Translate

Minggu, 12 Oktober 2014

Difteri End Pertusis Desease


 BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Di Negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia, sebelum ditemukannya vaksin, angka kejadian dan kematian akibat menderita pertusis dan difteri cukup tinggi.Ternyata 80% anak-anak dibawah umur 5 tahun pernah terserang penyakit pertusis, sedangkan untuk orang dewasa sekitar 20% dari jumlah penduduk total (Setiawan, 2008).
Dengan kemajuan perkembangan antibiotic dan program imunisasi maka mortalitas dan morbiditas penyakit ini mulai menurun.Namun demikian penyakit ini masih merupakan salah satu masalah kesehatan terutama mengenai bayi- bayi dibawah umur (Soedarto, 2010).
Pertusis sangat infesius pada orang yang tidak memiliki kekebalan.Penyakit ini mudah menyebar ketika si penderita batuk.Sekali seseorang terinfeksi pertusis maka orang tersebut kebal terhadap penyakit untuk beberapa tahun tetapi tidak seumur hidup, kadang – kadang kembali terinfeksi beberapa tahun kemudian.Pada saat ini vaksin pertusis tidak dianjurkan bagi orang dewasa.Walaupun orang dewas sering sebagai penyebab pertusis pada anak – anak, mungkin vaksin orang dewasa dianjurkan untuk masa depan (Maryunani, 2011).

        Pertusis masih merupakan penyebab terbesar kematian dan kesakitan pada anak terutama di negara berkembang. World Health Organization) WHO memperkirakan + 600.000 kematian disebabkan pertusis setiap tahunnya terutama pada bayi yang tidak diimunisasi. Dengan kemajuan perkembangan antibiotik dan program imunisasi maka mortalitas dan morbiditas penyakit ini mulai menurun. Imunisasi amat mengurangi risiko terinfeksi, tetapi infeksi ulang dapat terjadi. Jika diderita bayi penyakit ini merupakan penyakit yang gawat dengan kematian 15% sampai 30%. Pada anak-anak penyakit ini jarang menyebabkan kematian, tetapi pengobatan terhadap penyakit ini sulit dan memakan waktu lama (8 minggu) sehingga pengobatan terhadap pertusis memerlukan biaya yang cukup tinggi (Setiawan, 2008).
        Difteri adalah suatu infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri penghasil racun Corynebacterium diphtheriae. Penderita difteri umumnya anak-anak, usia dibawah 15 tahun. Dilaporkan 10 % kasus difteri dapat berakibat fatal, yaitu sampai menimbulkan kematian. Selama permulaan pertama dari abad ke-20, difteri merupakan penyebab umum dari kematian bayi dan anak-anak muda. Penyakit ini juga dijmpai pada daerah padat penduduk dingkat sanitasi rendah. Oleh karena itu, menjaga kebersihan diri sangatlah penting, karena berperan dalam menunjang kesehatan kita. Lingkungan buruk merupakan sumber dan penularan penyakit (Soedarto, 2010).
        Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular (contagious disease). Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri corynebacterium diphtheria yaitu kuman yang menginfeksi saluran pernafasan, terutama bagian tonsil, Nasofaring (bagian antara hidung dan faring atau tenggorokan) dan laring. Penularan difteri dapat melalui hubungan dekat, udara yang tercemar oleh carier atau penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk dan bersin penderita (Maryunani, 2011).
        Perrtusis (batuk rejan) disebut juga whooping cough, tussis quinta, violent cough,  dan di Cina disebut batuk seratus hari. Uraian pertama epidemi penyakit ini ditulis pada tahun 1578 di Paris. Kuman penyebab baru diketahui pada tahun 1908 oleh Bodet dan Gengou. Pertusis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri Bordetella pertussis, merupakan penyakit infeksi saluran napas akut yang dapat menyerang setiap orang yang rentan seperti anak yang belum diimunisasi atau orang dewasa dengan kekebalan yang menurun. Orang yang tinggal di rumah yang sama dengan penderita pertusis lebih mungkin terjangkit (Soedarto, 2010).
        Sejak diperkenalkan vaksin DPT (Dyptheria, Pertusis, Tetanus), penyakit difteri jarang dijumpai. Vaksi imunisasi difteri diberikan pada anak-anak untuk meningkatkan system kekebalan tubuh agar tidak terserang penyakit tersebut. Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksi difteri akan lebih rentan terhadap penyakit yang menyerang saluran pernafasan ini (Setiawan, 2008).
B.   Rumusan Masalah
      Rumusan masalah dalam makalah ini adalah”Bagaimanakah Penyakit Difteri dan Pertusis?
C.   Tujuan
1.    Tujuan Umum
            Untuk mengetahui tentang penyakit Difteri dan Pertusis.
2.    Tujuan Khusus
a.    Untuk mengetahui tentang defenisi penyakit difteri dan pertusis
b.    Untuk mengetahui penyebab penyakit difteri dan pertusis
c.    Untuk mengetahui gejala penyakit difteri dan pertusis
d.    Untuk mengetahui masa inkubasi penyakit difteri dan pertusis
e.    Untuk mengetahui reservoir penyakit difteri dan pertusis
f.     Untuk mengetahui cara penularan penyakit difteri dan pertusis
g.    Untuk mengetahui cara pencegahan penyakit difteri dan pertusis
h.    Untuk mengetahui pengobatan penyakit difteri dan pertusis
D.   Manfaat
  Bagi Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini adalah:
  1.  Manfaat Teoritis
Diharapkan dapat memberikan informasi kepada pemerintah dan instansi terkait dalam menentukan kebijakan dan perencanaan program penanggulangan masalah Difteri dan Pertusis.
      2.   Manfaat Praktis
          a.Bagi Ilmu Kesehatan Masyarakat, agar dapat menambah wawasan dalam ilmu     kesehatan masyarakat.
             b. Bagi penulis, kiranya makalah ini dapat menambah pengetahuan dan cakrawala berpikir dan mampu memberikan sumbangan pemikiran mengenai Difteri dan Pertusis. 












