BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Di Negara yang sedang berkembang termasuk
Indonesia, sebelum ditemukannya vaksin, angka kejadian dan kematian akibat
menderita pertusis dan difteri cukup tinggi.Ternyata 80% anak-anak dibawah umur
5 tahun pernah terserang penyakit pertusis, sedangkan untuk orang dewasa
sekitar 20% dari jumlah penduduk total (Setiawan, 2008).
Dengan kemajuan perkembangan antibiotic dan
program imunisasi maka mortalitas dan morbiditas penyakit ini mulai
menurun.Namun demikian penyakit ini masih merupakan salah satu masalah
kesehatan terutama mengenai bayi- bayi dibawah umur (Soedarto,
2010).
Pertusis sangat infesius pada orang yang tidak
memiliki kekebalan.Penyakit ini mudah menyebar ketika si penderita batuk.Sekali
seseorang terinfeksi pertusis maka orang tersebut kebal terhadap penyakit untuk
beberapa tahun tetapi tidak seumur hidup, kadang – kadang kembali terinfeksi
beberapa tahun kemudian.Pada saat ini vaksin pertusis tidak dianjurkan bagi
orang dewasa.Walaupun orang dewas sering sebagai penyebab pertusis pada anak –
anak, mungkin vaksin orang dewasa dianjurkan untuk masa depan (Maryunani,
2011).
Pertusis masih merupakan penyebab
terbesar kematian dan kesakitan pada anak terutama di negara berkembang. World
Health Organization) WHO memperkirakan + 600.000 kematian disebabkan pertusis
setiap tahunnya terutama pada bayi yang tidak diimunisasi. Dengan kemajuan
perkembangan antibiotik dan program imunisasi maka mortalitas dan morbiditas
penyakit ini mulai menurun. Imunisasi amat mengurangi risiko terinfeksi, tetapi
infeksi ulang dapat terjadi. Jika diderita bayi penyakit ini merupakan penyakit
yang gawat dengan kematian 15% sampai 30%. Pada anak-anak penyakit ini jarang
menyebabkan kematian, tetapi pengobatan terhadap penyakit ini sulit dan memakan
waktu lama (8 minggu) sehingga pengobatan terhadap pertusis memerlukan biaya
yang cukup tinggi (Setiawan, 2008).
Difteri adalah suatu infeksi akut yang
disebabkan oleh bakteri penghasil racun Corynebacterium diphtheriae. Penderita
difteri umumnya anak-anak, usia dibawah 15 tahun. Dilaporkan 10 % kasus difteri
dapat berakibat fatal, yaitu sampai menimbulkan kematian. Selama permulaan
pertama dari abad ke-20, difteri merupakan penyebab umum dari kematian bayi dan
anak-anak muda. Penyakit ini juga dijmpai pada daerah padat penduduk dingkat
sanitasi rendah. Oleh karena itu, menjaga kebersihan diri sangatlah penting,
karena berperan dalam menunjang kesehatan kita. Lingkungan buruk merupakan
sumber dan penularan penyakit (Soedarto, 2010).
Difteri merupakan salah satu penyakit
yang sangat menular (contagious disease). Penyakit ini disebabkan oleh infeksi
bakteri corynebacterium diphtheria yaitu kuman yang menginfeksi saluran
pernafasan, terutama bagian tonsil, Nasofaring (bagian antara hidung dan faring
atau tenggorokan) dan laring. Penularan difteri dapat melalui hubungan dekat,
udara yang tercemar oleh carier atau penderita yang akan sembuh, juga melalui
batuk dan bersin penderita (Maryunani, 2011).
Perrtusis (batuk rejan) disebut juga
whooping cough, tussis quinta, violent cough,
dan di Cina disebut batuk seratus hari. Uraian pertama epidemi penyakit
ini ditulis pada tahun 1578 di Paris. Kuman penyebab baru diketahui pada tahun
1908 oleh Bodet dan Gengou. Pertusis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi
bakteri Bordetella pertussis, merupakan penyakit infeksi saluran napas akut
yang dapat menyerang setiap orang yang rentan seperti anak yang belum
diimunisasi atau orang dewasa dengan kekebalan yang menurun. Orang yang tinggal
di rumah yang sama dengan penderita pertusis lebih mungkin terjangkit (Soedarto, 2010).
Sejak diperkenalkan vaksin DPT
(Dyptheria, Pertusis, Tetanus), penyakit difteri jarang dijumpai. Vaksi
imunisasi difteri diberikan pada anak-anak untuk meningkatkan system kekebalan
tubuh agar tidak terserang penyakit tersebut. Anak-anak yang tidak mendapatkan
vaksi difteri akan lebih rentan terhadap penyakit yang menyerang saluran
pernafasan ini (Setiawan, 2008).
Rumusan masalah dalam makalah
ini adalah”Bagaimanakah Penyakit Difteri dan Pertusis?
C.
Tujuan
1. Tujuan
Umum
Untuk mengetahui tentang penyakit Difteri dan Pertusis.
2. Tujuan
Khusus
a. Untuk mengetahui tentang defenisi penyakit
difteri dan pertusis
b. Untuk mengetahui penyebab penyakit
difteri dan pertusis
c. Untuk mengetahui gejala penyakit
difteri dan pertusis
d. Untuk mengetahui masa inkubasi
penyakit difteri dan pertusis
e. Untuk mengetahui reservoir penyakit
difteri dan pertusis
f. Untuk mengetahui cara penularan
penyakit difteri dan pertusis
g. Untuk mengetahui cara pencegahan
penyakit difteri dan pertusis
h. Untuk mengetahui pengobatan penyakit
difteri dan pertusis
D.
Manfaat
Bagi Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini adalah:
- Manfaat Teoritis
Diharapkan dapat memberikan informasi kepada
pemerintah dan instansi terkait dalam menentukan kebijakan dan perencanaan
program penanggulangan masalah Difteri dan Pertusis.
2. Manfaat Praktis
a.Bagi
Ilmu Kesehatan Masyarakat, agar dapat menambah wawasan dalam ilmu
kesehatan masyarakat.
b. Bagi penulis, kiranya makalah ini dapat menambah
pengetahuan dan cakrawala berpikir dan mampu memberikan
sumbangan pemikiran mengenai Difteri dan Pertusis.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Tinjauan
Tentang Difteri
1. Definisi
Difteria adalah suatu penyakit infeksi
mendadak yang di sebabkan oleh kuman corynebacterium
diphtheria.mudah menular dan yang di
serang terutama traktus respiratorius
bagian atas dengan tanda khas terbentuknya pseudomembran dan di lepaskannya
eksotoksin yang dapat menimbulkan gejala umum dan local (Setiawan, 2008).
2. Penemu Difteri
Adalah Emil Von Behring (1854-1817) seorang Dokter
berkebangsaan Jerman peraih nobel kesehatan dan kedokteran pada tahun 1901 yang
menemukan penyakit difteri yang banyak menelan korban jiwa di Jerman, terutama
anak-anak (Soedarto, 2010).
Emil Von Behring belajar ilmu kedokteran di Royal
Medical-Surgical Friedrich-Wilhelm – Institute pada tahun 1874 dan lulus pada
tahun 1978 (Budiarto & Anggraeni 2005).
Selain menemukan penyakit difteri Emil pun menemukan
serum yang bisa menguatkan tubuh dari penyakit difteri. Saat itu Emil menjadi
asisten Robert Koch di Universitas Berlin pada tahun 1888. Emil mencoba
berbagai senyawa golongan antiseptik seperti iodoform, merkuri dan asetilen
untuk membunuh baketeri penyebab difteri.
Emil berhasil menemukan serum difteri dengan membuat kultur bakteri difteri dengan iodine triklorida. Kultur ini kemudian di suntikan ke babi guinea. Hasilnya, babi guinea tersebut menjadi kebal terhadap difteri. Serum darah dari babi guinea tersebut disuntikan kembali kepada ke babi guinea yang kedua dan hasilnya bagi guinea kedua itu pun kebal terhadap difteri. Atas penemuaannya ini Emil kemudian dikenal sebagai pelopor/penemu terapi serum (klipingut.wordpress.com) (Maryunani, 2011).
Emil berhasil menemukan serum difteri dengan membuat kultur bakteri difteri dengan iodine triklorida. Kultur ini kemudian di suntikan ke babi guinea. Hasilnya, babi guinea tersebut menjadi kebal terhadap difteri. Serum darah dari babi guinea tersebut disuntikan kembali kepada ke babi guinea yang kedua dan hasilnya bagi guinea kedua itu pun kebal terhadap difteri. Atas penemuaannya ini Emil kemudian dikenal sebagai pelopor/penemu terapi serum (klipingut.wordpress.com) (Maryunani, 2011).
- Etiologi (Penyebab)
Di sebabkan oleh corynebacterium diphtheria, bakteri gram positif yang bersifat polimorf, tidak bergerak dan tidak
membentuk spora.pewarnaan sediaan langsung dapat di lakukan dengan biru metilen
atau biru toluidin.basil ini dapat di temukan dengan langsung dari lesi (Kresno, 2010).
4. Patogenesis
Basil hidup dan berkembang pada traktus
respitarius bagian atas terlebih-lebih bila terdapat peradangan kronis pada
tonsil,sinus dan lain-lain. tetapi walaupun jarang basil dapat pula hidup pada
daerah vulva,telinga dan kulit.pada tempat ini basil membentuk pseudomembran
dan melepaskan eksotoksin.pseudomembran dapat timbul local atau kemudian
menyebar dari faring atau tonsil ke laring dan seluruh traktus respiratorius
bagian atas sehingga menimbulkan gejala yang lebih berat .kelenjar getah bening
sekitarnya akan mengalami hyperplasia dan mengandung toksin.eksotoksin dapat
mengenai jantung dan menyebabkan miokarditis toksik atau mengenai jaringan
saraf perifer sehingga timbul paralisis terutama pada otot-otot pernafasan.toksin
juga menimbulkan nekrosis fokal pada hati dan ginjal,malahan dapat timbul
nefritis interstitialis(jarang sekali).kematian terutama di sebabkan oleh
sumbatan membrane pada laring dan trakea,gagal jantung,gagal pernafasanatau
akibat komplikasi yang sering yaitu bronkopneumonia (Prasetyawati, 2012).
5. Reservoir (Cara
Penularan)
Penularan umumnya melalui udara,berupa
infeksi droplet selain itu dapat pula melalui benda atau makanan yang
terkontaminasi. Penyakit ini biasanya menyerang saluran
pernafasan, terutama terutama laring, amandel dan tenggorokan. Tetapi tak
jarang racun juga menyerang kulit dan bahkan menyebabkan kerusakan saraf dan
jantung (Soedarto, 2010).
Penyakit difteri disebabkan disebarkan orang melalui
pernafasan, terutama droplet tenggorokan yang disebabkan batuk dan bersin.
Difteri pun bisa tersebar melalui percikan ludah dari orang yang membawa kuman
kepada orang lain yang sehat. Selain itu penyakit ini juga bisa ditularkan
melalui benda atau makanan yang terkontaminasi (Setiawan, 2008).
6. Klasifikasi
Biasanya pembagian di buat menurut tempat atau
lokalisasi jaringan yang terkena infeksi.pembagian berdasarkan berat ringannya
penyakit juga di ajukan oleh beach dkk.(1950) sebagai berikut:
1. infeksi
ringan
Pseudomembran terbatas pada mukosa hidung atau fausial dengan gejala hanya
nyeri menelan.
2. infeksi
sedang
Pseudomembran menyebar lebih luas sampai ke dinding posterior faring dengan
edema ringan laring yang dapat diatasi dengan pegobatan konservatif.
3. infeksi berat
Di sertai gejala sumbatan jalan nafas
yang berat,yang hanya dapat diatasi dengan trakeastomi.juga gejala komplikasi
miokarditis,paralisis ataupun nefritis dapat menyertainya (Soedarto, 2010).
7. Masa Inkubasi
Masa tunas 2-7 hari (Soedarto, 2010).
8. Gejala
klinis
Gejala klinis dapat di bagi dalam
gejala umum dan gejala lokal serta gejala akibat eksotoksin pada jaringan yang
terkena gejala umum yang timbul berupa demam tidak terlalu tinggi, lesu, pucat,
nyeri kepala dan anoreksia sehingga tampak penderita sangat lemah sekali.gejala
ini biasanya disertai dengan gejala khas untuk setiap bagian yang terkena
seperti pilek atau nyeri menelan atau sesak nafas dengan serak dan
stridor,sedangkan gejala akibat eksotoksin bergantung kepada jaringan yang
terkena seperti miokarditis,paralisis jaringan saraf atau nefritis (Maryunani, 2011).
9. Klasifikasi
1) Difteri hidung
Gejalanya
paling ringan dan jarang terdapat (hanya 2%).mula-mula hanya tampak
pilek,tetapi kemudian sekeret yang kluar tercampur darah sedikit yang berasal
dari pseudomembran. Penyebaran pseudomembran dapat pula mencapai faring dan
laring.penderita diobati seperti penderita difteri lainnya. (Soedarto, 2010).
2) Difteri
faring dan tonsil (difteri
fausial)
Paling sering di jumpai (75%).terdapat radang akut tenggorokan,demam sampai
38,5 cc,takikardi,tampak lemah,napas berbau,timbul pembengkakan kelenjar
regional (bull neck).membran dapat berwarna putih,abu-abu kotor,atau abu
kehijauan dengan tepi yang sedikit terangkat.bila membran diangkat akan timbul
pendarahan.tetapi prosedur ini dikontradikasikan memper cepat penyerapan toksin
(Setiawan, 2008).
3)
Difteri
laring dan trakea
Lebih
sering sebagai jalaran difteri faring dan tonsil (3 kali lebih banyak )dari
pada primer mengenai laring.gejala gangguan jalan nafas berupa suara serak dan
stiridor inspirasi jelas dan bila lebih berat dapat timbul sesak nafas
berat,sianosis,demam sampai 40 cc dan tampak retraksi suprasternal serta epigastrium.
Pembesaran kelenjar regional akan menyebabkan bull neck.pada pemeriksaan laring
tampak kemerahan,sebab,banyak sekeret dan permukaan ditutupi oleh
pseudomembran.bila anak terlihat sesak dan payah sekali maka harus segera
ditolong dengan tindakan trakeostomi sebagai pertolongan pertama (Soedarto, 2010).
4) Difteri kutaneus
Merupakan keadaan yang sangat jarang sekali
terdapatan eng tie (1965) mendapatkan 30% infeksi kulit yang diperiksanya
mengandung kuman difteri.dapat pula timbul di daerah konjungtiva,vagina dan
umbilicus (Budiarto & Anggraeni 2005).
10. Diagnosis
Diagnosis dini difteri sangat penting
karena keterlambatan pemberian antitoksin sangat mempengaruhi prognosa
penderita. Diagnosis harus segera ditegakkan berdasarkan gejala-gejala klinik
tanpa menunggu hasil mikrobiologi.karena preparat smear kurang dapat di
percaya,sedangkan untuk biakan membutuhkan waktu beberapa hari. Adanya membran
di tenggorok tidak terlalu spesifik untuk difteri,karena beberapa penyakit lain
juga dapat ditemui adanya membran.tetapi membran pada difteri agak berbeda
dengan membran penyakit lain,warna membran pada difteri lebih gelap dan lebih
keabu-abuan disertai dengan lebih banyak fibrin dan melekat dengan mukosa
dibawahnya.bila diangkat terjadi pendarahan.biasanya dimulai dari tonsil dan
menyebar ke uvula (Setiawan, 2008).
Pada difteri nasal perdarahan yang timbul Harus dibedakan dengan perdarahan
akibat luka dalam hidung,korpus alienium atau sifilis congenital (Budiarto
& Anggraeni 2005).
a. Tonsilitis folikularis atau
lakunaris
Terutama bila membran
masih berupa bintik-bintik putih.anak harus dianggap sebagai penderita difteri
bila panas tidak terlalu tinggi tetapi anak tampak lemah dan terdapat membran
putih kelabu dan mudah berdarah bila diangkat.tonsilitis lakunaris biasanya
disertai panas yang tinggi sedangkan anak tampak tidak terlampau lemah,faring
dan tonsil tampak hiperimis dengan membran putih kekuningan,rapuh dan
lembek,tidak mudah berdarah dan hanya terdapat pada tonsil saja (Maryunani, 2011).
b. Angina
plaut vincent
Penyakit ini juga membentuk membran
yang rapuh,tebal,berbau dan tidak mudah berdarah.sediaan langsung akan
menunjukkan kuman fisiformis (gram positif) dan spirila (gram negatif).
c.Infeksi
tenggorok oleh mononukleosus
Infeksiosa terdapat
kelainan ulkus membranosa yang btidak mudah berdarah dan disertai pembengkakan
kelenjar umum.khas pada penyakit ini terdapat peningkatan monosit dalam darah
tepi (Budiarto
& Anggraeni 2005).
d. Blood dyscrasia (misal
agranulositosis dan
leukemia)
Mungkin pula
ditemukan ulkus membranusa pada faring dan tonsil. Difteri laring harus
dibedakan dengan laringitis akuta,laringotrakeitis,laringitis membranosa(dengan
membran rapuh yang tidak berdarah)atau benda asing pada laring,yang
semuanyaakan memberikan gejala stridor inspirasi dan sesak (Setiawan, 2008).
11. Komplikasi
1. Saluran pernafasan
obstruksi jalan nafas dengan segala akibatnya,bronkopneumonia
atelektasis
2. Kardiovaskuler
miokarditis akibat toksin yang dibentuk kuman penyakit ini
3. Urogenital
dapat terjadi nefritis
4. Susunan
saraf
kira-kira 10% penderita difteri akan mengalami komplikasi yang mengenai sistem
susunan saraf terutama sistem motorik (Soedarto, 2010).
12. Pencegahan
1. Isolasi
Penderita penderita difteri
harus diisolasi dan baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaan sediaan langsung
menunjukkan tidak terdapat corynebacterium diphtheria 2 kali berturut-turut (Setiawan, 2008).
2. Imunisasi
Imunisasi dasar di mulai pada umur 3
bulan di lakukan 3 kali berturut-turut dengan selang waktu 1 bulan.biasanya di
berikan bersama-sama toksoid tetanus dan basil B.pertusis yang telah di matikan
sehingga di sebut tripel vaksin DTP dan diberikan dengan dosis 0,5 ml subcutan
atau intramuskular .vaksinasi ulang dilakukan 1 tahun sesudah suntikan terakhir
dari imunisasi dasar atau kira-kira umur 1 ½ -2 tahun dan pada umur 5
tahun.selanjutnya setiap 5 tahun sampai dengan usia 15 tahun hanya di berikan
vaksin difteri dan tetanus (vaksin DT) atau apabila ada kontak dengan penderita
difteri (Windyati. S, dkk, 2006).
3. Pencarian dan kemudian mengobati karier difteri .
Dilkukan dengan uji schick,yaitu
bila hasil negatif (mungkin penderita karier atau pernah mendapat imunisasi)mka
harus dilakukan hapusan tenggorok.jika ternyata ditemukan corynebacterium
diphtheria,penderita harus diobati dan bila perlu dilakukan tonsilektomi(Soedarto, 2010).
13. Prognosis
Nelson berpendapat kematian penderita difteri sebesar 3-5% dan sangat
bergantung pada:
1. Umur penderita,karena makin muda
umur anak prognosis makin buruk.
2. Perjalanan penyakit,karena makin
lanjut makin buruk proknosisnya
3. Letak lesi difteri
4. Keadaan umum penderita,misalnya
prognosisnya kurang baik pada penderita gizi kuran
5. Pengobatan.makin lambat
pemberian antitoksin,prognoasis akan makin buruk (Setiawan,
2008).
14.
Pengobatan
a.
Pengobatan umum
Terdiri
dari perawatan yang baik,mutlak ditempat tidur,isolasi penderita dari
pengawasan yang ketat atas kemungkinan timbulnya komplikasi antara lain
pemeriksaan EKG setiap minggu (Budiarto & Anggraeni 2005).
b. Pengobatan spesifik
1. Anti diphtheria serum(ADS) diberikan
sebanyak 20.000 U/hari selama 2 hari berturut-turut dengan sebelumnya dilakukan
uji kulit dan mata.bila ternyata penderita peka terhadap serum tersebut,maka
harus dilakukan desensitisasi dengan cara besredka.
Antibiotika.di bagian ilmu kesehatan anak FKUI-RSCM jakarta
diberikan penisilin prokain 50.000 U/kgbb/hari sampai 3 hari bebas panas.pada
pederita yang dilkukan trakeaostomi,ditambahkan kloram fenikol 75
mg/kgbb/hari,dibagi 4 dosis (Windyati. S, dkk, 2006).
2. Kortikostiroid.obat ini di maksudkan
untuk mencegah timbulnya komplikasi miokarditis yang sangat berbahaya.dapat
diberikanprednison 2 mg/kgbb/hari,selama 3 minggu yang kemudian dihentikan
secara bertahap (Soedarto,
2010).
B.
Pertusis
1.
Pengertian
Pertusis (atau batuk rejan)
merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi tenggorok dengan bakteri
Bordetella pertussis. Pertusis adalah penyakit infeksi bakterial yang menyerang
sistem pernafasan sehingga menyebabkan serangan batuk yang parah. Pertusis
disebut juga batuk rejan atau batuk 100 hari kerena lama sakitnya dapat
mencapai 3 bulan lebih (100 hari).
2.
Penemu
Pertusis
Penyakit pertusis adalah salah satu
penyakit yang tidak disebutkan penemunya oleh berbagai literatur. Hal ini
terjadi karena perkembangan ilmu dalam bidang kimia, kedokteran sangat pesat
sekali. Hampir setiap hari pertanyaan-pertanyaan terjawab oleh berbagai ilmuwan
diberbagai Negara (Setiawan, 2008).
Yang paling dikenal dari penyakit
pertusis adalah Jules Burdet seorang fisikawan, bakteriawan dan peneliti
kekebalan tubuh asalm Belgia penemu dari bakteri yang menyebabkan pertusis ini.
Namun Burdet tidak mengetahui bakteri bordetella dapat mengakibatkan pertusis.
Yang burdet temukan adalah baketeri yang berbentuk gram negatif berukuran
kecil. (Encyclopedia of Britannica) (Soedarto, 2010).
3.
Penyebab
Pertusis disebabkan oleh bakteri
Bordetella Pertusis yang bersarang disaluran pernafasan dan sangat mudah
tertular (Windyati. S, dkk,
2006).
4.
Gejala
Biasanya pertusis mulai seperti pilek
dengan ingus, kecapaian dan adakalanya demam ringan. Kemudian timbulnya batuk,
diikuti dengan rejan. Adakalanya orang muntah setelah batuk. Pertusis parah
sekali bagi anak kecil, yang membiru atau berhenti bernapas sewaktu batuk dan
mungkin harus dibawa ke rumah sakit. Anak yang lebih besar dan orang dewasa
mengalami penyakit yang lebih ringan dengan batuk yang berkelanjutan selama
berminggu-minggu, tanpa memperhatikan perawatan (Setiawan,
2008).
Gejala atau tanda batuk rejan:
1. Batuk terus menerus sehingga seperti
tidak ada kesempatanuntuk bernafas
2. Terkadang penderita mengalami muntah
ketika batuk.
3. Pusing.
4. Sulit tidur
5. Tubuh lemas, tidak bertenag
6. Tidak nafsu makan (Windyati. S, dkk, 2006).
Berikut ini adalah gejala klasik dari
pertusis:
1. Stadium
kataralis (1-2 minggu)
Gejala awal
menyerupai gejala infeksi saluran napas bagian atas yaitu timbulnya rinore
dengan lendir yang cair dan jernih, injeksi pada konjungtiva, lakrimasi, batuk
ringan, dan panas tidak begitu tinggi. Pada stadium ini biasanya diagnosis
pertusis belum dapat ditegakkan karena sukar dibedakan dengan common cold. Sejumlah besar organisme
tersebar dalam droplet dan anak sangat infeksius, pada tahap ini kuman mudah
diisolasi (Windyati. S, dkk,
2006).
2. Stadium
paroksismal/stadium spasmodik
Lamanya
2-4 minggu. Pada akhir minggu batuk makin bertambah berat dan terjadi
paroksismal berupa batuk-batuk khas. Penderita tampak berkeringat, pembuluh
darah leher dan muka melebar. Batuk sedemikian beratnya hingga
penderita-penderita tampak gelisah dengan muka merah dan sianotik. Serangan
batuk panjang, tidak ada inspirium diantaranya dan diakhiri dengan whoop
(tarikan nafas panjang dan dalam berbunyi melengking). Sering disertai muntah
dan banyak sputum yang kental. Anak dapat terberak-berak dan
terkencing-kencing. Kadang-kadang pada penyakit yang berat tampak pula
perdarahan subkonjungtiva dan epistaksis oleh karena meningkatnya tekanan pada
waktu menangis dapat menimbulkan serangan batuk. Dalam bentuk ringan tidak
terdapat whoop, muntah atau batuk spasmodik (Setiawan, 2008).
Frekuensi dan
derajat batuk bertambah, terdapat pengulangan 5-10 kali batuk kuat selama
ekspirasi yang diikuti oleh usaha inspirasi masif yang mendadak dan menimbulkan
bunyi melengking (whoop), udara yang
dihisap melalui glotis yang menyempit. Pada remaja, bunyi whoop sering tidak terdengar. Selama serangan wajah merah dan
sianosis, mata menonjol, lidah menjulur, lakrimasi, salivasi, dan distensi vena
leher bahkan sampai terjadi petekia di wajah (terutama di konjungtiva bulbi).
Episode batuk paroksismal dapat terjadi lagi sampai mucous plug pada saluran napas menghilang. Muntah sesudah batuk
paroksismal cukup khas, sehingga seringkali menjadi kecurigaan apakah anak
menderita pertusis walaupun tidak disertai bunyi whoop (Maryunani, 2011).
3. Stadium
konvalesens ( 1-2 minggu)
Stadium
penyembuhan ditandai dengan berhentinya whoop
dan muntah dengan puncak serangan paroksismal yang berangsur-angsur menurun.
Batuk biasanya masih menetap untuk beberapa waktu dan akan menghilang sekitar
2-3 minggu. Pada beberapa pasien akan timbul serangan batuk paroksismal
kembali. Episode ini terjadi berulang-ulang untuk beberapa bulan dan sering
dihubungkan dengan infeksi saluran napas bagian atas yang berulang (Soedarto, 2010).
5.
Masa
Inkubasi
Masa inkubasi pertusis 7-14 hari, rata-rata 7 hari,
sedangkan perjalanan penyakit ini berlangsung antara 6-8 minggu atau lebih.
Perjalanan klinis penyakit ini dapat berlangsung dalam tiga stadium, yaitu
stadium kataralis (prodromal,pra paroksismal), stadium akut paroksismal (spasmodik),
dan stadium konvalesens (Setiawan, 2008).
Tanpa
perawatan, orang yang menderita pertusis dapat menularkannya kepada orang lain
selama sampai 3 minggu setelah batuk mulai. Waktu antara eksposur dan penyakit
biasanya antara 7 sampai 10 hari, tetapi mungkin berkelanjutan sampai 3 minggu
(Soedarto, 2010).
6.
Reservoir
Remaja merupakan reservoir
B. Pertussis dan menjadi sumber penularan pertusis bagi bayi kecil. Pertusis
menular melalui droplet batuk dari pasien yg terkena
penyakit ini dan kemudian terhirup oleh orang sehat yg tidak mempunyai
kekebalan tubuh (Setiawan, 2008).
7.
Pencegahan
a.
Memberikan Imunisasi DPT (Difteri Pertussis Tetanus)
b.
Jauhi bayi Anda dari orang yang batuk
c.
Jalani imunisasi jika Anda orang dewasa yang
mempunyai kontak dekat dengan anak kecil
d.
Jauhi kontak langsung dengan penderita (Windyati. S, dkk,
2006).
Vaksin yang dipergunakan biasanya
merupakan kombinasi toksoid difteri dan tetanus dengan vaksin pertusis (vaksin
DPT). Imunitas yang diperoleh baik karena infeksi alamiah maupun karena
imunisasi aktif, tidak berlangsung untuk seumur hidup (Soedarto, 2010).
8.
Pengobatan
1.
Anti mikroba
Pemakai obat-obatan ini di anjurkan pada stadium kataralis yang dini.
Eritromisin merupakan anti mikroba yang sampai saat ini dianggap paling efektif
dibandingkan dengan amoxilin, kloramphenikol ataupun tetrasiklin. Dosis yang
dianjurkan 50mg/kg BB/hari, terjadi dalam 4 dosis selama 5-7 hari (Soedarto, 2010).
2.
Kortikosteroi
a.
Betametason
oral dosis 0,075 mg/lb BB/hari
b.
Hidrokortison
suksinat (sulokortef) I.M dosis 30 mg/kg BB/ hari
c.
Prednisone
oral 2,5 – 5 mg/hari (Soedarto,
2010).
3.
Vaksin
DPT
Vaksin jerap
DPT ( Difteri Pertusis Tetanus ) adalah vaksin yang terrdiri dari toxoid
difteri dan tetanus yang dimurnikan dan bakeri pertusis yang telah diinaktivasi(Budiarto
& Anggraeni 2005).
Indikasi
a.
Untuk
pemberian kekebalan secara simultan terhadap pertusia
Cara pemberian dan dosis:
1.
Sebelum
digunakan vaksin dikocok terlebih dahulu agar menjadi homogen.
2.
Disuntikan
secara IM denagn dosis pemberian 0,5 ml sebanyak 3 dosis.
3.
Dosis
pertama diberikan umur 2 bulan,dosis selanjutnya diberikan 1 bulan
4.
Di
unit pelayanan statis, vaksin DPT yang tekah dibuka hanya boleh digunakan 4
minggu (Budiarto
& Anggraeni 2005).
Efek Sampingnya
a.
Panas
Kebanyakan anak menderita panas pada sore hari setelah mendapat imunisasi DPT,
tetapi panas ini akan sembuh dalam 1-2 hari. Bila panas yang timbul lebih dari
1 hari sesudah pemberian DPT, bukanlah disebabkan oleh vaksin DPT, mungkin ada
infeksi lain yang perlu diteliti lebih lanjut (Windyati. S, dkk,
2006).
b.
Rasa
sakit di daerah suntikan. Sebagian anak merasa nyeri, sakit, kemerahan, bengkak
di tempat suntikan. Bila hal tersebut terjadi setelah suntikan berarti ini
disebabkan oleh suntikan DPT (Windyati. S, dkk, 2006).
c.
PeradanganHal
ini mungkin sebagai akibat dari: jarum suntik tidak steril, bisa karena
tersentuh tangan atau sterilisasi kurang lama ataupun sebelum dipakai menyuntik
jarum diletakkan di atas tempat yang tidak steril.
d.
Kejang-kejang.
Anak yang setelah pemberian vaksin DPT mengalami hal ini, tidak boleh diberi vaksin
DPT lagi dan sebagai gantinya diberi DT saja. Kontra indikasi. Gejala
keabnormalan otak pada periode bayi baru lahir atau gejala serius keabnormalan
pada saraf merupakan kontraindikasi pertussis. Anak yang mengalami
gejala-gejala parah pada dosis pertama, komponen pertussis harus dihindarkan
pada dosis kedua dan untuk meneruskan imunisasinya dapat diberikan DT. (Maryunani,
2011)
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Penyakit Difteri adalah suatu penyakit infeksi mendadak yang
disebabkan oleh kuman corynebacterium
diphtheria. Mudah menular dan yang serang terutama traktus Respiratorius
bagian atas dengan tanda khas terbentuknya pseudomembran dan dilepaskannya
eksotoksin yang dapat menimbulkan gejala umum dan lokal. Tanda dan gejalanya
adalah demam yang tidak terlalau tinggi, lesu, pucat, sakit
kepala, anoreksia, lemah,nyeri telan,sesak napas,serak hingga adanya stridor.
Masa inkubasinya adalah 2-7 hari.
Sejak
diperkenalkan vaksin DPT (Difteri, Pertusis, Tetanus), penyakit difteri jarang
dijumpai. Vaksin imunisasi difteri diberikan pada anak-anak untuk meningkatkan
system kekebalan tubuh agar tidak terserang penyakit tersebut. Anak-anak yang
tidak mendapatkan vaksin akan lebih rentan terhadap penyakit yang menyerang
saluran pernafasan ini.
2.
Pertusis
adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh bakteri Bordotella
pertusis. Pertusis dapat mengenai semua golongan umurdan terbanyak mengenai
anak 1-5 tahun Tiga tahapan dari penyakit pertusis adalah tahap kataralis,
paroksimal dan konvelesensi. Pencegahan penderita pertusis secara garis besar
adalah menjaga kebersihan jalan napas agar terbebas dari bakteri pertusis
B.
Saran
1. Difteri adalah penyebab kematian pada
anak-anak, maka disarankan untuk anak-anak wajib diberikan imunisasi yaitu
vaksin DPT yang merupakan wajib pada anak, tetapi kekebalan yang diperoleh
hanya selama 10 tahun setelah imunisasi. Sehingga orang dewasa sebaiknya
menjalani vaksinasi booster (DT) setiap 10 tahun sekali, dan harus dilakukan
pencarian dan kemudian mengobati carier difteri dan dilkaukan uji schick.
2. Selain itu juga kita dapat menyarankan
untuk mengurangi minum es karena minum minuman yang terlalu dingin secara
berlebihan dapat mengiritasi tenggorokan dan menyebabkan tenggorokan tersa
sakit. Juga menjaga kebersihan badan, pakaian, dan lingkungan karena difteri
mudah menular dalam lingkungan yang buruk dengan tingkat sanitasi rendah. Dan
makanan yang dikonsumsi harus bersih dan memenuhi syarat hygiene dan sanitasi.
DAFTAR
PUSTAKA
Budiarto
& Anggraeni 2005. Pengantar Epidemiologi. Edisi ke-2.
Penerbit Buku Kedokteran, EGC,Jakarta
Kresno, 2010. Imunologi Diagnosis dan
Prosedur Laboratorium . Edisi ke-5, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
Maryunani, A. 2011. Ilmu Kesehatan Anak
Dalam Kebidanan. Penerbit Trans Info, Jakarta.
Prasetyawati.
2012. Kesehatan Ibu dan Anak (KIA),dalam Milenium Development Goals (MDGs). Penerbit Nuha Medika, Yogyakarta.
Setiawan. M, 2008. Imunisasi.
CV.Sagung seto, Jakarta.
Soedarto, 2010. Virologi
klinik. CV. Sagung Seto, Jakarta.
Windyati. S, dkk, 2006. Imunisasi Dasar Pada Bayi (http://www.kesehatan–anak. com, diakses, 11 November, 2013).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar