BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Tinjauan Tentang Sosial Budaya
1. Defenisi
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta
yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi
atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal
manusia. Budaya ialah
segala hal yang dibuat oleh manusia berdasarkan pikiran dan akal budinya yang
mengandung cinta, rasa dan karsa. Dapat berupa kesenian, moral, pengetahuan,
hukum, kepercayaan, adat istiadat, & ilmu (Koentjaraningrat, 2002).
Dalam bahasa Inggris,
kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere,
yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah
atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai
"kultur" dalam bahasa Indonesia
Sosial adalah segala sesuatu yang mengenai
masyarakat atau kemasyarakatan atau dapat juga berarti suka memperhatikan
kepentingan umum (kata sifat)
Sosial Budaya adalah segala hal yang dicipta oleh
manusia dengan pemikiran dan budi nuraninya dalam kehidupan bermasyarakat
Kebudayaan
sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw
Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat
ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah
untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism (Koentjaraningrat,
2002).
Herskovits
memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke
generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic
Menurut Andreas
Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial,norma sosial,
ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan
lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang
menjadi ciri khas suatu masyarakat (Notoatmodjo, 2007).
Menurut Edward
Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya
terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan
kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat
Secara sederhana kebuadayaan
dapat diartikan sebagai hasil dari cipta, karsa, dan rasa. Sebenarnya
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu
buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal)
diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam
bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin
Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan (Prasetyawati, 2012).
Koentjaraningrat (2002)
mendefinisikan kebudayaan adalah seluruh kelakuan dan hasil kelakuan manusia
yang teratur oleh tata kelakuan yang harus didapatkannya dengan belajar dan
semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat. Asalkan sesuatu yang dilakukan
manusia memerlukan belajar maka hal itu bisa dikategorikan sebagai budaya (Koentjaraningrat, 2002).
Taylor dalam bukunya Primitive
Culture, memberikan definisi kebudayaan sebagai keseluruhan yang kompleks yang
didalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, dan kemampuan kesenian,
moral, hukum, adat-istiadat dan kemampuan lain serta kebiasaankebiasaan
yang didapat manusia sebagai anggota masyarakat.
Menurut Herskovits, Budaya sebagai
hasil karya manusia sebagai bagian dari lingkungannya (culture is the
human-made part of the environment). Artinya segala sesuatu yang merupakan
hasil dari perbuatan manusia, baik hasil itu abstrak maupun nyata, asalkan
merupakan proses untuk terlibat dalam lingkungannya, baik lingkungan fisik
maupun sosial, maka bisa disebut budaya.
Dari berbagai definisi tersebut,
dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan adalah sesuatu yang akan
memengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang
terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari,
kebudayaan itu bersifat abstrak (Koentjaraningrat,
2002).
Sedangkan perwujudan kebudayaan
adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya,
berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola
perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan
lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan
kehidupan bermasyarakat (Prasetyawati, 2012).
2.
Jenis-jenis kebudayaan di Indonesia
a.
Kebudayaan Modern
Kebudayaan
modern biasanya berasal dari manca negara datang di Indonesia merupakan budaya/
kesenian import. Budaya modern akting, penampilan, dan kemampuan meragakan
diri didasari sifat komersial. Budaya modern lebih mengesampingkan norma , gaya menjadi idola masyarakat dan
merupakan target sasaran Contoh : film,
musik jazz.
b. Kebudayaan
Tradisional
Bersumber dan
berkembang dari daerah setempat. Penampilan mengutamakan norma dengan
mengedepankan intuisi bahkan bersifat
bimbingan
Dan petunjuk tentang
kehidupan manusia. Kebudayaan tradisional kurang mengutamakan komersial dan
sering dilandasi sifat kekeluargaan. Contoh : Ketoprak, wayang orang,
keroncong, ludruk.
c. Budaya
Campuran
Budaya campuran
pada hakekatnya merupakan campuran budaya modern dengan budaya tradisional yang
berkembang dengan cara asimilasi ataupun defusi. Kebudayaan campuran sudah
memperhitungkan komersiel tapi masih mengindahkan norma dan adat setempat.
Contoh : Musik dangdut, orkes gambus, campur sari
(Koentjaraningrat,
2002).
3.
Unsur
Kebudayaan
Koentjaraningrat (2002) membagi budaya menjadi
7 unsur : yakni sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan
organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata
pencaharian hidup dan sistem teknologi dan peralatan. Ketujuh unsur itulah yang
membentuk budaya secara keseluruhan.
4. Aspek Sosial yang Mempengaruhi Status Kesehatan dan Perilaku
Kesehatan
Koentjaraningrat, (2002)mengemukakan
bahwaada beberapa aspek sosial yang mempengaruhi status kesehatan antara lain
adalah :
a.
Umur
Jika dilihat
dari golongan umur maka ada perbedaan pola penyakit berdasarkan golongan umur.
Misalnya balita lebiha banyak menderita penyakit infeksi, sedangkan golongan
usila lebih banyak menderita penyakit kronis seperti hipertensi, penyakit
jantung koroner, kanker, dan lain-lain.
b. Jenis
Kelamin
Perbedaan jenis
kelamin akan menghasilkan penyakit yang berbeda pula. Misalnya
dikalangan wanita lebih banyak
menderita kanker payudara, sedangkan laki-laki banyak menderita kanker prostat.
c. Pekerjaan
Ada hubungan
antara jenis pekerjaan dengan pola penyakit. Misalnya dikalangan petani banyak
yang menderita penyakit cacing akibat kerja yang banyak dilakukan disawah
dengan lingkungan yang banyak cacing. Sebaliknya buruh yang bekerja diindustri
, misal dipabrik tekstil banyak yang menderita penyakit saluran pernapasan
karena banyak terpapar dengan debu.
d. Sosial
Ekonomi
Keadaan sosial
ekonomi juga berpengaruh pada pola penyakit. Misalnya penderita obesitas lebih
banyak ditemukan pada golongan masyarakat yang berstatus ekonomi tinggi,
dan sebaliknya malnutrisi lebih banyak ditemukan dikalangan masyarakat
yang status ekonominya rendah.
Menurut H.Ray
Elling (1970) ada 2 faktor sosial yang berpengaruh pada perilaku kesehatan :
1. Self concept
Self concept
kita ditentukan oleh tingkatan kepuasan atau ketidakpuasan yang kita rasakan
terhadap diri kita sendiri, terutama bagaimana kita ingin memperlihatkan diri
kita kepada orang lain. Apabila orang lain melihat kita positip dan menerima
apa yang kita lakukan, kita akan meneruska perilaku kita, begitu pula
sebaliknya.
2. Image kelompok
Image seorang
individu sangat dipengaruhi oleh image kelompok. Sebagai contoh, anak
seorang dokter akan terpapar oleh organisasi kedokteran dan orang-orang
dengan pendidikan tinggi, sedangkan anak buruh atau petani tidak terpapar
dengan lingkungan medis, dan besar kemungkinan juga tidak bercita-cita untuk
menjadi dokter.
Menurut
G.M. Foster (1973) , aspek budaya dapat mempengaruhi kesehatan adalah:
a. Pengaruh
tradisi
Ada beberapa
tradisi dalam masyarakat yang dapat berpengaruh negatif terhadap kesehatan
masyarakat, misalnya di New Guinea, pernah terjadi wabah penyakit kuru.penyakit
ini menyerang susunan saraf otak dan penyebabnya adalah virus.penderita hamya terbatas
pada anak-anak dan wanita.setelah dilakukan penelitaian ternyata penyakit ini
menyebar karena adanya tadisi kanibalisme
b. Sikap
fatalistis
Hal lain adalah
sikap fatalistis yang juga mempengaruhi perilaku kesehatan. Contoh :
Beberapa anggota masyarakat dikalangan kelompok tertentu (fanatik) yang
beragama islam percaya bahwa anak adalah titipan Tuhan, dan sakit atau mati
adalah takdir, sehingga masyarakat kurang berusaha untuk segera mencari
pertolongan pengobatan bagi anaknya yang sakit pengobatan bagi anaknya yang
sakit,atau menyelamatkan seseorang dari kematian.
c. Sikap
ethnosentris
Sikap
ethnosentrime adalah sikap yang memandang bahwa kebudayaan sendiri yang paling
baik jika dibandingkan dengan kebudayaan pihak lain.misalnya orang-orang barat
merasa bangga terhadap kemajuan ilmu dan teknologi yang dimilikinya,dan selalu
beranggapan bahwa kebudayaannya paling maju,sehingga merasa superior terhadap
budaya dari masyarakat yang sedang berkembang. tetapi dari sisi lain,semua
anggota dari budaya lainnya menganggap bahwa yang dilakukan secar alamiah
adalah yang terbaik. Oleh karena itu,sebagai petugas kesehatan kita harus
menghindari sikap yang menganggap bahwa petugas adalah orang yang paling
pandai,paling mengetahui tentang masalah kesehatan karena pendidikan petugas
lebih tinggi dari pendidikan masyarakat setempat sehingga tidak perlu mengikut
sertakan masyarakat tersebut dalam masalah kesehatan masyarakat.dalam hal ini
memang petugas lebih menguasai tentang masalah kesehatan,tetapi masyarakat dimana
mereka bekerja lebih mengetahui keadaan di masyarakatnya sendiri.
d. Pengaruh perasaan bangga pada
statusnya
Contoh : Dalam upaya perbaikan gizi,
disuatu daerah pedesaan tertentu, menolak untuk makan daun singkong, walaupun
mereka tahu kandungan vitaminnya tinggi. Setelah diselidiki ternyata
masyarakat bernaggapan daun singkong hanya pantas untuk makanan kambing, dan
mereka menolaknya karena status mereka tidak dapat disamakan dengan kambing.
e. Pengaruh
norma
Seperti halnya
dengan rasa bangga terhadap statusnya,norma dimasyarakat sangat mempengaruhi
perilaku kesehatan dari anggota masyarakatnya yang mendukung norma tersebut.
sebagai contoh,untuk menurunkan angka kematian ibu dan bayi banyak mengalami
hambatan karena adanya norma yang melarang hubungan antara dokter sebagai
pemberi layanan dengan ibu hamil sebagai pengguna layanan.
Contoh : upaya
untuk menurunkan angka kematian ibu dan bayi banyak mengalami hambatan karena
ada norma yang melarang hubungan antara dokter yang memberikan pelayanan dengan
bumil sebagai pengguna pelayanan.
f. Pengaruh
nilai
Nilai
yang berlaku didalam masyarakat berpengaruh terhadap perilaku kesehatan. Contoh
: masyarakat memandang lebih bergengsi beras putih daipada beras merah, padahal
mereka mengetahui bahwa vitamin B1 lebih tinggi diberas merah daripada diberas
putih. Meskipun masyarakat mengetahiu bahwa beras merah lebih banyak mengandung
vitamin B1 jika dibandingkan dengan beras putih,masyarakat ini memberikan nilai
bahwa beras putih lebih enak dan lebih bersih.
Contoh
lain adalah masih banyak petugas kesehatan yang merokok meskipun mereka
mengetahui bagaimana bahaya merokok terhadap kesehatan
g.
Pengaruh unsur budaya yang dipelajari pada tingkat awal dari proses sosialisasi
terhadap perilaku kesehatan.
Kebiasaan yang
ditanamkan sejak kecil akan berpengaruh terhadap kebiasaan pada seseorang
ketika ia dewasa. Misalnya saja, manusia yang biasa makan nasi sejak kecil,
akan sulit diubah kebiasaan makannya setelah dewasa (Notoatmodjo, 2007).
Pada tingkat
awal proses sosialisasi,seorang anak diajakan antara lain bagaimana cara
makan,bahan makanan apa yang dimakan,cara buang air kecil dan besar,dan
lain-lain. kebiasaan tersebut terus dilakukan sampai anak tersebut dewasa dan
bahkan menjadi tua.kebiasaan tersebut sangat mempngaruhi perilaku kesehatan
yang sangat sulit untuk diubah (Koentjaraningrat,
2002).
h. Pengaruh
konsekuensi dari inovasi terhadap perilaku kesehatan
Apabila seorang
petugas kesehatan ingin melakukan perubahan perilaku kesehatan masyarakat, maka
yang harus dipikirkan adalah konsekuensi apa yang akan terjadi jika melakukan
perubahan, menganalisis faktor-faktor yang terlibat/berpengaruh pada perubahan,
dan berusaha untuk memprediksi tentang apa yang akan terjadi dengan perubahan
tersebut (Koentjaraningrat,
2002).
Tidak ada
perubahan yang terjadi dalam isolasi,atau dengan perkataan lain,suatu perubahan
akan menghasilkan perubahan yang kedua dan perubahan yang ketiga.apabila
seorang pendidik kesehatan ingin melakukan perubahan perilaku kesehatan
masyarakat,maka yang harus dipikirkan adalah konsekuensi apa yang akan terjadi
jika melakukan perubahan,menganalisis faktor-faktor yang terlibat/berpengaruh
terhadap perubahan,dan berusaha untuk memprediksi tentang apa yang akan terjadi
dengan perubahan tersebutapabila ia tahu budaya masyarakat setempat dan apabila
ia tahu tentang proses perubahan kebudayaan,maka ia harus dapat mengantisipasi
reaksi yang muncul yang mempengaruhi outcome dari perubahan yang telah
direncanakan (Notoatmodjo, 2007).
6. Makanan Dan Budaya
a. Definisi Makanan
Makanan adalah
bahan selain obat yang mengandung zat-zat gizi dan atau unsurunsur/ikatan kimia
yang dapat diubah menjadi zat gizi oleh tubuh, yang berguna bila dimasukkan
dalam tubuh (Arisman,
2009).
b. Kebudayaan
Menentukan Makanan
Sebagai suatu
konsep budaya, makanan (food) bukanlah semata-mata suatu produk organik dengan
kualitas-kualitas biokimia yang dapat dipakai oleh organisma termasuk manusia
untuk mempertahankan hidupnya. Akan tetapi makanan sebagai sesuatu yang akan
dimakan, diperlukan pengesahan budaya. Lewat konsep-konsep budaya itulah
sejumlah makanan yang menurut ilmu gizi sangat bermanfaat untuk dikonsumsi,
tetapi dalam prakteknya bisa jadi justru dihindari.
Contoh :
1) Adanya pantangan bayi dan anak tidak
diberikan daging, ikan, telur, dan makanan yang dimasak dengan santan dan
kelapa parut sebab dipercaya akan menyebabkan cacingan, sakit perut, dan sakit
mata .
2) Bagi gadis dilarang makan buah:
pepaya, nanas dan jenis pisang tertentu (yang dianggap tabu) karena ada
hubungan yang erat dengan siklus masa haid, hubungan kelamin dan reproduksi .
Jadi, dapat kita pahami bahwa adanya masalah
gizi di Indonnesia bukan hanya karena masalah sosek, tapi juga karena
alasan-alasan budaya, di mana ada ketersediaan makanan tetapi terpaksa tidak
dikonsumsi karena kepercayaan atau ketidaklaziman atau karena larangan agama (Arisman, 2009).
c. Istilan Makanan “Food Versus Nutrimen”
Masalah
aktivitas makan tidak semata-mata sebagai aktivitas fisik manusia untuk
pemenuhan naluriahnya seperti lapar, tetapi juga di dalamnya dilekati
oleh pengetahuan budaya. Lewat pengetahuan budaya itu, masyarakat manusia
mengkategorikan makanan ke dalam dua istilah yaitu nutrimen (nutriment) dan
makanan (food).
1) Nutriment adalah suatu konsep
biokimia, suatu zat yang mampu untuk memelihara dan menjaga kesehatan organisme
yang menelannya, terlepas dari apakah makanan itu diperbolehkan atau dilarang
dalam kaitannya dengan budaya (Arisman, 2009).
2) Food adalah suatu konsep budaya.
Sebagai konsep budaya, maka di dalamnya terdapat penjelasan budaya mengenai
kategori (bahan) makanan anjuran lawan makanan tabu (larangan); makanan
prestise lawan makanan rendah; makanan dingin lawan makanan panas, dan
sebagainya. Sebagai suatu konsep budaya, makanan (food) bukanlah semata-mata
suatu produk organik dengan kualitas-kualitas biokimia yang dapat dipakai oleh
organisma termasuk manusia untuk mempertahankan hidupnya. Akan tetapi makanan
sebagai sesuatu yang akan dimakan, diperlukan pengesahan budaya (Notoatmodjo,
2007).
Jellife
& Bennet 1962 menyatakan : “Manusia dimana saja, bahkan dalam keadaan sukar
sekalipun, hanya makan sebagian dari bahan-bahan yang sebenarnya dapat dimakan
tersedia”.
d. Klasifikasi
Makanan
Variasi
klasifikasi makanan antara lain :
1) Menurut prestise – status
2) Pertemuan sosial
3) Usia
4) Keadaan sehat – sakit
5) Nilai simbolik – ritual (Arisman, 2009).
e.
Peranan Simbolik Makanan
1) Sebagai
ungkapan ikatan social
Misalnya :
a)
Menawarkan
makanan sebagai simbolis ungkapan persahabatan, perhatian, kasih sayang
b)
Tidak
memberi makanan sebagai ungkapan simbolis permusuhan, kemarahan
c)
Sebagai
ungkapan kesetiakawanan kelompok. Misalnya: makan bersama, berkumpul dimeja
besar melambangkan keakraban keluarga
2) Makanan dan stress
Misal : terpenuhinya makanan kesukaan –
kebiasaan membuat dirinya tenang.
3) Simbolisme makanan dalam bahasa
Kualitas
makanan digunakan untuk menggambarkan kualitas manusia. Misal : wajah
susu madu diartikan sebagai seseorang dengan wajah kuning langsat .
f. Pembatasan
Budaya Terhadap Kecukupan Gizi
1) Kegagalan melihat hubungan antara makanan dan
kesehatan
Adalah kesenjangan yang besar dalam pemahaman
tentang bagaimana makanan itu dapat digunakan sebaik-baiknya untuk kesehatan,
misal :
a) Susunan hidangan yang cenderung
ditafsirkan berdasar kuantitasnya tanpa memperhatikan kualitas.
b) Kepercayaan / tabu terhadap makanan
yang tidak menguntungkan kesehatan bila tabu tersebut diterapkan.
2)
Kegagalan
untuk mengenali kebutuhan gizi pada anak-anak.
a) Kegagalan budaya masyarakat memahami
bahwa anak-anak memerlukan makanan khusus.
b) Kepercayaan/tabu terhadap makanan
yang merugikan anak-anak.
c) Ketidaktahuan gizi / kecukupan gizi
anak (Koentjaraningrat,
2002).
7.
Manfaat Bagi Petugas Kesehatan Mempelajari Kebudayaan
a.
Di
dalam semua religi atau agama, ada kepercayaan tertentu yang berkaitan dengan
kesehatan, gizi, dll. Misal : orang yang beragama Islam : tidak makan babi,
sehingga dalam 2 rangka memperbaiki status gizi, seorang petugas kesehatan
dapat menganjurkan makanan lain yang bergizi yang tidak bertentangan dengan
agamanya.
b.
Dengan
mempelajari organisasi masyarakat, maka petugas kesehatan akan mengetahui
organisasi apa saja yang ada di masyarakat, kelompok mana yang berkuasa,
kelompok mana yang menjadi panutan, dan tokoh mana yang disegani.
Sehingga dapat dijadikan strategi pendekatan yang lebih tepat dalam upaya
mengubah perilaku kesehatan masyarakat.
c.
Petugas
kesehatan juga perlu mengetahui pengetahuan masyarakat tentang kesehatan.
Dengan mengetahui pengetahuan masyarakat maka petugas kesehatan akan
mengetahui mana yang perlu ditingkatkan, diubah dan pengetahuan mana yang perlu
dilestarikan dalam memperbaiki status kesehatan.
d.
Petugas kesehatan juga perlu mempelajari
bahasa lokal agar lebih mudah berkomunikasi, menambah rasa kedekatan, rasa
kepemilikan bersama dan rasa persaudaraan.
e.
Selain
itu perlu juga mempelajari tentang kesenian dimasyarakat setempat. Karena
petugas kesehatan dapat memanfaatkan kesenian yang ada dimasyarakat untuk
menyampaikan pesan kesehatan.
f.
Sistem
mata pencaharian juga perlu dipelajari karena sistem mata pencaharian ada
kaitannya dengan pola penyakit yang diderita oleh masyarakat tersebut.
g.
Teknologi
dan peralatan masyarakat setempat . Masyarakat akan lebih mudah menerima
pesan yang disampaikan petugas jika petugas menggunakan teknologi dan peralatan
yang dikenal masyarakat (Notoatmodjo, 2007).
8. Perubahan Sosial Budaya
Dalam teori HL
blum tentang status ksehatan,maka dijelaskan tentang beberapa faktor yang
mempengaruhi status kesehatan, antara lain:
1.
Lingkungan
yang terdiri dari lingkungan fisik,social budaya,ekonomi,prilaku,keturunan,dan
pelayanan kesehatan.
2.
Blum juga menjelaskan,bahwa lingkungan sosial
budaya tersebut tidak saja mempengaruhi status kesehatan,tetapi juga
mempengaruhi perilaku kesehatan
Sebagaimana kita ketahui bahwa masyarakat Indonesia terdiri
dari banyak suku bangsa yang mempunyai latar budaya yang beraneka
ragam.lingkungan budaya tersebut sangat mepegaruhi tingkah laku manusia yang
memiliki budaya tersebut,sehingga dengan beranekaragam budaya,menimbulkan
variasi dalam perilaku manusia dalam segala hal, termasuk dalam perilaku
kesehatan (Notoatmodjo, 2007).
Dengan masalah tersebut, maka petugas kesehatan yang
memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat dangan latar budaya yang
beraneka ragam, perlu sekali mengetahui budaya dan masyarakat yang
dilayaninya,agar pelayanan kesehatan yang diberikan kepada masyarakat akan
memberikan hasil yang optimal,yaitu meningkatkan kesehatan masyarakat
(Prasetyawati, 2012).
Manusia adalah
mahluk sosial yang dalam kehidupannya tidak bisa hidup sendiri sehingga
membentuk kesatuan hidup yang dinamakan masyarakat.dengan definisi
tersebut,Ternyata pengertian masyarakat masih dirasakan luas dan abstrak
sehingga untuk lebih konkretnya maka ada beberapa unsur masyarakat,unsur
masyarakat dikelompokan menjadi 2 bagian yaitu:
1.
Kesatuan
sosial dan
2.
Pranata
sosial.
Kesatuan sosial
merupakan bentuk dan susunan dari kesatuan-kesatuan individu yang berinteraksi
dengan kehidupan masyarakat.sedangkan yang dimaksud , pranata sosial adalah himpunan norma-norma dari segala tingkatan
yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok dalam kehidupan masyarakat.
norma-norma tersebut memberikan petunjuk bagi tingkah laku seseorang yang hidup
dalam masyarakat. Kebudayaan. dalam pengertian yang terbatas,banyak orang yang
memberikan definisi kebudayaan sebagai bangunan yang indah,candi,tari-tarian,seni
suara dan seni rupa (Notoatmodjo, 2007).
9. Contoh-Contoh Kebudayaan Yang Berhubungan Dengan Kesehatan Ibu
Berikut kebudayaan yang dianut oleh
masyarakat Indonesia adala
1. Kebudayaan
bagi wanita hamil :
Berbagai
kelompok masyarakat di berbagai tempat yang menitik beratkan perhatian mereka
terhadap aspek kultural dari kehamilan dan menganggap peristiwa itu sebagai
tahapan-tahapan kehidupan yang harus dijalani didunia.Masa kehamilan dan
kelahiran dianggap masa krisis yang berbahaya,baik bagi janin atau bayi maupun
bagi ibunya karna itu sejak kehamilan sampai kelahiran para kerabat dan
handai-tolan mengadakan serangkaian upacara baggi wanita hamil dengan tujuan
mencari keselamatan bagi diri wanita itu serta bayinya,saat berada di dalam
kandungan hingga saat lahir (Prasetyawati, 2012).
Orang
jawa adalah salah satu contoh dari masyarakat yang sering menitikberatkan
perhatian pada aspek krisis kehidupan dari pertistiwa kehamilan,sehingga di
dalam adat-istiadat mereka terdapat berbagai upacara adat yang cukup rinci
untuk menyambut kelahiran bayi.Biasanya upacara dimulai sejak usia ketujuh
bulan kandungan ibu sampai pada saat kelahirannya,walaupun ada pula sebagian
kecil warga masyarakat yang telah melakukannya sejak janin di kandungan ibu
berusia tiga bulan.upacara –upacara adat jawa yang bertujuan mengupayakan
keselamatan bagi janin dalam prosesnya menjadi bayi hingga saat kelahirannya
itu adalah upacara mitoni,procotan dan brokohan (Prasetyawati, 2012).
Sebagian
masyarakat jawa juga percaya bahwa bayi yang lahir pada usia tujuh bulan
mempunyai peluang untuk hidup,bahkan lebih kuat daripada bayi yang lahir pada
usia kehamilan delapan bulan,walupun kelahiran itu masih prematur.Kepercayaan
ini tampak terdapat pula pada sejumlah suku bangsa di indonesia dan malaysia(Koentjaraningrat,
2002).
Upacara procotan dilakukan dengan membuat sajian jenang procot yakni bubur
putih yang dicampur dengan irisan ubi.Upacara procotan khusus bertujuan agar
sang bayi mudah lahir dan rahim ibunya (Notoatmodjo,
2007).
Brokohan adalah upacara sesudah lahirnya bayi dengan selamat dengan membuat
sajian nasi urap dan telur rebus yang diedarkan pada sanak kluarga untuk
memberitahukan kelahiran sang bayi. Pusat perhatian orang jawa mengenai
pelaksanaan upacara pada masa kehamilan dan kelahiran terletak pada unsur
tecapainya keselamatan,yang dilandasi atas keyakinan mengenai krisis kehidupan
yang mengandung bahaya dan harus ditangkal,serta harapan akan kebaikan bagi
janin dan ibunya.Maka upacara kelahiran seringkali tidak dilaksanakan dalam bentuk kenduri besar
dengan mengundang banyak handai-taulani (Koentjaraningrat,
2002).
Selain di jawa di Setiap daerah juga
mempunyai kebudayaan yang berbeda-beda dikalangan masyarakat terhadap kesehatan
ibu. Berikut budaya yang ada di beberapa daerah terhadap kesehatan ibu
hamil :
1. Jawa Tengah :
Bahwa ibu hamil pantang makan telur karena akan
mempersulit persalinan dan pantang makan daging karena akan menyebabkan
perdarahan yang banyak.
2. Jawa Barat :
Ibu yang kehamilannya memasuki 8-9 bulan sengaja harus
mengurangi makannya agar bayi yang dikandungnya kecil dan mudah dilahirkan.
3. Masyarakat Betawi :
Berlaku pantangan makan ikan asin, ikan laut, udang dan
kepiting karena dapat menyebabkan ASI menjadi asin.
4. Daerah Subang
Ibu
hamil pantang makan dengan menggunakan piring yang besar karena khawatir
bayinya akan besar sehingga akan mempersulit persalinan. Dan memang, selain
ibunya kurang gizi, berat badan bayi yang dilahirkan juga rendah.Tentunya hal
ini sangat mempengaruhi daya tahan dan kesehatan si bayi. Selain itu, larangan
untuk memakan buah-buahan seperti pisang, nenas, ketimun dan lain-lain bagi
wanita hamil juga masih dianut oleh beberapa kalangan masyarakat terutama
masyarakat di daerah pedesaan. (Wibowo,1993).
Pada beberapa masyarakat
tradisional di Indonesia kita bisa melihat konsepsi budaya yang terwujud dalam
perilaku berkaitan dengan kebudayaan ibu bersalin yang berbeda, dengan konsepsi kesehatan modern.
Beberapa hal yang dilakukan oleh masyarakat pada ibu bersalin:
a) Minum
rendaman air rumput Fatimah akan merangsang mulas.
Memang,
rumput Fatimah bisa membuat mulas pada ibu hamil, tapi apa kandungannya belum
diteliti secara medis. Rumput fatimah atau biasa disebut Labisia pumila ini,
berdasarkan kajian atas obat-obatan tradisional di Sabah, Malaysia, tahun 1998,
dikatakan mengandung hormon oksitosin yang dapat membantu menimbulkan
kontraksi. Tapi, apa kandungan dan seberapa takarannya belum diteliti secara
medis. Jadi, harus dikonsultasikan dulu ke dokter sebelum meminumnya. Karena,
rumput ini hanya boleh diminum bila pembukaannya sudah mencapai 3-5 cm, letak
kepala bayi sudah masuk panggul, mulut rahim sudah lembek atau tipis, dan
posisi ubun-ubun kecilnya normal. Jika letak ari-arinya di bawah atau bayinya
sungsang, tak boleh minum rumput ini karena sangat bahaya. Terlebih jika
pembukaannya belum ada, tapi si ibu justru dirangsang mulas pakai rumput ini,
bisa-bisa janinnya malah naik ke atas dan membuat sesak nafas si ibu. Mau tak
mau, akhirnya dilakukan jalan operasi (Prasetyawati, 2012).
b) Meluarnya
lendir semacam keputihan yang agak banyak menjelang persalinan, akan membantu
melicinkan saluran kelahiran hingga bayi lebih mudah keluar. Ini tak benar!
Keluarnya cairan keputihan pada usia hamil tua justru tak normal, apalagi
disertai gatal, bau, dan berwarna. Jika terjadi, segera konsultasikan ke
dokter. Ingat, bayi akan keluar lewat saluran lahir. Jika vagina terinfeksi,
bisa mengakibatkan radang selaput mata pada bayi. (Koentjaraningrat,
2002).
c)
Minum minyak kelapa
memudahkan persalinan.
Minyak
kelapa, memang konotasinya bikin lancar dan licin. Namun dalam dunia
kedokteran, minyak tak ada gunanya sama sekali dalam melancarkan persalinan.
Mungkin secara psikologis, ibu hamil menyakini, dengan minum dua sendok minyak
kelapa dapat memperlancar persalinannya. Jika itu demi ketenangan psikologisnya,
maka diperbolehkan, karena minyak kelapa bukan racun.
d) Minum
madu dan telur dapat menambah tenaga untuk persalinan.
Madu tak boleh sembarangan dikonsumsi ibu hamil. Jika
BB-nya cukup, sebaiknya jangan minum madu karena bisa mengakibatkan overweight.
Bukankah madu termasuk karbonhidrat yang paling tinggi kalorinya? Jadi, madu
boleh diminum hanya jika BB-nya kurang. Begitu BB naik dari batas yang
ditentukan, sebaiknya segera hentikan. Demikian juga dengan telur, pada
dasarnya selama telur itu matang maka tidak akan berbahaya bagi kehamilan. Hal
ini disebabkan karena telur banyak mengandung protein yang dapat menambah
kalori tubuh.
e)
Makan duren, tape,
dan nanas bisa membahayakan persalinan.
Ini benar karena bisa mengakibatkan perndarahan atau keguguran.
Duren mengandung alkohol, jadi panas ke tubuh. Begitu juga tape serta aneka
masakan yang menggunakan arak, sebaiknya dihindari. Buah nanas juga, karena
bisa mengakibatkan keguguran.
f) Makan
daun kemangi membuat ari-ari lengket, hingga mempersulit persalinan. Yang membuat lengket ari-ari bukan daun kemangi, melainkan ibu
yang pernah mengalami dua kali kuret atau punya banyak anak, misal empat anak.
Ari-ari lengket bisa berakibat fatal karena kandungan harus diangkat. Ibu yang
pernah mengalami kuret sebaiknya melakukan persalinan di RS besar. Hingga, bila
terjadi sesuatu dapat ditangani segera (Prasetyawati, 2012).
g) Tak
boleh keramas
Pantangan yang satu ini dicemaskan bisa membuat si ibu
masuk angin. Itu sebab, sebagai gantinya rambut cukup diwuwung, yakni sekadar
disiram dengan air dingin. Lagi-lagi, penyiraman ini diyakini agar darah putih
bisa turun dan tak menempel di mata. Namun agar tak bau apek dan tetap harum
disarankan menggunakan ratus pewangi. Tentu saja pantangan semacam itu untuk
kondisi jaman sekarang dirasa memberatkan. Terlebih untuk ibu-ibu yang harus
sering beraktivitas di luar rumah. Sedangkan mandi boleh-boleh saja asal
dilakukan jam 5 atau 6 untuk mandi pagi dan sebelum magrib untuk mandi malam.
Penggunaan air dingin, katanya, justru lebih baik ketimbang air hangat karena
bisa melancarkan produksi ASI (Notoatmodjo,
2007).
5. Hindari
makan jemek
Golongan makanan yang harus dijauhi adalah pepaya,
durian, pisang, dan terung. Karena konon ragam makanan tadi bisa dikhawatirkan
bikin benyek organ vital kaum Hawa. Termasuk makanan bersantan dan pedas karena
pencernaannya bakal terganggu yang bisa berpengaruh pada bayinya. Begitu juga
ikan dan telur asin serta makanan lain yang berbau amis karena dikhawatirkan
bisa menyebabkan bau anyir pada ASI yang membuat bayi muntah saat disusui.
Selain juga, proses penyembuhan luka-luka di jalan lahir akan lebih lambat (Koentjaraningrat,
2002).
Secara medis, menurut Chairulsjah, tak benar anggapan
untuk pantang pepaya dan pisang yang justru amat dianjurkan karena tergolong
sumber makanan yang banyak mengandung serat untuk memudahkan BAB. Ikan dan
telur juga merupakan salah satu sumber protein hewani yang baik dan amat
dibutuhkan tubuh. Sedangkan durian memang tak dianjurkan karena kandungan
kolesterolnya tinggi, selain memicu pembentukan gas yang bisa mengganggu
pencernaan.
6. Tidak
boleh berpergian
Kalau dipikir-pikir larangan ini, bertujuan supaya si ibu
tak terlalu letih beraktivitas. Kalau capek bisa-bisa ASI-nya berkurang.
Kasihan si kecil. Karena biasanya seumur ini sedang kuat-kuatnya menyusu. Belum
lagi kemungkinan si bayi rewel ditinggal ibunya terlalu lama. Sementara kalau
diajak pun masih kelewat kecil. Malah takut ada apa-apa di jalan, terutama
kalau menggunakan angkutan umum. Bepergian pun membuat si ibu jadi tak tahan
menghadapi aneka godaan untuk menyantap segala jenis makanan yang dipantang.
B.
Tinjauan Tentang Kesehatan
1. Defenisi
Kesehatan adalah
keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang
hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Pemeliharaan kesehatan adalah upaya
penaggulangan dan pencegahan gangguan kesehatan yang memerlukan pemeriksaan,
pengobatan dan/atau perawatan termasuk kehamilan dan persalinan. Pendidikan
kesehatan adalah proses membantu sesorang, dengan bertindak secara
sendiri-sendiri ataupun secara kolektif, untuk membuat keputusan berdasarkan
pengetahuan mengenai hal-hal yang mempengaruhi kesehatan pribadinya dan orang
lain (Prasetyawati, 2012).
Definisi yang bahkan lebih sederhana diajukan oleh Larry
Green dan para koleganya yang menulis bahwa pendidikan kesehatan adalah
kombinasi pengalaman belajar yang dirancang untuk mempermudah adaptasi sukarela
terhadap perilaku yang kondusif bagi kesehatan. Data terakhir menunjukkan bahwa
saat ini lebih dari 80 persen rakyat Indonesia tidak mampu mendapat jaminan
kesehatan dari lembaga atau perusahaan di bidang pemeliharaan kesehatan,
seperti Akses, Taspen, dan Jamsostek. Golongan masyarakat yang dianggap
'teranaktirikan' dalam hal jaminan kesehatan adalah mereka dari golongan
masyarakat kecil dan pedagang. Dalam pelayanan kesehatan, masalah ini menjadi
lebih pelik, berhubung dalam manajemen pelayanan kesehatan tidak saja terkait
beberapa kelompok manusia, tetapi juga sifat yang khusus dari pelayanan
kesehatan itu sendiri (Notoatmodjo,
2007).
UU No.23,1992 tentang Kesehatan menyatakan bahwa:
Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang
memungkinkan hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Dalam pengertian ini
maka kesehatan harus dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh terdiri dari
unsur-unsur fisik, mental dan sosial dan di dalamnya kesehatan jiwa
merupakanbagian integral kesehatan.
2.
Kebudayaan dan Pengobatan Tradisional
Masing-masing kebudayaan memiliki berbagai pengobatan
untuk penyembuhan anggota masyarakatnya yang sakit. Berbeda dengan ilmu
kedokteran yang menganggap bahwa penyebab penyakit adalah kuman, kemudian
diberi obat antibiotika dan obat tersebut dapat mematikan kuman penyebab
penyakit. Pada masyarakat tradisional, tidak semua penyakit itu disebabkan oleh
penyebab biologis. Kadangkala mereka menghubung-hubungkan dengan sesuatu yang
gaib, sihir, roh jahat atau iblis yang mengganggu manusia dan menyebabkan sakit
(Koentjaraningrat,
2002).
Banyak suku di Indonesia menganggap bahwa penyakit itu
timbul akibat guna-guna. Orang yang terkena guna-guna akan mendatangi dukun
untuk meminta pertolongan. Masing-masing suku di Indonesia memiliki dukun atau
tetua adat sebagai penyembuh orang yang terkena guna-guna tersebut. Cara yang
digunakan juga berbeda-beda masing-masing suku. Begitu pula suku-suku di dunia,
mereka menggunakan pengobatan tradisional masing-masing untuk menyembuhkan
anggota sukunya yang sakit (Notoatmodjo,
2007).
Suku Azande di Afrika Tengah mempunyai kepercayaan bahwa
jika anggota sukunya jari kakinya tertusuk sewaktu sedang berjalan
melalui jalan biasa dan dia terkena penyakit tuberkulosis maka dia
dianggap terkena serangan sihir. Penyakit itu disebabkan oleh serangan tukang
sihirdan korban tidak akan sembuh sampai serangan itu berhenti (Prasetyawati, 2012).
Orang Kwakuit di bagian barat Kanada percaya bahwa
penyakit dapat disebabkan oleh dimasukkannya benda asing ke dalam tubuh dan
yang terkena dapat mencari pertolongan ke dukun. Dukun itu biasa disebut Shaman.
Dengan suatu upacara penyembuhan maka Shaman akan mengeluarkan benda
asing itu dari tubuh pasien..
3.
Konsep
Sehat dan Sakit Menurut Budaya Masyarakat
Konsep sehat dan sakit sesungguhnya tidak terlalu mutlak
dan universal karena ada faktor–faktor lain diluar kenyataan klinis yang
mempengaruhinya terutama faktor sosial budaya. Kedua pengertian saling
mempengaruhi dan pengertian yang satu hanya dapat dipahami dalam konteks
pengertian yang lain (Simatupang, 2008).
Banyak ahli filsafat, biologi, antropologi, sosiologi,
kedokteran, dan lain-lain bidang ilmu pengetahuan telah mencoba memberikan
pengertian tentang konsep sehat dan sakit ditinjau dari masing-masing disiplin
ilmu. Masalah sehat dan sakit merupakan proses yang berkaitan dengan kemampuan
atau ketidakmampuan manusia beradaptasi dengan lingkungan baik secara biologis,
psikologis maupun sosio budaya (Notoatmodjo,
2007).
Definisi sakit: seseorang dikatakan sakit apabila ia
menderita penyakit menahun (kronis), atau gangguan kesehatan lain yang
menyebabkan aktivitas kerja/kegiatannya terganggu. Walaupun seseorang sakit
(istilah sehari -hari) seperti masuk angin, pilek, tetapi bila ia tidak
terganggu untuk melaksanakan kegiatannya, maka ia di anggap tidak sakit
Simatupang, 2008).
Masalah kesehatan merupakan masalah kompleks yang
merupakan resultante dari berbagai masalah lingkungan yang bersifat alamiah
maupun masalah buatan manusia, social budaya, perilaku, populasi penduduk,
genetika, dan sebagainya. Derajat kesehatan masyarakat yang disebut sebagai
psycho socio somatic health well being , merupakan resultante dari 4 faktor
yaitu:
1.
Environment atau lingkungan.
2.
Behaviour atau perilaku, Antara yang pertama
dan kedua dihubungkan dengan ecological balance.
3.
Heredity atau keturunan yang dipengaruhi oleh
populasi, distribusi penduduk, dan sebagainya.
4.
Health care service berupa program kesehatan
yang bersifat preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif.
Dari empat faktor tersebut di atas, lingkungan dan
perilaku merupakan faktor yang paling besar pengaruhnya (dominan) terhadap
tinggi rendahnya derajat kesehatan masyarakat. Tingkah laku sakit, peranan
sakit dan peranan pasien sangat dipengaruhi oleh faktor -faktor seperti kelas
social, perbedaan suku bangsa dan budaya. Maka ancaman kesehatan yang sama
(yang ditentukan secara klinis), bergantung dari variable-variabel tersebut
dapat menimbulkan reaksi yang berbeda di kalangan pasien (Notoatmodjo,
2007).
Istilah sehat mengandung banyak muatan kultural, social
dan pengertian profesional yang beragam. Dulu dari sudut pandangan kedokteran,
sehat sangat erat kaitannya dengan kesakitan dan penyakit. Dalam kenyataannya
tidaklah sesederhana itu, sehat harus dilihat dari berbagai aspek. WHO melihat
sehat dari berbagai aspek. WHO mendefinisikan pengertian sehat sebagai suatu
keadaan sempurna baik jasmani, rohani, maupun kesejahteraan social seseorang.
Sebatas mana seseorang dapat dianggap sempurna jasmaninya (Prasetyawati, 2012).
Oleh para ahli kesehatan, antropologi kesehatan di
pandang sebagai disiplin biobudaya yang memberi perhatian pada aspek-aspek
biologis dan sosial budaya dari tingkah laku manusia, terutama tentang
cara-cara interaksi antara keduanya sepanjang sejarah kehidupan manusia yang
mempengaruhi kesehatan dan penyakit. Penyakit sendiri ditentukan oleh budaya:
hal ini karena penyakit merupakan pengakuan sosial bahwa seseorang tidak dapat
menjalankan peran normalnya secara wajar Simatupang, 2008).
Seorang pengobat tradisional yang juga menerima pandangan
kedokteran modern, mempunyai pengetahuan yang menarik mengenai masalah
sakit-sehat. Baginya, arti sakit adalah sebagai berikut: sakit badaniah berarti
ada tanda-tanda penyakit di badannya seperti panas tinggi, penglihatan lemah,
tidak kuat bekerja, sulit makan, tidur terganggu, dan badan lemah atau sakit,
maunya tiduran atau istirahat saja (Simatupang, 2008).
Persepsi masyarakat mengenai terjadinya penyakit berbeda
antara daerah yang satu dengan daerah yang lain, karena tergantung dari
kebudayaan yang ada dan berkembang dalam masyarakat tersebut. Persepsi kejadian
penyakit yang berlainan dengan ilmu kesehatan sampai saat ini masih ada di
masyarakat; dapat turun dari satu generasi ke generasi berikutnya dan bahkan
dapat berkembang luas (Prasetyawati,
2012).
Berikut ini contoh persepsi masyarakat tentang penyakit
malaria, yang saat ini masih ada di beberapa daerah pedesaan di Papua (Irian
Jaya). Makanan pokok penduduk Papua adalah sagu yang tumbuh di daerah rawa
-rawa. Selain rawa-rawa, tidak jauh dari mereka tinggal terdapat hutan lebat.
Penduduk desa tersebut beranggapan bahwa hutan itu milik penguasa gaib yang
dapat menghukum setiap orang yang melanggar ketentuannya (Notoatmodjo, 2007).
Pelanggaran dapat berupa menebang, membabat hutan untuk
tanah pertanian, dan lain-lain akan diganjar hukuman berupa penyakit dengan
gejala demam tinggi, menggigil, dan muntah. Penyakit tersebut dapat sembuh
dengan cara minta ampun kepada penguasa hutan, kemudian memetik daun dari pohon
tertentu, dibuat ramuan untuk di minum dan dioleskan ke seluruh tubuh
penderita. Dalam beberapa hari penderita akan sembuh. (Simatupang, 2008).
Persepsi masyarakat mengenai penyakit diperoleh dan
ditentukan dari penuturan sederhana dan mudah secara turun temurun. Misalnya
penyakit akibat kutukan Allah, makhluk gaib, roh-roh jahat, udara busuk,
tanaman berbisa, binatang, dan sebagainya. Pada sebagian penduduk Pulau Jawa,
dulu penderita demam sangat tinggi diobati dengan cara menyiram air di malam
hari. Air yang telah diberi ramuan dan jampi-jampi oleh dukun dan pemuka
masyarakat yang disegani digunakan sebagai obat malaria (Notoatmodjo, 2007).
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Kebudayaan
dan Perubahannya
Kebudayaan itu tidak statis, kecuali mungkin pada masyarakat
pedalaman yang terpencil. Hubungan antara kebudayaan dan kesehatan biasanya
dipelajari pada masyarakat yang terisolasi dimana cara-cara hidup mereka tidak
berubah selama beberapa generasi, walaupun mereka merupakan sumber
data-data biologis yang penting dan model antropologi yang berguna, lebih
penting lagi untuk memikirkan bagaimana mengubah kebudayaan mereka itu. Pada
Negara dunia ke 3 laju perkembangan ini cukup cepat, dengan berkembangnya suatu
masyarakat perkotaan dari masyarakat pedesaan (Simatupang, 2008).
Ide-ide
tradisional yang turun temurun, sekarang telah di modifikasi dengan
pengalaman-pengalaman dan ilmu pengetahuan baru. Sikap terhadap penyakit pun
banyak mengalami perubahan .Kaum muda dari pedesaan meninggalkan lingkungan
mereka menuju kekota. Akibatnya tradisi budaya lama di desa makin tersisih.
Meskipun lingkungan dari masyarakat kota modern dapat di kontrol dengan
tekhnologi, setiap individu didalamnya adalah subjek dari pada tuntutan ini,
tergantung dari kemampuannya untuk beradaptasi
Hubungan yang selaras antara faktor budaya dan biologis,
yang mungkin berkembang sebagai hasil dari faktor lingkungan, dapat dilukiskan
dengan cntoh-contoh dari Papua Nugini dan Nigeria.”pigbel” sejenis penyakit berat
yang dapat menimbulkan kematian disebabkan oleh kuman clodistrium perfringens
type C. Penduduk papua Nugini yang tinggal didaratan tinggi biasanya sedikit
makan daging oleh sebab itu, cenderung untuk menderita kekurangan enzim
protetase dalam usus. Bila suatu perayaan tradisional diadakan, mereka makan
daging babi dalam jumlah banyak tapi tungku tempat masaknya tidak cukup panas
untuk memasak daging dengan baik sehingga kuman clostridia masih dapat
berkembang. Makana pokok mereka adalah kentang, mengandung tripsin inhibitor,
oleh sebab itu racun dari kuman yang seharusnya terurai oleh tripsin, menjadi
terlindung. Tripsin inhibitor juga dihasilkan oleh cacing ascaris yang banyak
terdapat pada penduduk tersebut. Kuman dapat juga berkembang dalam daging
yang kurang dicernakan, dan secara bebas mengeluarkan racunnya (Prasetyawati, 2012).
Dari beberapa faktor budaya diatas,masing-masing faktor
berhubungan satu sama lain nya. Wanita- wanita Hausa yang tinggal di sekitar
Zaria Nigeria utara, secara tradisi memakan garam kurang selama priode nifas,
untuk meningkatkan produksi air susunya. Merka juga menganggap bahwa hawa
dingin adalah penyebab penyakit.leh sebab itu mereka memanasi tubuhnya paling
kurang selama 40 hari setelah melahirkan. Diet garam yang berlebihan dan hawa
panas, merupakan penyebab timbulnya kegagalan jantung. Faktor budaya disini
adalah kebiasaan makan garam yang berlebihan dan memanasi tubuh adalah faktor
pencetus terjadinya kegagalan jantung (Notoatmodjo,
2007).
B.
Kebudayaan
dan sistem pelayanan kesehatan.
Bila suatu bentuk
pelayanan kesehatan baru di perkenalkan kedalam suatu masyarakat dimana
faktor-faktor budaya masih kuat. Biasanya dengan segera mereka akan menolak dan
memilih cara pengobatan tradisional sendiri. Apakah mereka akan memilih cara
baru atau lama, akan memberi petunjuk kepada kita akan kepercayaan dan harapan
pokokmereka lambat laun akann sadar apakah pengobatan baru tersebut berfaedah,
sama sekali tidak berguna, atau lambat memberi pegaruh. Namun mereka lebih
menyukai pengobatan tradisional karena berhubungan erat dengan dasar hidup
mereka. Maka cara baru itu akan dipergunakan secara sangat terbatas, atau untuk
kasus-kasus tertentu saja (Cahyani, 2012).
Pelayanan kesehatan yang modern oleh sebab itu harus
disesuaikan dengan kebudayaan setempat, akan sia-sia jika ingin memaksakan
sekaligus cara-cara moderen dan menyapu semua cara-cara tradisional. Bila
tenaga kesehatan berasal dari lain suku atau bangsa, sering mereka merasa asing
dengna penduduk setempat. ini tidak aan terjadi jika tenaga kesehatan tersebut
berusaha mempelajari kebudayaan mereka dan menjembatani jarak yang ada diantara
mereka. Dengan sikap yang tidak simpatik serta tangan besi, maka jarak tersebut
akan semakin lebar. Setiap masyarakat mempunyai cara pengobatan dan kebiasaan
yang berhubungan dengan ksehatan masing-masing. Sedikit usaha untuk mempelajari
kebudayaan mereka. akan mempermudah memberikan gagasan yang baru yang
sebelumnya tidak mereka terima (Prasetyawati,
2012).
Pemuka-pemuka
didalam masyarakat itu harus di yakinkan sehingga mereka dapat memberikan
dukungan dan yakin bahwa cara-cara baru tersebut bukan untuk melunturkan
kekuasaan mereka tetapi sebaliknya akan memberika manfaat yang lebih
besar.pilihan pengobatan dapat menimbulkan kesulitan. Misalnya bila pengobatan
tradisional biasanya mengunakan cara-cara menyakitkan seperti mengiris-iris
bagian tubuh atau dengan memanasi penderita,akan tidak puas hanya dengan
memberikan pil untuk diminum. Hal tersebut diatas bisa menjadi suatu penghalang
dalam memberikan pelayanan kesehatan, tapi dengan berjalannya waktu mereka akan
berfikir dan menerima (Notoatmodjo,
2007).
Di
negara-negara maju, terdapat unsur-unsur kebudayaan yang dapat menunjang
tingginya status kesehatan masyarakat seperti pendidikan yang optimal, keadaan
sosial-ekonomi yang tinggi, dan kesehatan lingkungan yang baik. Dengan
demikian, pelayanan kesehatan menjadi sangat khusus sehingga dapat memenuhi
kebutuhan klien(Cahyani, 2012).
C.
Pengaruh Sosial Budaya Terhadap
Pelayanan Kesehatan
Hubungan antara faktor sosial budaya dan pelayanan
kesehatan sangatlah penting untuk di pelajari khususnya bagi tenaga kesehatan.
Bila suatu informasi kesehatan yang baru akan di perkenalkan kepada masyarakat
haruslah di barengi dengan mengetahui terlebih dahulu tentang latar belakang
sosial budaya yang dianut di dalam masyarakat tersebut (Simatupang, 2008).
Kebudayaan yang dianut oleh masyarakat tertentu tidaklah
kaku dan bisa untuk di rubah, tantangannya adalah mampukah tenaga kesehatan
memberikan penjelasan dan informasi yang rinci tentang pelayanan kesehatan yang
akan di berikan kepada masyarakat. Ada banyak cara yang bisa dilakukan
,mulai dari perkenalan program kerja, menghubungi tokoh-tokoh masyarakat
maupun melakukan pendekatan secara personal (Cahyani, 2012).
Menjadi sakit
memang tidak diharapkan oleh semua orang apalagi penyakit-penyakit yang berat
dan fatal. Masih banyak masyarakat yang tidak mengerti bagaimana penyakit itu
dapat menyerang seseorang. Ini dapat dilihat dari sikap merka terhadap penyakit
tersebut. Ada kebiasaan dimana setiap oang sakit diisolasi dan dibiarkan saja.
Kebiasaan ini ini mungkin dapat mencegah penularan dari penyakit-penyakit infeksi
seperti cacar dan TBC(Simatupang,2008).
Bentuk pengobatan yang di berikan biasanya hanya
berdasarkan anggapan mereka sendiri tentang bagaimana penyakit itu timbul.
Kalau mereka menganggap penyakit itu disebabkan oleh hal-hal yang supernatural
atau magis, maka digunakan pengobatan secara tradisional. Pengobatan modern
dipilih bila meraka duga penyebabnya adalah fator ilmiah. Ini dapat merupakan
sumber konflik bagi tenaga kesehatan, bila ternyata pengobatan yang mereka
pilih berlawana denganpemikiran secara medis (Notoatmodjo, 2007).
Didalam masyarakat industri modern iatrogenic disease
merupakan problema. Budaya menuntut merawat penderita di rumah sakit, pada hal
rumah sakit itulah tempat ideal bagi penyebaran kuman-kuman yang telah resisten
terhadp anti biotika (Cahyani, 2012).
D.
Pengaruh Sosial Budaya Terhadap
Kesehatan Masyarakat
Tantangan berat
yang masih dirasakan dalam pembangunan kesehatan di Indonesia adalah jumlah
penduduk yang besar dengan pertumbuhan yang cukup tinggi serta penyebaran
penduduk yang tidak merata di seluruh wilayah. Selain masalah tersebut, masalah
lain yang perlu diperhatikan yaitu berkaitan dengan sosial budaya masyarakat,
misalnya tingkat pengetahuan yang belum memadai terutama pada golongan wanita,
kebiasaan negatif yang berlaku di masyarakat, adat istiadat, perilaku, dan
kurangnya peran serta masyarakat dalam pembangunan kesehatan (SiImatupang,
2008).
Sosial budaya
masyarakat yang merupakan hasil budi dan akal manusia yang dilandasi oleh
pengalaman, sehingga budaya masyarakat bila dikaitkan dengan kesehatan, ada
yang merugikan kesehatan dan ada pula yang menguntungkan kesehatan. Yang
menguntungkan dan dapat dimanfaatkan dalam pembangunan kesehatan, yaitu
semangat gotog royong dan kekeluargaan, serta sikap musyawarah dalam mengambil
keputusan (Maryunani, 2011).
Pembangunan
dalam suatu negara selain berdampak positif juga menimbulkan hal-hal negatif
seperti timbulnya daerah kumuh (slum area) di perkotaan akibat pesatnya
urbanisasi, polusi karena pesatnya perkembangan industri, banyak ibu-ibu karier
yang tidak dapat mengasuh dan memberikan ASI secara optimal kepada anaknya,
masalah kesehatan jiwa yang menonjol dan penyalahgunaan obat. Perkembangan
penduduk dan pembangunan akan menghasilkan berbagai macam sampah yang dapat
mengganggu kesehatan (Prasetyawati, 2012).
Masalah-masalah
kesehatan masyarakat yang berkaitan dengan aspek sosial budaya dapat dibedakan
menjadi:
1. Kesehatan Ibu dan Anak
Berdasarkan
survei rumah tangga (SKRT) pada tahun 1986, angka kematian ibu maternal
berkisar 450 per 100.000 kelahiran hidup atau lebih dari 20.000 kematian
pertahunnya (Maryunani, 2011).
Angka
kematian ibu merupakan salah satu indikator kesehatan ibu yang meliputi ibu
dalam masa kehamilan, persalinan, dan nifas. Angka tersebut dikatakan tinggi
bila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN.
Dari
hasil penelitian di 12 rumah sakit, dikatakan bahwa kehamilan merupakan
penyebab utama kematian ibu maternal, yaitu sebesar 94,4% dengan penyebabnya,
yaitu pendarahan, infeksi, dan toxaemia (*)%). Selain menimbulkan kematian, ada
penyebab lain yang dapat menambah resiko terjadinya kematian yaitu Anemia gizi pada
ibu hamil, dengan Hb kurang dari 11gr% (Cahyani, 2012).
Masih
tingginya angka kematian dan kesuburan di Indonesia berkaitan erat dengan
faktor sosial budaya masyarakat, seperti tingkat pendidikan penduduk, khususnya
wanita dewasa yang masih rendah, keadaan sosial ekonomi yang belum memadai,
tingkat kepercayaan masyarakat tergadap pelayanan kesehatan dan petugas
kesehatan yang masih rendah dan jauhnya lokasi tempat pelayanan kesehatan dari
rumah-rumah pendudukkebiasaan-kebiasaan dan adat istiadat dan perilaku
masyarakat yang kurang menunjang dan lain sebagainya (Simatupang, 2008).
Tingkat
pendidikan terutama pada wanita dewasa yang masih rendah, mempunyai pengaruh
besar terhadap masih tingginya angka kematian bayi. Berdasarkan survei rumah
tangganya (SKRT) pada tahun 1985, tingkat buta huruf pada wanita dewasa adalah
sebesar 25,7%. Rendahnya tingkat pendidikan dan buta huruf pada wanita
menyebabkan ibu-ibu tidak mengetahui tentang perawatan semasa hamil, kelahiran,
perawatan bayi dan semasa nifas, tidak mengetahui kapan ia harus datang ke
pelayanan kesehatan, kontrol ulang, dan sebagainya (Notoatmodjo, 2007).
Kebiasaan-kebiasaan
adat istiadat dan perilaku masyarakat sering kali merupakan penghalang atau
penghambat terciptanya pola hidup sehat di masyarakat. Perilaku, kebiasaan, dan
adat istiadat yang merugikan seperti misalnya:
a. Ibu hamil dilarang tidur siang
karena takut bayinya besar dan akan sulit melahirkan
b. Ibu menyusui dilarang makan makanan
yang asin, misalnya: ikan, telur,
c. Ibu habis melahirkan dilarang tidur
siang,
d. Bayi berusia 1 minggu sudah boleh
diberikan nasi atau pisang agar mekoniumnya cepat keluar,
e. Ibu post partum harus tidur dengan
posisi duduk atau setengah duduk karena takut darah kotor naik ke mata,
Dikatakan merugikan karena beberapa hal tersebut di atas justru
dibutuhkan dalam rangka peningkatan kondisi kesehatan.
Tingkat
kepercayaan masyarakat kepada terhadap petugas kesehatan, dibeberapa wilayah
masih rendah. Mereka masih percaya kepada dukun karena kharismatik dukun
tersebut yang sedemikian tinggi, sehingga ia lebih senang berobat dan meminta
tolong kepada ibu dukun. Petugas kesehatan pemerintah dianggap sebagai orang
baru yang tidak mengenal masyarakat di wilayahnya dan tidak mempunyia
kharismatik (Prasetyawati, 2012).
Selain
faktor tersebut, rendahnya kunjungan masyarakat ke pelayanan kesehatan
dikarenakan jauhnya lokasi pelayanan kesehatan dengan rumah penduduk sehingga
walaupun masyarakat sudah mempunyai kemauan memeriksakan dirinya ke pelayanan
kesehatan, namun karena jauh dan harus segera mendapatka pertolongan, akhirnya
ia berobat ke dukun yang dekat lokasinya. Keadaan ini disikapi oleh pemerintah
dengan berupaya membangun fasilitas pelayanan kesehatan di daerah tersebut,
menempatkan tenaga kesehatan disertai dengan peralatan yang dibutuhkan dalam
memberikan pelayanan, peningkatan kualitas pelayanan dengan meningkatkan
kemampuan petugas melalui pelatihan maupun pendidikan pada jenjang yang lebih
tinggi (Notoatmodjo, 2007).
2. Keluarga Berencana
Pada
umumnya, masalah-masalah yang berkaitan dengan fertilitas dan laju pertumbuhan
penduduk disebabkan oleh pola pikir masyarakat yang bersifat kaku. Mereka masih
mempunyai pendapatan bahwa anak adalah sumber rezeki, atau banyak anak banyak
rezeki. Anak adalah tumpuan di hari tuanya. Mereka tidak menyadari bahwa
keterbatasan orang tua merupakan ancaman masa depan bagi si anak (Prasetyawati,
2012).
Selain
itu, faktor agama juga sangat menentukan keberhasilan pengendalian penduduk.
Pada beberapa daerah yang masyarakatnya menggunakan agama sebagai pandangan
hidup, misalnya islam, nasrani, mereka akan menentang program pengendalian
penduduk berupa penggunaan alat kontrasepsi. Mereka menganggap bahwa dengan
menggunakan alat kontrasepsi, berarti membunuh anak yang telah dianugerahkan
oleh Tuhan Yang Maha Esa. Keadaan-keadaan ini merupakan tantangan bagi
pelaksana program Keluarga Berencana (Simatupang, 2008).
3. Gizi
Jika
kita berbicara tentang gizi, maka yang terpikir oleh kita adalah semua makanan
yang kita makan. Ditinjau dari aspek sosial budaya, Koentjaraningrat
menyebutkan bahwa makanan yang kita makan dapat dibedakan menjadi dua konsep,
yaitu nutrimen dan makanan. Nutrimen adalah suatu konsep biokimia yang berarti
zat-zat dalam makanan yang menyebabkan bahwa individu yang memakannya dapat
hidup dan berada dalam kondisi kesehatan yang baik. Makanan dikatakan sebagai
suatu konsep kebudayaan, yaitu merupakan bahan-bahan yang telah diterima dan
diolah secara budaya untuk dimakan, sesudah melalui proses penyiapan dan
penyuguhan yang juga secara budaya, agar dapat hidup dan berada dalam kondisi
kesehatan yang baik (Simatupang, 2008).
Kesukaan
makan seseorang sangat dipengaruhi oleh kebiasaan makannya sejak kanak-kanak.
Keluarga dalam hal ini sangat menentukan kesukaan anak terhadap makanan
tertentu. Makanan sebagai salah satu aspek kebudayaan sering ditentukan oleh
keadaan lingkungan, misalnya wilayah yang sebagian besar memiliki pohon kelapa,
maka jenis makanan yang dimakan banyak yang menggunakan santan atau kelapa,
sedangkan wilayah yang sebagian besar terdiri dari perkebunan, jenis dan
komposisi makanan banyak yang terbuat dari sayur-sayuran atau dikenal dengan lalapan.
(Prasetyawati, 2012).
Rasa
makanan yang disukai oleh suatu masyarakat umumnya bervariasi. Ada sekelompok
masyarakat yang menyukai makanan yang rasanya pedas, manis, asin, dan
sebagainya. Kelompok masyarakat yang menyukai makanan yang rasanya manis dapat
ditemukan di daerah-daerah di Pulau Jawa, sedangkan makanan yang rasanya pedas
dapat ditemukan di daerah-daerah Sumatera dan Sulawesi. Sehingga sering kali
masyarakat tertentu yang datang ke suatu wilayah yang berbeda dengan jenis
makanan yang biasa ia makan, ia perlu mengadakan penyesuaian terhadap makanan
tersebut. Perlu diperhatikan bahwa tidak mudah bagi seseorang untuk mengganti
makanan yang biasa ia makan dengan jenis makanan yang baru ia kenal (Cayani, 2012).
Distribusi
makanan dalam keluarga tidaklah sama dengan keluarga lain. Ada aturan-aturan
tertentu yang harus dipenuhi oleh anggota keluarga. Seorang ayah yang dianggap
sebagai pencari nafkah keluarga, harus diberikan makanan yang ‘lebih’
dibandingkan dengan anggota keluarga lainnya. Kata lebih yang dimaksud meliputi
kualitas, kuantitas, dan frekuensi makan. Ibu hamil tidak bisa makan dengan
sebebasnya, tapi mempunyai keterbatasan tertentu, ada makanan-makanan tertentu
yang tidak boleh dimakan oleh ibu hamil. Tamu dianggap sebagai raja, sehingga
diberikan makanan yang tidak biasanya. Anak mempunyai makanan khusus seperti
bubur nasi dan sebagainya. Sedangkan pembantu rumah tangga bisasnya diberikan makanan
yang rendah kualitasnya (Notoatmodjo, 2007).
Masalah
kekurangan gizi bukan saja disebabkan oleh faktor sosial-ekonomi masyarakat,
namun berkaitan pula dengan faktor sosial-budaya masyarakat setempat. Seperti
misalnya persepsi masyarakat terhadap pemenuhan kebutuhan masih belum sesuai.
Menurut mereka, yang disebut dengan makan adalah makan sampai kenyang, tanpa
memperhatikan jenis, komposisi, dan mutu makanan, pendistribusian makanan dalam
keluarga tidak berdasarkan debutuhan untuk pertumbuhan dan perkembangan anggota
keluarga, namun berdasarkan pantangan-pantangan yang harus diikuti oleh
kelompok khusus, misalnya ibu hamil, bayi, balita, dan sebagianya (Maryunani,
2011)
Di
samping hal tersebut, pengetahuan keluarga khususnya ibu memegang peranan yang
cukup penting dalam pemenuhan gizi keluarga. Kurangnya pengetahuan ibu tentang
makanan yang mengandung nilai gizi tinggi, cara pengolahan, cara penyajian
makanan, dan variasi makanan yang dapat menimbulkan selera makan anggota
keluarganya, sangat berpengaruh dalam status gizi keluarga. Oleh karena itu,
ibu lah sasaran utama dalam usaha-usaha perbaikan gizi keluarga (Prasetyawati,
2012).
Masalah
kelebihan gizi, umumnya diderita oleh sekelomppok masyarakat yang mempunyai
kemampuan ekonomi yang cukup, disamping faktor pola makan terhadap jenis
makanan tertentu, juga ditentukan oleh faktor herediter (Simatupang, 2008)
Dalam
kaitannya dalam kesehatan ibu dan anak serta kesehatan masyarakat, masalah gizi
mempunyai pengaruh terhadap timbulnya penyakit-penyakit, misalnya anemia,
pre-eklampsia, diabetes melitus, perdarahan, infeksi, dan sebagianya
(Notoatmodjo, 2007).
Pengaruh
sosial budaya terhadap kesehatan masyarakat. Tantangan berat yang masih
dirasakan dalam pembangunan kesehatan di Indonesia adalahsebagai berikut.:
1. Jumlah penduduk yang besar dengan
pertumbuhan yang cukup tinggi sertapenyebaran penduduk yang tidak merata di
seluruh wilayah.
2. Tingkat pengetahuan masyarakat yang
belum memadai terutama pada golonganwanita
3. Kebiasaan negatif yang berlaku di
masyarakat, adat istiadat, dan perilaku yang kurangmenunjang dalam bidang
kesehatan
4. Kurangnya peran serta masyarakat
dalam pembangunan bidang kesehatan
Aspek sosial budaya yang berhubungan
dengan kesehatan antara lain adalah faktor kemiskinan, masalah kependudukan,
masalah lingkungan hidup, pelacuran dan homoseksual (Prasetyawati, 2012).
Kemiskinan membahayakan kesehatan, baik secara
fisik dan mental. Penyakit umumyang sering terjadi berkaitan dengan faktor
kemiskinan adalah kekurang vitamin,penyakit cacing, gusi berdarah, beri-beri,
penyakit mata, Kurang Kalori Protein(KKP), busung lapar, dan lain-lain
(Notoatmodjo, 2007).
Miskin adalah mereka yang tidak
mendapatkan makanan yang cukup sehat dan akancukup kandungan gizinya.Fakta saat
ini derajat kesehatan penduduk miskin masih rendah, hal ini ditandai dengan
a. Kematian penduduk miskin tiga kali
lebih tinggi daripada penduduk yangtidak miskin
b. Pengetahuan masyarakat tentang
kesehatan dan pendidikan belummendukung.
c. Perilaku hidup bersih di masyarakat
belum membudaya.
d. Angka kematian bayi (AKB), angka
kematian anak, serta angka kematian ibu(AKA/AKI) pada penduduk miskin jauh
lebih tinggi dari yang tidak miskin (Notoatmodjo,2007).
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Pada
Hakikatnya budaya sosial terjadi akibat oleh adanya perbedaan yang mencolok
antara nilai dalam masyarakat dengan realita yang berbeda. Yang akhirnya
berdampak dalam kehidupan.
2.
Aspek
budaya yang dapat mempengaruhi kesehatan seseorang antara lain adalah
a.
Tradisi
b.
Sikap
fatalism
c.
Nilai
d.
Ethnocentrisme
e.
Unsur
budaya dipelajari pada tingkat awal dalam proses sosialisasi
3. Masalah-masalah kesehatan yang
berkaitan dengan sosial budaya
a. Keluarga
Berencana
Pada umumnya, masalah-masalah yang berkaitan dengan
fertilitas dan laju pertumbuhan penduduk disebabkan oleh pola pikir masyarakat
yang bersifat kaku.
b.
Gizi
Makanan yang kita makan dapat dibedakan menjadi dua konsep, yaitu
nutrimen dan makanan. Nutrimen adalah suatu konsep biokimia yang berarti
zat-zat dalam makanan yang menyebabkan bahwa individu yang memakannya dapat
hidup dan berada dalam kondisi kesehatan yang baik. Makanan dikatakan sebagai
suatu konsep kebudayaan, yaitu merupakan bahan-bahan yang telah diterima dan
diolah secara budaya untuk dimakan, sesudah melalui proses penyiapan dan
penyuguhan yang juga secara budaya, agar dapat hidup dan berada dalam kondisi
kesehatan yang baik
4. Aspek Sosial Budaya yang
Mempengaruhi Perilaku Kesehatan dan Status Kesehatan adalah kemiskinan, masalah
kependudukan, masalah lingkungan hidup, pelacuran dan homoseksual.
5. Peranan
Sosial Budaya dalam Kesehatan Masyarakat
Sosial budaya
masyarakat yang merupakan hasil budi dan akal manusia yang dilandasi oleh
pengalaman, sehingga budaya masyarakat bila dikaitkan dengan kesehatan, ada
yang merugikan kesehatan dan ada pula yang menguntungkan kesehatan. Yang
menguntungkan dan dapat dimanfaatkan dalam pembangunan kesehatan, yaitu
semangat gotog royong dan kekeluargaan, serta sikap musyawarah dalam mengambil
keputusan.
Pembangunan
dalam suatu negara selain berdampak positif juga menimbulkan hal-hal negatif
seperti timbulnya daerah kumuh (slum area) di perkotaan akibat pesatnya
urbanisasi, polusi karena pesatnya perkembangan industri, banyak ibu-ibu karier
yang tidak dapat mengasuh dan memberikan ASI secara optimal kepada anaknya,
masalah kesehatan jiwa yang menonjol dan penyalahgunaan obat. Perkembangan
penduduk dan pembangunan akan menghasilkan berbagai macam sampah yang dapat
mengganggu kesehatan.
B.
Saran
1.
Sebagai
petugas kesehatan perlu mengetahui pengetahuan masyarakat tentang kesehatan.
Dengan mengetahui pengetahuan masyarakat, maka petugas kesehatan akan
mengetahui mana yang perlu ditingkatkan, diubah dan pengetahuan mana yang perlu
dilestarikan dalam memperbaiki status kesehatan.
2.
Perlu
mempelajari bahasa lokal agar lebih mudah berkomunikasi, menambah rasa
kedekatan, rasa kepemilikan bersama dan rasa persaudaraan.
DAFTAR
PUSTAKA
Alamsyah, 2011. Manajemen Pelayanan Kesehatan.
Nuha Medika. Yogyakarta.
Arisman, 2009. Gizi Dalam Daur Kehidupan.Penerbit
Buku Kedokteran ECG: Jakarta.
Cahyani.
2012.Sosial Budaya Kesehatan. Http:social/co/id. Diakses tanggal 1 November
2013.
Koentjaraningrat, 2002, Pengantar Anthropologi.Nuha Medika.Yogyakarta.
Maryunani,A. 2011. Ilmu Kesehatan Anak Dalam
Kebidanan. Penerbit Trans Info, Jakarta.
Notoatmodjo, 2007. Kesehatan Masyarakat
Ilmu dan Seni. Karya Medika. Jakarta.
Simatupang, 2008. Manajemen Pelayanan
Kebidanan. Penerbit Buku Kedokteran
Alhamdulillah nemukan artikel ini.. sangat memabntu penyelesaian tugas saya. Terimakasih penulis. salam kenal erna
BalasHapus