk mengurangi kesenjangan diperlukan upaya merevitalisasi untuk mengoptimalkan utilitas melalui penambahan nilai. Penambahan nilai ini dapat mencakup pada ruang bidang aspek sosial, ekonomi, kesehatan, politik, dan budaya (Fahrudin, A., 2008).
2.    Jenis Upaya Pemberdayaan Masyarakat :
a.    Upaya meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan masyarakat (secara sistematis) untuk:
1)    Mempunyai daya/kekuatan (mampu bertahan à mampu mengembangkan diri à mampu mandiri)
2)    Memberikan kesempatan & kemauan bersuara
3)    Kemampuan dan hak untuk memilih.
b.    Upaya meningkatkan peran aktif masyarakat untuk mencegah & mengatasi masalah dengan kegiatan dari, oleh, dan untuk masyarakat (Notoatmodjo, 2007).
3.    Syarat Tercapainya Tujuan Pemberdayaan Masyarakat
Untuk mencapai tujuan-tujuan pemberdayaan masyarakat terdapat tiga jalur kegiatan yang harus dilaksanakan, yaitu:
a.    Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat untuk berkembang. Titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia dari masyarakatnya memiliki potensi (daya yang dapat dikembangkan.
  1. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu, dengan mendorong, memberikan motivasi, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya, serta berupaya untuk mengembangkannya.
  2. Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering). Dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah lebih positif dan nyata, penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan akses kepada berbagai peluang yang akan membuat masyarakat menjadi makin dalam berdaya memanfaatkan peluang. Memberdayakan mengandung pula arti melindungi, sehingga dalam proses pemberdayaan harus dicegah yang lemah agar tidak bertambah lemah (Notoatmodjo, 2007).
B.   Partisipasi Masyarakat
Partisipasi adalah salah satu elemen pemberdayaan masyarakat yang menjadi pendukung utama bagi keberhasilan dan keberlanjutan sebuah program pembangunan. Partisipasi juga membuka peluang bagi terjadinya perubahan-perubahan yang mendasar pada masyarakat, pelaku serta aparat pemerintahan bisa terlibat, saling belajar, berbagi pengalaman dan menggabungkan kekuatan serta kemampuan yang dimiliki untuk mewujudkan perubahan yang lebih baik. World Bank (1995) dalam Gaventa, et al (2001:5) menjelaskan, partisipasi sebagai proses dimana para pemilik kepentingan (stakeholder) mempengaruhi dan berbagi pengawasan atas inisiatif dan keputusan pembangunan serta sumber daya yang berdampak pada mereka (Fahrudin, A., 2008).
Mubyarto dalam Ndraha (1990) memberikan penjelasan bahwa partisipasi merupakan kesediaan untuk membantu berhasilnya setiap program dengan kemampuan setiap orang tanpa berarti mengorbankan diri sendiri.  Selanjutnya David dalam Syamsi (1986:54) mengemukakan pengertian partisipasi sebagai berikut : “participation is defined as mental and emotional involvement of a person in a group situation which encourages him to contribute to group goal and share responsibility in them”. (Partisipasi merupakan keterlibatan seseorang dalam situasi kelompok baik secara mental maupun emosional untuk memperkuat mereka serta untuk memberi masukan terhadap tujuan kelompok dan membagi tanggung jawab masing-masing) (Notoatmodjo, 2007).
Dari definisi tersebut terdapat beberapa gagasan utama yaitu : partisipasi memerlukan keterlibatan mental dan emosi yang sama pentingnya dengan keterlibatan fisik,  Partisipasi mendorong seseorang atau kelompok untuk mendukung situasi tertentu dan Partisipasi mendorong orang untuk ikut bertanggung jawab dalam suatu kegiatan sebagai akibat dari sumbangan atau dukungan yang diberikan secara emosional dan fisik. Ketiga gagasan mengenai partisipasi ini sangat berkaitan erat dengan proses pengembangan masyarakat dalam pemberdayaan masyarakat.
Kemudian Oakley (1991:1-10) mengartikan partisipasi kedalam tiga bentuk, yaitu :
a.    Partisipasi sebagai bentuk kontribusi, yaitu interpretasi dominan dari partisipasi dalam pembangunan di dunia ketiga adalah melihatnya sebagai suatu keterlibatan secara sukarela atau bentuk kontribusi lainnya dari masyarakat desa menetapkan sebelumnya program dan proyek pembangunan.
b.    Partisipasi sebagai organisasi, meskipun diwarnai dengan perdebatan yang  panjang diantara para praktisi dan teoritisi mengenai organisasi sebagai instrumen yang fundamental   bagi partisipasi, namun dapat dikemukakan bahwa    perbedaan organisasi dan partisipasi terletak pada hakekat   bentuk organisasional sebagai sarana bagi  partisipasi, seperti organisasi-organisasi  yang biasa dibentuk atau    organisasi yang muncul dan dibentuk sebagai hasil dari   adanya proses partisipasi. Selanjutnya dalam    melaksanakan  partisipasi masyarakat dapat melakukannya  melalui  beberapa dimensi, yaitu :  
1)    Sumbangan pikiran (ide atau gagasan)
2)    Sumbangan materi (dana, barang, alat).
3)    Sumbangan tenaga (bekerja atau memberi kerja).
4)    Memanfaatkan/melaksanakan pelayanan pembangunan.
c.    Partisipasi sebagai pemberdayaan, partisipasi merupakan latihan pemberdayaan bagi masyarakat desa  (Notoatmodjo, 2007).
Berbagai penafsiran yang ada dan beragam mengenai arti kata tentang partisipasi itu sendiri yaitu :
1)    Partisipasi adalah kontribusi sukarela dari masyarakat kepada proyek tanpa ikut serta dalam pengambilan keputusan.
2)    Partisipasi adalah suatu proses yang aktif, mengandung  arti bahwa orang atau kelompok yang terkait, mengambil inisiatif dan menggunakan kebebasannya untuk melakukan hal itu.
3)    Partisipasi adalah pemantapan dialog antara masyarakat setempat dengan staf yang melakukan persiapan, pelaksanaan, monitoring proyek, agar supaya memperoleh informasi.
4)    Partisipasi adalah keterlibatan sukarela oleh masyarakat dalam perubahan yang ditentukannya sendiri.
5)    Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam pembangunan diri, kehidupan dan lingkungan mereka.
     Partisipasi sebagai “upaya terorganisasi untuk meningkatkan pengawasan terhadap sumber daya dan lembaga pengatur dalam keadaan sosial tertentu, oleh pelbagai kelompok dan gerakan yang sampai sekarang dikesampingkan dari fungsi pengawasan semacam itu (Notoatmodjo, 2007).


C.   Pemberdayaan Masyarakat Dan Partisipasi
Pemberdayaan dapat didefinisikan sebagai:
1.    To give power or authority (memberikan kekuasaan, mengalihkan kekuatan, atau mendelegasikan otoritas ke pihak lain).
2.    To give ability to or enable (upaya untuk memberikan kemampuan atau keberdayaan).
Mendelegasikan wewenang pada hakikatnya adalah memberikan kepercayaan kepada  orang/ pihak lain yang kita anggap cukup mempunyai kemampuan. Pendelegasian bukan suatu kegiatan yang dapat dilakukan tanpa pemikiran yang matang. Orang diberikan wewenang ditetapkan berdasarkan kriteria  tertentu yang ketat, sehingga pendelegasian tidak menyebabkan terganggunya pekerjaan secara keseluruhan (Suhendra, K. 2006).
Pemberdayaan adalah suatu proses aktif, dimana masyarakat yang diberdayakan harus berperan serta aktif (berpartisipasi) dalam berbagai kegiatan. Dengan demikian nantinya masyarakat akan mempunyai pengalaman aktual, yang sangat bermanfaat untuk mengembangkan program sejenis dimasa mendatang (Notoatmodjo, 2007).
Partisipasi adalah peran serta aktif anggota masyarakat dalam berbagai jenjang kegiatan. dilihat dari konteks pembangunan kesehatan,partisipasi adalah keterlibatan masyarakat  yang diwujudkan dalam bentuk menjalin kemitraan diantara masyarakat dan pemerintah dalam perencanaan, implementasi dan berbagi aktifitas program kesehatan, mulai dari pendidikan kesehatan, pengembangan program kemandirian dalam kesehatan, sampai dengan mengontrol perilaku masyarakat dalam menanggapi teknologi dan infrastuktur kesehatan (Fahrudin, A., 2008).
Studi Heller (1971) terhadap 260 orang eksekutif bisnis menunjukan bahwa partisipasi memberikan beberapa manfaat , diantaranya:
1.   Meningkatkan kualitas teknis dari pengambilan keputusan.
2.   Meningkatkan kenyamanan.
3.   Mengkatkan komuniksi.
4.   Memberikan katihan kepada bawahan.
5.   Memfasilitasi perubahan.
   Dengan demikian dapat dirumuskan adanya tiga dimensi partisipasi,yaitu:
a.  Keterlibatan semua unsure atau keterwakilan kelompok (group representation)  dalam proses pengambilan keputusan. namun mengingat sulitnya membuat peta pengelompokan masyarakat ,maka cara paling mudah pada tahap ini adalah mengajak semua anggota masyarakat untuk mengikuti tahap ini.
b.   Kontribusi  massa sebagai pelaksana /implementor dari keputusan yang diambil, ada  tiga kemungkinan reaksi masyarakatyang muncul, yaitu:
1)   Secara terbuka menerima keputusan dan bersedia melsaksanakan,
2)   Secara terbuka menolaknya, dan
3)   Tidak secara terbuka menolak, namun menunggu perkembangan yang terjadi.
Meskipun demikian, mengambil keputusan harus terus menerus mendorong agar semua pihak bersikap realistis,menerima keputusan secara bertanggung jawab,  serta secara bersama sama menanggung risiko dari keputusan tersebut.Hal ini harus disadari,karena program  program yang diputuskan adalah program yang ditujukan untuk masyarakat, oleh karenanya pelaksanya juga masyarakat (Fahrudin, A., 2008).
c.  Anggota masyarakat secara bersama-sama menikmati hasil dari program yang dilaksanakan.bagian ini penting,sebab sering terjadi karena merasa berjasa, ada pihak tertentu menuntut bagian manfaat yang paling besar.Oleh karenanya,pada tahap ini perlu ada keselarasan antara asas pemerataan dan asas keadilan (Notoatmodjo, 2007).
                  Cary (1970) mengatakan, bahwa partisipasi dapat tumbuh jika tiga kondisi berikut terpenuhi:
a.   Merdeka untuk berpartisipasi, berarti adanya kondisi yang memungkinkan anggota-anggota masyarakat untuk berpartisipasi.
b.   Mampu untuk berpartisipasi,adanya kapasitas dan kompetensi anggota masyarakat sehingga mampu untuk memberikan sumbang saran yang konstruktif untuk program.
c.   Mau berpartisipasi, kemauan atau kesediaan anggota masyarakat untuk berpartisipasi dalam program.
   Ketiga kondisi itu harus hadir secara bersama-sama. Apabila orang mau dan mampu tetapi tidak merdeka untuk berpartisipasi, maka orang tidak akan berpartisipasi. Menurut Ross (1960), terdapat tiga prakondisi tumbuhnya partisipasi, yaitu:
a.   Mempunyai pengetahuan yang luas dan latar belakang yang memadai sehingga dapat mengidentifikasi masalah,prioritas masalah dan melihat permasalahan secara komprehensif.
b.   Mempunyai kemampuan untuk belajar cepat tentang permasalahan,dan belajar untuk mengambil keputusan.
c.   Kemampuan mengambil tindakan dan bertindak efektif.
      Batasan Ross di atas sebenarnya menuntut prasyarat bahwa orang-orang yang akan berpartisipasi harus memenuhi persyaratan tertentu,yaitu kompetensi kognisi tertentu. Pendapat ini mungkin cocok diterapkan pada kelompok masyarakat yang cukup cerdas, namun mengandung banyak kelemahan apabila diterapkan pada masyarakat yang “agak terbelakang” (Notoatmodjo, 2007).
   Menurut Chapin (1939), partisipasi dapat diukur dari yang rendah sampai yang tertinggi, yaitu:
1)    Kehadiran individu dalam pertemuan-pertemuan.
2)    Memberikan bantuan dan sumbangan keuangan.
3)    Keanggotaan dalam kepanitiaan kegiatan (Fahrudin, A., 2008).
4)    Posisi kepemimpinan.
   Berdasarkan teori Chapin, maka partisipasi yang tertinggi dilakukan oleh pemimpin. Meskipun terlihat agak kontroversial, namun bisa dapat dipahami, karena dalam konteks kepemimpinan,walaupun jumlahnya paling sedikit,pemimpin menentukan keberhasilanorganisasi. Keterbukaan (inclusive) akan sangat membantu terutama dalam konteks keterbatasan diri, maupun implementasi kemitraan (partnership). Selanjutnya Sutton dan Kolaja (1960), membagi peran-peran dalam partisipasi program menjadi tiga, yaitu:
a)    Pelaku, adalah pihak yang mengambil peran dan tindakan aktif dalam program.
b)    Penerima, adalah pihak yang nantinya akan menerima manfaat dari program yang dijalankan.
c)    Publik, adalah pihak yang tidak terlibat secara langsung dalam pelaksanaan program,tetapi dapat membantu pihak pelaku.
Unsur-unsur pemberdayaan masyarakat pada umumnya adalah: (1) inklusi dan partisipasi; (2) akses pada informasi;  (3) kapasitas organisasi lokal; dan (4) profesionalitas pelaku pemberdaya. Keempat elemen ini terkait satu sama lain dan saling mendukung (Fahrudin, A., 2008).
Inklusi berfokus pada pertanyaan siapa yang diberdayakan, sedangkan partisipasi berfokus pada bagaimana mereka diberdayakan dan peran apa yang mereka mainkan setelah mereka menjadi bagian dari kelompok yang diberdayakan. Menyediakan ruang partisipasi bagi masyarakat, khususnya masyarakat miskin, dalam pembangunan adalah memberi mereka otoritas dan kontrol atas keputusan mengenai sumber-sumber pembangunan. Partisipasi masyarakat miskin dalam menetapkan prioritas pembangunan pada tingkat nasional maupun daerah diperlukan guna menjamin bahwa sumber daya pembangunan (dana, prasarana/sarana, tenaga ahli, dll)  yang terbatas secara nasional maupun pada tingkat daerah dialokasikan sesuai dengan kebutuhan dan prioritas masyarakat miskin tersebut (Suhendra, K. 2006).
      Partisipasi yang keliru adalah melibatkan masyarakat dalam pembangunan hanya untuk didengar suaranya tanpa betul-betul memberi peluang bagi mereka untuk ikut mengambil keputusan. Pengambilan keputusan yang partisipatif tidak selalu harmonis dan seringkali ada banyak prioritas yang harus dipilih, oleh sebab itu mekanisme resolusi konflik kepentingan harus dikuasai oleh pemerintah guna mengelola ketidak-sepakatan (Notoatmodjo, 2007).
                    Ada berbagai bentuk partisipasi, yaitu:
1.    Secara langsung,  dengan perwakilan (yaitu memilih wakil dari kelompok-kelompok masyarakat),
2.    Secara politis (yaitu melalui pemilihan terhadap mereka yang mencalonkan diri untuk mewakili mereka),
3.    Berbasis informasi (yaitu dengan data yang diolah dan dilaporkan kepada pengambil keputusan),
4.    Berbasis mekanisme pasar yang kompetitif (misalnya dengan pembayaran terhadap jasa yang diterima).
Partisipasi secara langsung oleh masing-masing anggota masyarakat adalah tidak realistik, kecuali pada masyarakat yang jumlah penduduknya sedikit, atau untuk mengambil keputusan-keputusan kenegaraan yang mendasar melalui referendum. Yang umum dilakukan adalah partisipasi secara tidak langsung, oleh wakil-wakil masyarakat atau berdasarkan informasi dan mekanisme pasar. Organisasi berbasis masyarakat seperti lembaga riset, LSM, organisasi keagamaan, dll. mempunyai peran yang penting dalam membawa suara masyarakat miskin untuk didengar oleh pengambil keputusan tingkat nasional dan daerah (Suhendra, K. 2006).
Walaupun keterwakilan sudah dilakukan dengan benar, proses partisipasi masih belum benar jika penyelenggaraannya dilakukan secara tidak sungguh-sungguh. Upaya yang dilandasi niat jujur untuk menampung pendapat masyarakat terhadap kebijakan yang menyangkut ruang hidup mereka dapat menjadi tidak berhasil, jika pendapat wakil-wakil masyarakat yang diharapkan mewakili kepentingan semua unsur masyarakat itu kemudian hanya diproses sekedarnya saja, tanpa upaya memahami pertimbangan apa dibalik pendapat yang diutarakan wakil-wakil tersebut (Suhendra, K. 2006).
Partisipasi semu seperti itu menambah ongkos pembangunan, tanpa ada manfaat yang jelas bagi peserta yang diajak berpartisipasi. Upaya melibatkan masyarakat dalam pengertian yang benar adalah memberi masyarakat kewenangan untuk memutuskan sendiri apa-apa yang menurut mereka penting dalam kehidupan mereka (Notoatmodjo, 2007).
Unsur ke dua, akses pada informasi, adalah aliran informasi yang tidak tersumbat antara masyarakat dengan masyarakat lain dan antara masyarakat dengan pemerintah. Informasi meliputi ilmu pengetahuan, program dan kinerja pemerintah, hak dan kewajiban dalam bermasyarakat, ketentuan tentang pelayanan umum, perkembangan permintaan dan penawaran pasar, dsb. Masyarakat pedesaan terpencil tidak mempunyai akses terhadap semua informasi tersebut, karena hambatan bahasa, budaya dan jarak fisik. Masyarakat yang informed, mempunyai posisi yang baik untuk memperoleh manfaat dari peluang yang ada, memanfaatkan akses terhadap pelayanan umum, menggunakan hak-haknya, dan membuat pemerintah dan pihak-pihak lain yang terlibat bersikap akuntabel atas kebijakan dan tindakan yang mempengaruhi kehidupan masyarakat (Suhendra, K. 2006).

Kapasitas organisasi lokal adalah kemampuan masyarakat untuk bekerja bersama, mengorganisasikan perorangan dan kelompok-kelompok yang ada di dalamnya, memobilisasi sumber-sumber daya yang ada untuk menyelesaikan masalah bersama. Profesionalitas pelaku pemberdaya adalah kemampuan pelaku pemberdaya, yaitu aparat pemerintah atau LSM, untuk mendengarkan, memahami, mendampingi dan melakukan tindakan yang diperlukan untuk melayani kepentingan masyarakat. Pelaku pemberdaya juga harus mampu mempertanggungjawabkan kebijakan dan tindakannya yang mempengaruhi kehidupan masyarakat (Fahrudin, A., 2008).
D.   Dimensi dalam Pemberdayaan Masyarakat
Tentang dimensi dan  tingkatan pemberdayaan, paling tidak ada 3 level yang harus dicapai oleh program pemberdayaan, yakni:
1.   Pemberdayaan pada level individu, berupa pengembangan potensi dan keterampilan.
  1. Pemberdayaan pada level kelompok atau organisasi, yakni yang berhubungan dengan peningkatan partisipasi kelompok dalam pembangunan.
  2. Pemberdayaan pada level kesisteman, yakni berwujud meningkatnya kemandirian masyarakat baik secara ekonomis, sosiologis, maupun politis (Notoatmodjo, 2006).
Adapun indikator dari masing-masing dimensi dan tingkatan pemberdayaan adalah sebagai berikut:
1.    Level Individu
a.    Pengembangan potensi dan keterampilan
b.    Kepemilikan aset/modal
c.    Kekuatan fisik
d.    Tidak terisolasi
e.    Penguasaan keterampilan
f.     Keberfungsian lembaga usaha
2.    Level Kelompok/Organisasi:
a.    Partisipasi dalam pembangunan
b.    Perencanaan dan pengambilan keputusan
c.    Pelaksanaan dan pengawasan keputusan bersama
d.    Pemanfaatan hasil-hasil pembangunan
3.    Level Sistem:
a.    Kemandirian masyarakat
b.    Pengurangan ketergantungan kepada bantuan luar
(Notoatmodjo, 2007).
      Menurut Jim Ife & Frank Tegoriero (2008), setidaknya ada enam dimensi pengembangan atau pemberdayaan masyarakat dan kesemuanya berinteraksi satu dengan lainnya dalam bentuk-bentuk yang kompleks. Keenam dimensi tersebut yaitu:
1.    Pengembangan sosial
2.    Pengembangan ekonomi
3.    Pengembangan politik
4.    Pengembangan budaya
5.    Pengembangan lingkungan
6.    Pengembangan personal/ spiritual
Beberapa dimensi lebih fundamental daripada lainnya; misalnya banyak orang (khususnya orang-orang pribumi) akan beranggapan bahwa pengembangan personal/spiritual merupakan landasan untuk semua pengembangan yang lain. Tetapi untuk tujuan penyusunan model pengembangan masyarakat dan model pemikiran tentang peran pekerja masyarakat, keenam dimensi di atas dipertimbangkan sebagai hal yang sangat penting (Fahrudin, A., 2008).
Dalam situasi tertentu, tidak semua dimensi ini akan memiliki prioritas yang setara. Masyarakat mana pun akan mengembangkan keenam dimensi tersebut untuk level-level yang berbeda; misalnya, satu masyarakat mungkin memiliki basis ekonomi yang kuat, partisipasi politik yang sehat dan identitas budaya yang kuat, tapi sekaligus memiliki pelayanan kemanusiaan yang kurang baik, lingkungan fisik yang buruk, harga diri yang rendah dan tingkat pengasingan yang tinggi. Dalam masyarakat yang demikian, pengembangan lingkungan dan personal/spiritual akan menjadi prioritas tertinggi dalam program pengembangan masyarakat (Notoatmodjo, 2007).
Namun begitu, masyarakat lainnya akan mencerminkan gambaran yang berbeda dan memerlukan prioritas yang berbeda dalam proses pengembangan. Poin penting yaitu bahwa keenam aspek pengembangan masyarakat tersebut sangat penting dan untuk memiliki masyarakat yang benar-benar sehat dan berfungsi, perlu mencapai level pengembangan yang tinggi untuk keenam dimensi secara keseluruhan (Fahrudin, A., 2008).
Pekerja masyarakat manapun atau siapa pun yang terkait dengan program pengembangan masyarakat harus memperhatikan keenam dimensi itu dan tujuan tersebut harus memaksimalkan pengembangan pada seluruh dimensi itu. Schuler, Hashemi dan Riley dalam (Edi Suharto;2008) mengembangkan beberapa indikator pemberdayaan, yang mereka sebut sebagai empowerment index atau indeks pemberdayaan:
a.    Kebebasan  mobilitas: kemampuan individu untuk pergi ke luar rumah atau wilayah tempat tinggalnya, seperti ke pasar, fasilitas medis, bioskop, rumah ibadah, ke rumah tetangga. Tingkat mobilitas ini dianggap tinggi jika individu mampu pergi sendirian.
b.    Kemampuan membeli komoditas ‘kecil’: kemampuan individu untuk membeli barang-barang kebutuhan keluarga sehari-hari (beras, minyak tanah, minyak goreng, bumbu); kebutuhan dirinya (minyak rambut, sabun mandi, rokok, bedak, sampo). Individu dianggap mampu melakukan kegiatan ini terutama jika ia dapat membuat keputusan sendiri tanpa meminta ijin pasangannya; terlebih jika ia dapat membeli barang-barang tersebut dengan menggunakan uangnya sendiri.
c.    Kemampuan membeli komoditas ‘besar’: kemampuan individu untuk membeli barang-barang sekunder atau tersier, seperti lemari pakaian, TV, radio, koran, majalah, pakaian keluarga. Seperti halnya indikator di atas, poin tinggi diberikan terhadap individu yang dapat membuat keputusan sendiri tanpa meminta ijin pasangannya; terlebih jika ia dapat membeli barang-barang tersebut dengan menggunakan uangnya sendiri.
d.    Terlibat dalam pembuatan keputusan-keputuan rumah tangga: mampu membuat keputusan secara sendiri mapun bersama suami/istri mengenai keputusan-keputusan keluarga, misalnya mengenai renovasi rumah, pembelian kambing untuk diternak, memperoleh kredit usaha.
e.    Kebebasan relatif dari dominasi keluarga: responden ditanya mengenai apakah dalam satu tahun terakhir ada seseorang (suami, istri, anak-anak, mertua) yang mengambil uang, tanah, perhiasan dari dia tanpa ijinnya; yang melarang mempunyai anak; atau melarang bekerja di luar rumah.
f.     Kesadaran hukum dan politik: mengetahui nama salah seorang pegawai pemerintah desa/kelurahan; seorang anggota DPRD setempat; nama presiden; mengetahui pentingnya memiliki surat nikah dan hukum-hukum waris.
g.    Keterlibatan dalam kampanye dan protes-protes: seseorang dianggap ‘berdaya’ jika ia pernah terlibat dalam kampanye atau bersama orang lain melakukan protes, misalnya, terhadap suami yang memukul istri; istri yang mengabaikan suami dan keluarganya.
h.    Jaminan ekonomi dan kontribusi terhadap keluarga: memiliki rumah, tanah, asset produktif, tabungan. Seseorang dianggap memiliki poin tinggi jika ia memiliki aspek-aspek tersebut secara sendiri atau terpisah dari pasangannya (Notoatmodjo, 2007).

















BAB III
PENUTUP
A.   Kesimpulan
Dari pembahasan makalah ini, kesimpulan yang dapat diambil yaitu
1.    Partisipasi masyarakat adalah proses dimana individu, keluarga, lembaga swadaya masyarakat, dunia usaha dan masyarakat luas pada umumnya dapat mengidentifikasi kebutuhan prioritas dari kebutuhan tersebut, serta mengembangkan keyakinan dan berusaha memenuhi atas sumber – sumber yang ada di masyarakat.
2.    Ada enam dimensi pengembangan atau pemberdayaan masyarakat dan kesemuanya berinteraksi satu dengan lainnya dalam bentuk-bentuk yang kompleks. Keenam dimensi tersebut yaitu:
a.    Pengembangan sosial
b.    Pengembangan ekonomi
c.    Pengembangan politik
d.    Pengembangan budaya
e.    Pengembangan lingkungan
f.     Pengembangan personal/ spiritual
3.    Ada 3 level yang harus dicapai oleh program pemberdayaan, yakni:
a.   Pemberdayaan pada level individu, berupa pengembangan potensi dan keterampilan.
b.   Pemberdayaan pada level kelompok atau organisasi, yakni yang berhubungan dengan peningkatan partisipasi kelompok dalam pembangunan.
c.   Pemberdayaan pada level kesisteman, yakni berwujud meningkatnya kemandirian masyarakat baik secara ekonomis, sosiologis, maupun politis.
B.   Saran
   Diharapkan agar makalah ini dapat menjadi acuan dalam mempelajari tentang dimensi dan determinan partisipasi pemberdayaan masyarakat dalam mendukung  program-program kesehatan dan harapan penulis makalah ini tidak hanya berguna bagi penulis tetapi juga berguna bagi semua pembaca.










DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Kerjasama Pembangunan Sektoral dan Daerah, 2010 Bappenas, Kebijakan Strategis Pemberdayaan Masyarakat. Http:bappenas.co.id. Diakses Tanggal 12 Oktober 2014.

Fahrudin, A., 2008. Pemberdayaan, Partisipasi dan Penguatan Kapasitas Masyarakat. Humaniora: Bandung.

Salman Darmawan. 2002, Apa Bagaimana Pemberdayaan Masyarakat. Makalah, PSKMP Unhas, Makassar.
Suharto, Edi. 2009. Membangun Masyarakat  Memberdayakan Masyarakat. PT Refika Aditama: Bandung.
Suhendra, K. 2006. Peranan Birokrasi dalam Pemberdayaan Masyarakat. Alfabeta: Bandung.
Notoatmodjo, S. 2006. Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat. Cet. ke-2, Mei. Jakarta : Rineka Cipta. 2003.
Notoadmodjo, S. 2007. Promosi Kesehatan dan iLmu Perilaku;Rineka Cipta.Jakarta
Http://Masyarakat - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas”.html