BAB II
PEMBAHASAN

A.   Tinjauan Tentang Difteri
     1.   Definisi
            Difteria adalah suatu penyakit infeksi mendadak yang di sebabkan oleh kuman corynebacterium diphtheria.mudah menular dan yang di serang terutama traktus respiratorius bagian atas dengan tanda khas terbentuknya pseudomembran dan di lepaskannya eksotoksin yang dapat menimbulkan gejala umum dan local (Setiawan, 2008).
2.    Penemu Difteri
Adalah Emil Von Behring (1854-1817) seorang Dokter berkebangsaan Jerman peraih nobel kesehatan dan kedokteran pada tahun 1901 yang menemukan penyakit difteri yang banyak menelan korban jiwa di Jerman, terutama anak-anak (Soedarto, 2010).
Emil Von Behring belajar ilmu kedokteran di Royal Medical-Surgical Friedrich-Wilhelm – Institute pada tahun 1874 dan lulus pada tahun 1978 (Budiarto & Anggraeni 2005).
Selain menemukan penyakit difteri Emil pun menemukan serum yang bisa menguatkan tubuh dari penyakit difteri. Saat itu Emil menjadi asisten Robert Koch di Universitas Berlin pada tahun 1888. Emil mencoba berbagai senyawa golongan antiseptik seperti iodoform, merkuri dan asetilen untuk membunuh baketeri penyebab difteri.
Emil berhasil menemukan serum difteri dengan membuat kultur bakteri difteri dengan iodine triklorida. Kultur ini kemudian di suntikan ke babi guinea. Hasilnya, babi guinea tersebut menjadi kebal terhadap difteri. Serum darah dari babi guinea tersebut disuntikan kembali kepada ke babi guinea yang kedua dan hasilnya bagi guinea kedua itu pun kebal terhadap difteri. Atas penemuaannya ini Emil kemudian dikenal sebagai pelopor/penemu terapi serum (klipingut.wordpress.com)
(Maryunani, 2011).
  1. Etiologi (Penyebab)
            Di sebabkan oleh corynebacterium diphtheria, bakteri gram positif yang bersifat polimorf, tidak bergerak dan tidak membentuk spora.pewarnaan sediaan langsung dapat di lakukan dengan biru metilen atau biru toluidin.basil ini dapat di temukan dengan langsung dari lesi (Kresno, 2010).
4.  Patogenesis
            Basil hidup dan berkembang pada traktus respitarius bagian atas terlebih-lebih bila terdapat peradangan kronis pada tonsil,sinus dan lain-lain. tetapi walaupun jarang basil dapat pula hidup pada daerah vulva,telinga dan kulit.pada tempat ini basil membentuk pseudomembran dan melepaskan eksotoksin.pseudomembran dapat timbul local atau kemudian menyebar dari faring atau tonsil ke laring dan seluruh traktus respiratorius bagian atas sehingga menimbulkan gejala yang lebih berat .kelenjar getah bening sekitarnya akan mengalami hyperplasia dan mengandung toksin.eksotoksin dapat mengenai jantung dan menyebabkan miokarditis toksik atau mengenai jaringan saraf perifer sehingga timbul paralisis terutama pada otot-otot pernafasan.toksin juga menimbulkan nekrosis fokal pada hati dan ginjal,malahan dapat timbul nefritis interstitialis(jarang sekali).kematian terutama di sebabkan oleh sumbatan membrane pada laring dan trakea,gagal jantung,gagal pernafasanatau akibat komplikasi yang sering yaitu bronkopneumonia (Prasetyawati, 2012).
       5.  Reservoir (Cara Penularan)
            Penularan umumnya melalui udara,berupa infeksi droplet selain itu dapat pula melalui benda atau makanan yang terkontaminasi. Penyakit ini biasanya menyerang saluran pernafasan, terutama terutama laring, amandel dan tenggorokan. Tetapi tak jarang racun juga menyerang kulit dan bahkan menyebabkan kerusakan saraf dan jantung (Soedarto, 2010).
Penyakit difteri disebabkan disebarkan orang melalui pernafasan, terutama droplet tenggorokan yang disebabkan batuk dan bersin. Difteri pun bisa tersebar melalui percikan ludah dari orang yang membawa kuman kepada orang lain yang sehat. Selain itu penyakit ini juga bisa ditularkan melalui benda atau makanan yang terkontaminasi (Setiawan, 2008).
   6.  Klasifikasi
               Biasanya pembagian di buat menurut tempat atau lokalisasi jaringan yang terkena infeksi.pembagian berdasarkan berat ringannya penyakit juga di ajukan oleh beach   dkk.(1950) sebagai berikut:
1.     infeksi ringan                                                                                   
               Pseudomembran terbatas pada mukosa hidung atau fausial dengan gejala hanya nyeri  menelan.
2.     infeksi sedang                                                                               
               Pseudomembran menyebar lebih luas sampai ke dinding posterior faring dengan edema ringan laring yang dapat diatasi dengan pegobatan konservatif.
3.    infeksi berat         
              Di sertai gejala sumbatan jalan nafas yang berat,yang hanya dapat diatasi dengan trakeastomi.juga gejala komplikasi miokarditis,paralisis ataupun nefritis dapat menyertainya (Soedarto, 2010).
     7.  Masa Inkubasi
        Masa tunas 2-7 hari (Soedarto, 2010).
 8.  Gejala klinis
            Gejala klinis dapat di bagi dalam gejala umum dan gejala lokal serta gejala akibat eksotoksin pada jaringan yang terkena gejala umum yang timbul berupa demam tidak terlalu tinggi, lesu, pucat, nyeri kepala dan anoreksia sehingga tampak penderita sangat lemah sekali.gejala ini biasanya disertai dengan gejala khas untuk setiap bagian yang terkena seperti pilek atau nyeri menelan atau sesak nafas dengan serak dan stridor,sedangkan gejala akibat eksotoksin bergantung kepada jaringan yang terkena seperti miokarditis,paralisis jaringan saraf atau nefritis (Maryunani, 2011).
    9. Klasifikasi
1)     Difteri hidung                                                                                  
           Gejalanya paling ringan dan jarang terdapat (hanya 2%).mula-mula hanya tampak pilek,tetapi kemudian sekeret yang kluar tercampur darah sedikit yang berasal dari pseudomembran. Penyebaran pseudomembran dapat pula mencapai faring dan laring.penderita diobati seperti penderita difteri lainnya. (Soedarto, 2010).
2)  Difteri faring dan tonsil (difteri fausial)                                             
    Paling sering di jumpai (75%).terdapat radang akut tenggorokan,demam sampai 38,5 cc,takikardi,tampak lemah,napas berbau,timbul pembengkakan kelenjar regional (bull neck).membran dapat berwarna putih,abu-abu kotor,atau abu kehijauan dengan tepi yang sedikit terangkat.bila membran diangkat akan timbul pendarahan.tetapi prosedur ini dikontradikasikan memper cepat penyerapan toksin (Setiawan, 2008).
3)    Difteri laring dan trakea                                                                                Lebih sering sebagai jalaran difteri faring dan tonsil (3 kali lebih banyak )dari pada primer mengenai laring.gejala gangguan jalan nafas berupa suara serak dan stiridor inspirasi jelas dan bila lebih berat dapat timbul sesak nafas berat,sianosis,demam sampai 40 cc dan tampak retraksi suprasternal serta epigastrium. Pembesaran kelenjar regional akan menyebabkan bull neck.pada pemeriksaan laring tampak kemerahan,sebab,banyak sekeret dan permukaan ditutupi oleh pseudomembran.bila anak terlihat sesak dan payah sekali maka harus segera ditolong dengan tindakan trakeostomi sebagai pertolongan pertama (Soedarto, 2010).
4)  Difteri kutaneus
     Merupakan keadaan yang sangat jarang sekali terdapatan eng tie (1965) mendapatkan 30% infeksi kulit yang diperiksanya mengandung kuman difteri.dapat pula timbul di daerah konjungtiva,vagina dan umbilicus (Budiarto & Anggraeni 2005).



10. Diagnosis
               Diagnosis dini difteri sangat penting karena keterlambatan pemberian antitoksin sangat mempengaruhi prognosa penderita. Diagnosis harus segera ditegakkan berdasarkan gejala-gejala klinik tanpa menunggu hasil mikrobiologi.karena preparat smear kurang dapat di percaya,sedangkan untuk biakan membutuhkan waktu beberapa hari. Adanya membran di tenggorok tidak terlalu spesifik untuk difteri,karena beberapa penyakit lain juga dapat ditemui adanya membran.tetapi membran pada difteri agak berbeda dengan membran penyakit lain,warna membran pada difteri lebih gelap dan lebih keabu-abuan disertai dengan lebih banyak fibrin dan melekat dengan mukosa dibawahnya.bila diangkat terjadi pendarahan.biasanya dimulai dari tonsil dan menyebar ke uvula (Setiawan, 2008).
     Pada difteri nasal perdarahan yang timbul Harus dibedakan dengan perdarahan akibat luka dalam hidung,korpus alienium atau sifilis congenital (Budiarto & Anggraeni 2005).
a.    Tonsilitis folikularis atau lakunaris                                                    
                        Terutama bila membran masih berupa bintik-bintik putih.anak harus dianggap sebagai penderita difteri bila panas tidak terlalu tinggi tetapi anak tampak lemah dan terdapat membran putih kelabu dan mudah berdarah bila diangkat.tonsilitis lakunaris biasanya disertai panas yang tinggi sedangkan anak tampak tidak terlampau lemah,faring dan tonsil tampak hiperimis dengan membran putih kekuningan,rapuh dan lembek,tidak mudah berdarah dan hanya terdapat pada tonsil saja (Maryunani, 2011).
b.   Angina plaut vincent 
            Penyakit ini juga membentuk membran yang rapuh,tebal,berbau dan tidak mudah berdarah.sediaan langsung akan menunjukkan kuman fisiformis (gram positif) dan spirila (gram negatif).
c.Infeksi tenggorok oleh mononukleosus
      Infeksiosa    terdapat kelainan ulkus membranosa yang btidak mudah berdarah dan disertai pembengkakan kelenjar umum.khas pada penyakit ini terdapat peningkatan monosit dalam darah tepi (Budiarto & Anggraeni 2005).
d.    Blood dyscrasia (misal agranulositosis dan leukemia)            
                        Mungkin pula ditemukan ulkus membranusa pada faring dan tonsil. Difteri laring harus dibedakan dengan laringitis akuta,laringotrakeitis,laringitis membranosa(dengan membran rapuh yang tidak berdarah)atau benda asing pada laring,yang semuanyaakan memberikan gejala stridor inspirasi dan sesak (Setiawan, 2008).
 11. Komplikasi
1.  Saluran pernafasan                                                                      
           obstruksi jalan nafas dengan segala akibatnya,bronkopneumonia atelektasis
2.   Kardiovaskuler                                                                                 
                 miokarditis akibat toksin yang dibentuk kuman penyakit ini 
3.   Urogenital   dapat terjadi nefritis
4.   Susunan saraf                                                                                       
                 kira-kira 10% penderita difteri akan mengalami komplikasi yang mengenai sistem susunan saraf terutama sistem motorik (Soedarto, 2010).
  12.  Pencegahan
        1.    Isolasi 
                     Penderita penderita difteri harus diisolasi dan baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaan sediaan langsung menunjukkan tidak terdapat corynebacterium diphtheria 2 kali berturut-turut (Setiawan, 2008).
        2.  Imunisasi
              Imunisasi dasar di mulai pada umur 3 bulan di lakukan 3 kali berturut-turut dengan selang waktu 1 bulan.biasanya di berikan bersama-sama toksoid tetanus dan basil B.pertusis yang telah di matikan sehingga di sebut tripel vaksin DTP dan diberikan dengan dosis 0,5 ml subcutan atau intramuskular .vaksinasi ulang dilakukan 1 tahun sesudah suntikan terakhir dari imunisasi dasar atau kira-kira umur 1 ½ -2 tahun dan pada umur 5 tahun.selanjutnya setiap 5 tahun sampai dengan usia 15 tahun hanya di berikan vaksin difteri dan tetanus (vaksin DT) atau apabila ada kontak dengan penderita difteri (Windyati. S, dkk, 2006).
     3.  Pencarian dan kemudian mengobati karier difteri .
                  Dilkukan dengan uji schick,yaitu bila hasil negatif (mungkin penderita karier atau pernah mendapat imunisasi)mka harus dilakukan hapusan tenggorok.jika ternyata ditemukan corynebacterium diphtheria,penderita harus diobati dan bila perlu dilakukan tonsilektomi(Soedarto, 2010).
    13. Prognosis
   Nelson berpendapat kematian penderita difteri sebesar 3-5% dan sangat bergantung pada:
1.    Umur penderita,karena makin muda umur anak prognosis makin buruk.
2.    Perjalanan penyakit,karena makin lanjut makin buruk proknosisnya
3.    Letak lesi difteri 
4.    Keadaan umum penderita,misalnya prognosisnya kurang baik pada penderita gizi kuran
5.    Pengobatan.makin  lambat pemberian antitoksin,prognoasis akan makin buruk (Setiawan, 2008).
  14.  Pengobatan
    a.  Pengobatan umum
     Terdiri dari perawatan yang baik,mutlak ditempat tidur,isolasi penderita dari pengawasan yang ketat atas kemungkinan timbulnya komplikasi antara lain pemeriksaan EKG setiap minggu (Budiarto & Anggraeni 2005).
     b. Pengobatan spesifik
1.    Anti diphtheria serum(ADS) diberikan sebanyak 20.000 U/hari selama 2 hari berturut-turut dengan sebelumnya dilakukan uji kulit dan mata.bila ternyata penderita peka terhadap serum tersebut,maka harus dilakukan desensitisasi dengan cara besredka.
Antibiotika.di bagian ilmu kesehatan anak FKUI-RSCM jakarta diberikan penisilin prokain 50.000 U/kgbb/hari sampai 3 hari bebas panas.pada pederita yang dilkukan trakeaostomi,ditambahkan kloram fenikol 75 mg/kgbb/hari,dibagi 4 dosis (Windyati. S, dkk, 2006).
2.    Kortikostiroid.obat ini di maksudkan untuk mencegah timbulnya komplikasi miokarditis yang sangat berbahaya.dapat diberikanprednison 2 mg/kgbb/hari,selama 3 minggu yang kemudian dihentikan secara bertahap (Soedarto, 2010).


B.   Pertusis
1.    Pengertian
            Pertusis (atau batuk rejan) merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi tenggorok dengan bakteri Bordetella pertussis. Pertusis adalah penyakit infeksi bakterial yang menyerang sistem pernafasan sehingga menyebabkan serangan batuk yang parah. Pertusis disebut juga batuk rejan atau batuk 100 hari kerena lama sakitnya dapat mencapai 3 bulan lebih (100 hari).
2.    Penemu Pertusis
            Penyakit pertusis adalah salah satu penyakit yang tidak disebutkan penemunya oleh berbagai literatur. Hal ini terjadi karena perkembangan ilmu dalam bidang kimia, kedokteran sangat pesat sekali. Hampir setiap hari pertanyaan-pertanyaan terjawab oleh berbagai ilmuwan diberbagai Negara (Setiawan, 2008).
            Yang paling dikenal dari penyakit pertusis adalah Jules Burdet seorang fisikawan, bakteriawan dan peneliti kekebalan tubuh asalm Belgia penemu dari bakteri yang menyebabkan pertusis ini. Namun Burdet tidak mengetahui bakteri bordetella dapat mengakibatkan pertusis. Yang burdet temukan adalah baketeri yang berbentuk gram negatif berukuran kecil. (Encyclopedia of Britannica)  (Soedarto, 2010).
 3.    Penyebab
            Pertusis disebabkan oleh bakteri Bordetella Pertusis yang bersarang disaluran pernafasan dan sangat mudah tertular (Windyati. S, dkk, 2006).
4.    Gejala
Biasanya pertusis mulai seperti pilek dengan ingus, kecapaian dan adakalanya demam ringan. Kemudian timbulnya batuk, diikuti dengan rejan. Adakalanya orang muntah setelah batuk. Pertusis parah sekali bagi anak kecil, yang membiru atau berhenti bernapas sewaktu batuk dan mungkin harus dibawa ke rumah sakit. Anak yang lebih besar dan orang dewasa mengalami penyakit yang lebih ringan dengan batuk yang berkelanjutan selama berminggu-minggu, tanpa memperhatikan perawatan (Setiawan, 2008).
Gejala atau tanda batuk rejan:
1.      Batuk terus menerus sehingga seperti tidak ada kesempatanuntuk bernafas
2.      Terkadang penderita mengalami muntah ketika batuk.
3.      Pusing.
4.      Sulit tidur
5.      Tubuh lemas, tidak bertenag
6.      Tidak nafsu makan (Windyati. S, dkk, 2006).

Berikut ini adalah gejala klasik dari pertusis:
1.    Stadium kataralis (1-2 minggu)
      Gejala awal menyerupai gejala infeksi saluran napas bagian atas yaitu timbulnya rinore dengan lendir yang cair dan jernih, injeksi pada konjungtiva, lakrimasi, batuk ringan, dan panas tidak begitu tinggi. Pada stadium ini biasanya diagnosis pertusis belum dapat ditegakkan karena sukar dibedakan dengan common cold. Sejumlah besar organisme tersebar dalam droplet dan anak sangat infeksius, pada tahap ini kuman mudah diisolasi (Windyati. S, dkk, 2006).
2.    Stadium paroksismal/stadium spasmodik
     Lamanya 2-4 minggu. Pada akhir minggu batuk makin bertambah berat dan terjadi paroksismal berupa batuk-batuk khas. Penderita tampak berkeringat, pembuluh darah leher dan muka melebar. Batuk sedemikian beratnya hingga penderita-penderita tampak gelisah dengan muka merah dan sianotik. Serangan batuk panjang, tidak ada inspirium diantaranya dan diakhiri dengan whoop (tarikan nafas panjang dan dalam berbunyi melengking). Sering disertai muntah dan banyak sputum yang kental. Anak dapat terberak-berak dan terkencing-kencing. Kadang-kadang pada penyakit yang berat tampak pula perdarahan subkonjungtiva dan epistaksis oleh karena meningkatnya tekanan pada waktu menangis dapat menimbulkan serangan batuk. Dalam bentuk ringan tidak terdapat whoop, muntah atau batuk spasmodik (Setiawan, 2008).
     Frekuensi dan derajat batuk bertambah, terdapat pengulangan 5-10 kali batuk kuat selama ekspirasi yang diikuti oleh usaha inspirasi masif yang mendadak dan menimbulkan bunyi melengking (whoop), udara yang dihisap melalui glotis yang menyempit. Pada remaja, bunyi whoop sering tidak terdengar. Selama serangan wajah merah dan sianosis, mata menonjol, lidah menjulur, lakrimasi, salivasi, dan distensi vena leher bahkan sampai terjadi petekia di wajah (terutama di konjungtiva bulbi). Episode batuk paroksismal dapat terjadi lagi sampai mucous plug pada saluran napas menghilang. Muntah sesudah batuk paroksismal cukup khas, sehingga seringkali menjadi kecurigaan apakah anak menderita pertusis walaupun tidak disertai bunyi whoop (Maryunani, 2011).
3.    Stadium konvalesens ( 1-2 minggu)
     Stadium penyembuhan ditandai dengan berhentinya whoop dan muntah dengan puncak serangan paroksismal yang berangsur-angsur menurun. Batuk biasanya masih menetap untuk beberapa waktu dan akan menghilang sekitar 2-3 minggu. Pada beberapa pasien akan timbul serangan batuk paroksismal kembali. Episode ini terjadi berulang-ulang untuk beberapa bulan dan sering dihubungkan dengan infeksi saluran napas bagian atas yang berulang (Soedarto, 2010).
5.    Masa Inkubasi
            Masa inkubasi pertusis 7-14 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan perjalanan penyakit ini berlangsung antara 6-8 minggu atau lebih. Perjalanan klinis penyakit ini dapat berlangsung dalam tiga stadium, yaitu stadium kataralis (prodromal,pra paroksismal), stadium akut paroksismal (spasmodik), dan stadium konvalesens (Setiawan, 2008).
            Tanpa perawatan, orang yang menderita pertusis dapat menularkannya kepada orang lain selama sampai 3 minggu setelah batuk mulai. Waktu antara eksposur dan penyakit biasanya antara 7 sampai 10 hari, tetapi mungkin berkelanjutan sampai 3 minggu (Soedarto, 2010).
6.    Reservoir
            Remaja merupakan reservoir B. Pertussis dan menjadi sumber penularan pertusis bagi bayi kecil. Pertusis menular melalui droplet batuk dari pasien yg terkena penyakit ini dan kemudian terhirup oleh orang sehat yg tidak mempunyai kekebalan tubuh (Setiawan, 2008).
7.    Pencegahan
a.    Memberikan Imunisasi DPT (Difteri Pertussis Tetanus)
b.    Jauhi bayi Anda dari orang yang batuk
c.    Jalani imunisasi jika Anda orang dewasa yang mempunyai kontak dekat dengan anak kecil
d.    Jauhi kontak langsung dengan penderita  (Windyati. S, dkk, 2006).
            Vaksin yang dipergunakan biasanya merupakan kombinasi toksoid difteri dan tetanus dengan vaksin pertusis (vaksin DPT). Imunitas yang diperoleh baik karena infeksi alamiah maupun karena imunisasi aktif, tidak berlangsung untuk seumur hidup (Soedarto, 2010).
8.    Pengobatan
1.     Anti mikroba
                Pemakai obat-obatan ini di anjurkan pada stadium kataralis yang dini. Eritromisin merupakan anti mikroba yang sampai saat ini dianggap paling efektif dibandingkan dengan amoxilin, kloramphenikol ataupun tetrasiklin. Dosis yang dianjurkan 50mg/kg BB/hari, terjadi dalam 4 dosis selama 5-7 hari (Soedarto, 2010).
2.    Kortikosteroi
a.    Betametason oral dosis 0,075 mg/lb BB/hari
b.    Hidrokortison suksinat (sulokortef) I.M dosis 30 mg/kg BB/ hari
c.    Prednisone oral 2,5 – 5 mg/hari (Soedarto, 2010).
3.    Vaksin DPT
Vaksin jerap DPT ( Difteri Pertusis Tetanus ) adalah vaksin yang terrdiri dari toxoid difteri dan tetanus yang dimurnikan dan bakeri pertusis yang telah diinaktivasi(Budiarto & Anggraeni 2005).
Indikasi
a.    Untuk pemberian kekebalan secara simultan terhadap pertusia
Cara pemberian dan dosis:
1.    Sebelum digunakan vaksin dikocok terlebih dahulu agar menjadi homogen.
2.    Disuntikan secara IM denagn dosis pemberian 0,5 ml sebanyak 3 dosis.
3.    Dosis pertama diberikan umur 2 bulan,dosis selanjutnya diberikan 1 bulan
4.    Di unit pelayanan statis, vaksin DPT yang tekah dibuka hanya boleh digunakan 4 minggu (Budiarto & Anggraeni 2005).
Efek Sampingnya
a.    Panas Kebanyakan anak menderita panas pada sore hari setelah mendapat imunisasi DPT, tetapi panas ini akan sembuh dalam 1-2 hari. Bila panas yang timbul lebih dari 1 hari sesudah pemberian DPT, bukanlah disebabkan oleh vaksin DPT, mungkin ada infeksi lain yang perlu diteliti lebih lanjut (Windyati. S, dkk, 2006).
b.    Rasa sakit di daerah suntikan. Sebagian anak merasa nyeri, sakit, kemerahan, bengkak di tempat suntikan. Bila hal tersebut terjadi setelah suntikan berarti ini disebabkan oleh suntikan DPT (Windyati. S, dkk, 2006).
c.    PeradanganHal ini mungkin sebagai akibat dari: jarum suntik tidak steril, bisa karena tersentuh tangan atau sterilisasi kurang lama ataupun sebelum dipakai menyuntik jarum diletakkan di atas tempat yang tidak steril.
d.    Kejang-kejang. Anak yang setelah pemberian vaksin DPT mengalami hal ini, tidak boleh diberi vaksin DPT lagi dan sebagai gantinya diberi DT saja. Kontra indikasi. Gejala keabnormalan otak pada periode bayi baru lahir atau gejala serius keabnormalan pada saraf merupakan kontraindikasi pertussis. Anak yang mengalami gejala-gejala parah pada dosis pertama, komponen pertussis harus dihindarkan pada dosis kedua dan untuk meneruskan imunisasinya dapat diberikan DT. (Maryunani, 2011)





BAB IV
PENUTUP

A.   Kesimpulan
1.    Penyakit Difteri adalah suatu penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh kuman corynebacterium diphtheria. Mudah menular dan yang serang terutama traktus Respiratorius bagian atas dengan tanda khas terbentuknya pseudomembran dan dilepaskannya eksotoksin yang dapat menimbulkan gejala umum dan lokal. Tanda dan gejalanya adalah demam yang tidak terlalau tinggi, lesu, pucat, sakit kepala, anoreksia, lemah,nyeri telan,sesak napas,serak hingga adanya stridor. Masa inkubasinya adalah 2-7 hari. Sejak diperkenalkan vaksin DPT (Difteri, Pertusis, Tetanus), penyakit difteri jarang dijumpai. Vaksin imunisasi difteri diberikan pada anak-anak untuk meningkatkan system kekebalan tubuh agar tidak terserang penyakit tersebut. Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksin akan lebih rentan terhadap penyakit yang menyerang saluran pernafasan ini.
2.    Pertusis adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh bakteri Bordotella pertusis. Pertusis dapat mengenai semua golongan umurdan terbanyak mengenai anak 1-5 tahun Tiga tahapan dari penyakit pertusis adalah tahap kataralis, paroksimal dan konvelesensi. Pencegahan penderita pertusis secara garis besar adalah menjaga kebersihan jalan napas agar terbebas dari bakteri pertusis
B.   Saran
1.    Difteri adalah penyebab kematian pada anak-anak, maka disarankan untuk anak-anak wajib diberikan imunisasi yaitu vaksin DPT yang merupakan wajib pada anak, tetapi kekebalan yang diperoleh hanya selama 10 tahun setelah imunisasi. Sehingga orang dewasa sebaiknya menjalani vaksinasi booster (DT) setiap 10 tahun sekali, dan harus dilakukan pencarian dan kemudian mengobati carier difteri dan dilkaukan uji schick.
2.    Selain itu juga kita dapat menyarankan untuk mengurangi minum es karena minum minuman yang terlalu dingin secara berlebihan dapat mengiritasi tenggorokan dan menyebabkan tenggorokan tersa sakit. Juga menjaga kebersihan badan, pakaian, dan lingkungan karena difteri mudah menular dalam lingkungan yang buruk dengan tingkat sanitasi rendah. Dan makanan yang dikonsumsi harus bersih dan memenuhi syarat hygiene dan sanitasi.





DAFTAR PUSTAKA

Budiarto & Anggraeni 2005. Pengantar Epidemiologi. Edisi ke-2. Penerbit Buku Kedokteran, EGC,Jakarta
Kresno, 2010. Imunologi Diagnosis dan Prosedur Laboratorium . Edisi ke-5, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
Maryunani, A. 2011. Ilmu Kesehatan Anak Dalam Kebidanan. Penerbit Trans Info, Jakarta.

Prasetyawati. 2012. Kesehatan Ibu dan Anak (KIA),dalam Milenium Development Goals (MDGs). Penerbit Nuha Medika, Yogyakarta.
Setiawan. M, 2008. Imunisasi. CV.Sagung seto, Jakarta.


Soedarto, 2010. Virologi klinik. CV. Sagung Seto, Jakarta.

Windyati. S, dkk, 2006. Imunisasi Dasar Pada Bayi (http://www.kesehatan–anak. com, diakses, 11 November, 2013).


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar