Translate

Senin, 13 Oktober 2014

Peran Sosial Budaya Terhadap Upaya Kesehatan Masyarakat



BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Tujuan pembangunan pada hakikatnya adalah untuk mencapai ‘kesejahteraan bagi semua’, yakni terpenuhinya hak setiap orang untuk hidup sehat, hingga dapat meraih hidup yang produktif dan berbahagia. Untuk mencapai kondisi tersebut, perlu diupayakan kegiatan dan strategi dalam setiap aspek kehidupan. Bukan saja aspek kesehatan, tetapi diperlukan strategi pemerataan kesehatan dengan mendayagunakan segenap potensi yang ada, baik di jajaran kesehatan, non kesehatan maupun masyarakat sendiri, guna mengendalikan faktor lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan, dan faktor lain yang mempengaruhi derajat kesehatan (Prasetyawati, 2012).
Unsur-unsur kebudayaan adalah meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, kemampuan serta kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat-masyarakat, yang merupakan hasil budi atau akal manusia. Dalam mengatasi masalah-masalah lebih berorientasi pada adaptasi dan pelaksanaan strategi terhadap keadaan social (Koentjaraningrat, 2002).
Strategi adaptasi social budaya yang melahirkan system-sistem medis, tingkah laku dan bentuk-bentuk kepercayaan yang berlandaskan budaya, yang timbul sebagai respon terhadap ancaman-ancaman yang disebabkan oleh penyakit. Dunn “pola-pola dari pranata-pranata social dan tradisi-tradisi budaya yang menyangkut perilaku yang sengaja untuk meningkatkan kesehatan, meskipun hasil  dari tingkah laku khusus tersebut belum tentu menghasilkan kesehatan yang baik (Alamsyah, 2011).
Masalah kesehatan merupakan salah satu faktor yang berperan penting dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas. Melalui pembangunan di bidang kesehatan diharapkan akan semakin meningkatkan tingkat kesehatan masyarakat dan pelayanan kesehatan dapat dirasakan oleh semua lapisan masyarakat secara memadai (Notoatmodjo, 2007).
Berhasilnya pembangunan kesehatan ditandai dengan lingkungan yang kondusif, perilaku masyarakat yang proaktif untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah terjadinya penyakit, pelayanan kesehatan yang berhasil dan berdaya guna tersebar merata di seluruh wilayah Indonesia.Akan tetapi pada kenyataanya, pembangunan kesehatan masih jauh dari yang diharapkan. Permasalahan-permasalahan kesehatan masih banyak terjadi. Beberapa diantaranya adalah: penyakit-penyakit seperti DBD, flu burung, dan sebagainya yang semakin menyebar luas, kasus-kasus gizi buruk yang semakin marak, prioritas kesehatan rendah, serta tingkat pencemaran lingkungan yang semakin tinggi. sebenarnya individu yang menjadi faktor penentu dalam menentukan status kesehatan. Dengan kata lain, merubah pola hidup ataupun kebudayaan tentang kesehatan yang biasa kita lakukan dan mengikuti perubahan zaman (Prasetyawati, 2012).
Masyarakat dan kebudayaan manusia dimanapun selalu berada dalam keadaan berubah, baik dari masyarakat dengan kebudayaan primitive yang terisolasi dari hubungan masyarakat di luar dunianya sendiri. Perubahan yang terjadi dalam  kebudayaan  primitive terjadi karena adanya sebab yang yang berasal dari dalam masyarakat dan kebudayaan itu sendiri (Notoatmodjo, 2007).
Mitos telah menjadi adat istiadat yang bersifat turun temurun dari orang tua kita terdahulu, menjadi suatu hal yang biasa dan sangat mereka yakini. Tidak sedikit mitos yang hanya tinggal mitos, bahkan tidak layak untuk sekedar diyakini. Namun ternyata banyak pula mitos yang dapat dinalar, diterima oleh akal dan ternyata ada faktanya. Sehingga tidak ada salahnya apabila sekali waktu kita mengulas soal mitos-mitos yang banyak ditemui di masyarakat sekaligus mengetahui faktanya  (Alamsyah, 2011).
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi status kesehatan seseorang yaitu lingkungan baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial, dimana lingkungan sosial ini dapat mempengaruhi perilaku seseorang. Manusia sebagai makhluk sosial yang saling ketergantungan satu sama lain dengan lingkungannya sangat membutuhkan pertolongan dari orang lain, dalam memecahkan berbagai masalah individu maupun masalah-masalah sosial yang terjadi dalam lingkungan sekitar manusia.
Masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, budaya dan adat istiadat yang berbeda sehingga dapat mempengaruhi tingkah laku seseorang termasuk dalam perilaku kesehatan, sehingga petugas kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat yang mempunyai latar belakang suku, adat istiadat dan budaya yang berbeda, harus mampu memahami budaya masyarakat yang dilayaninya.
B.   Rumusan Masalah
      Rumusan masalah dalam makalah ini adalah”Bagaimanakah Peranan Sosial Budaya Terhadap Upaya Kesehatan Masyarakat?
C.   Tujuan

1.    Tujuan Umum
            Untuk mengetahui Peranan Sosial Budaya Terhadap Upaya Kesehatan Masyarakat.
2.    Tujuan Khusus

a.    Untuk mengetahui tentang penyebab perubahan sosial budaya
b.    Untuk mengetahui bentuk-bentuk perubahan sosial budaya
c.    Untuk mengetahui masalah-masalah kesehatan yang berkaitan dengan sosial budaya.
d.    Untuk mengetahui tentang Aspek Sosial Budaya yang Mempengaruhi Perilaku Kesehatan dan Status Kesehatan
D.   Manfaat
Bagi Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini adalah:
  1. Manfaat Teoritis
a.    Diharapkan dapat memberikan informasi kepada pemerintah dan instansi terkait dalam menentukan kebijakan dan perencanaan program penanggulangan masalah sosial budaya.
  1. Manfaat Praktis
a.    Bagi Ilmu Kesehatan Masyarakat, agar dapat menambah wawasan dalam ilmu kesehatan masyarakat.
b.    Bagi penulis, kiranya hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan cakrawala berpikir dan mampu memberikan sumbangan pemikiran mengenai hubungan status gizi dengan episode. 


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.   Tinjauan Tentang Sosial Budaya

1.    Defenisi     

Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Budaya ialah segala hal yang dibuat oleh manusia berdasarkan pikiran dan akal budinya yang mengandung cinta, rasa dan karsa. Dapat berupa kesenian, moral, pengetahuan, hukum, kepercayaan, adat istiadat, & ilmu (Koentjaraningrat, 2002).
Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia
Sosial adalah segala sesuatu yang mengenai masyarakat atau kemasyarakatan atau dapat juga berarti suka memperhatikan kepentingan umum (kata sifat)
Sosial Budaya adalah segala hal yang dicipta oleh manusia dengan pemikiran dan budi nuraninya dalam kehidupan bermasyarakat
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism  (Koentjaraningrat, 2002).
Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic
Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial,norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat (Notoatmodjo, 2007).
Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat

      Secara  sederhana kebuadayaan dapat diartikan sebagai hasil dari cipta, karsa, dan rasa. Sebenarnya  Budaya atau  kebudayaan berasal dari  bahasa Sansekerta yaitu  buddhayah, yang  merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan (Prasetyawati, 2012).
Koentjaraningrat (2002) mendefinisikan kebudayaan adalah seluruh kelakuan dan hasil kelakuan manusia yang teratur oleh tata kelakuan yang harus didapatkannya dengan belajar dan semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat. Asalkan sesuatu yang dilakukan manusia memerlukan belajar maka hal itu bisa dikategorikan sebagai budaya (Koentjaraningrat, 2002).
Taylor dalam bukunya Primitive Culture, memberikan definisi kebudayaan sebagai keseluruhan yang kompleks yang didalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, dan kemampuan kesenian, moral, hukum,  adat-istiadat dan kemampuan lain serta kebiasaankebiasaan yang didapat manusia sebagai anggota masyarakat.
Menurut Herskovits, Budaya sebagai hasil karya manusia sebagai bagian dari lingkungannya (culture is the human-made part of the environment). Artinya segala sesuatu yang merupakan hasil dari perbuatan manusia, baik hasil itu abstrak maupun nyata, asalkan merupakan proses untuk terlibat dalam lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun sosial, maka bisa disebut budaya.
Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan adalah sesuatu yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak (Koentjaraningrat, 2002).
Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat (Prasetyawati, 2012).

2.    Jenis-jenis kebudayaan di Indonesia
a.  Kebudayaan Modern
      Kebudayaan modern biasanya berasal dari manca negara datang di Indonesia merupakan budaya/ kesenian import. Budaya modern akting, penampilan, dan kemampuan meragakan diri  didasari sifat komersial.  Budaya modern lebih mengesampingkan  norma , gaya menjadi idola masyarakat dan merupakan target sasaran  Contoh : film, musik jazz.
b.  Kebudayaan Tradisional
      Bersumber dan berkembang dari daerah setempat. Penampilan mengutamakan norma dengan mengedepankan intuisi bahkan bersifat  bimbingan 
Dan petunjuk tentang kehidupan manusia. Kebudayaan tradisional kurang mengutamakan komersial dan sering dilandasi sifat kekeluargaan. Contoh : Ketoprak, wayang orang, keroncong, ludruk.
c.   Budaya Campuran
     Budaya campuran pada hakekatnya merupakan campuran budaya modern dengan budaya tradisional yang berkembang dengan cara asimilasi ataupun defusi. Kebudayaan campuran sudah memperhitungkan komersiel tapi masih mengindahkan norma dan adat setempat. Contoh : Musik dangdut, orkes gambus, campur sari
(Koentjaraningrat, 2002).
3.    Unsur Kebudayaan
 Koentjaraningrat (2002) membagi budaya menjadi 7 unsur : yakni sistem religi dan  upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian hidup dan sistem teknologi dan peralatan. Ketujuh unsur itulah yang membentuk budaya secara keseluruhan.
4. Aspek Sosial yang Mempengaruhi Status Kesehatan dan Perilaku Kesehatan
 Koentjaraningrat, (2002)mengemukakan bahwaada beberapa aspek sosial yang mempengaruhi status kesehatan antara lain adalah :
a.   Umur
Jika dilihat dari golongan umur maka ada perbedaan pola penyakit berdasarkan golongan umur. Misalnya balita lebiha banyak menderita penyakit infeksi, sedangkan golongan usila lebih banyak menderita penyakit kronis seperti hipertensi, penyakit jantung koroner, kanker, dan lain-lain.
b.  Jenis Kelamin
Perbedaan jenis kelamin akan menghasilkan penyakit yang berbeda pula. Misalnya
dikalangan wanita lebih banyak menderita kanker payudara, sedangkan laki-laki banyak menderita kanker prostat.
c.  Pekerjaan
Ada hubungan antara jenis pekerjaan dengan pola penyakit. Misalnya dikalangan petani banyak yang menderita penyakit cacing akibat kerja yang banyak dilakukan disawah dengan lingkungan yang banyak cacing. Sebaliknya buruh yang bekerja diindustri , misal dipabrik tekstil banyak yang menderita penyakit saluran pernapasan karena banyak terpapar dengan debu.
d. Sosial Ekonomi
Keadaan sosial ekonomi juga berpengaruh pada pola penyakit. Misalnya penderita obesitas lebih banyak ditemukan pada golongan masyarakat yang berstatus ekonomi tinggi, dan  sebaliknya malnutrisi lebih banyak ditemukan dikalangan masyarakat yang status ekonominya rendah.
Menurut H.Ray Elling (1970) ada 2 faktor sosial yang berpengaruh pada perilaku kesehatan :
1.    Self concept
Self concept kita ditentukan oleh tingkatan kepuasan atau ketidakpuasan yang kita rasakan terhadap diri kita sendiri, terutama bagaimana kita ingin memperlihatkan diri kita kepada orang lain. Apabila orang lain melihat kita positip dan menerima apa yang kita lakukan, kita akan meneruska perilaku kita, begitu pula sebaliknya.
2.    Image kelompok
Image seorang individu sangat dipengaruhi oleh image kelompok. Sebagai contoh, anak  seorang dokter akan terpapar oleh organisasi kedokteran dan orang-orang dengan pendidikan tinggi, sedangkan anak buruh atau petani tidak terpapar dengan lingkungan medis, dan besar kemungkinan juga tidak bercita-cita untuk menjadi dokter.
     Menurut G.M. Foster (1973) , aspek budaya dapat mempengaruhi kesehatan adalah:
a. Pengaruh tradisi
Ada beberapa tradisi dalam masyarakat yang dapat berpengaruh negatif terhadap kesehatan masyarakat, misalnya di New Guinea, pernah terjadi wabah penyakit kuru.penyakit ini menyerang susunan saraf otak dan penyebabnya adalah virus.penderita hamya terbatas pada anak-anak dan wanita.setelah dilakukan penelitaian ternyata penyakit ini menyebar karena adanya tadisi kanibalisme
b.  Sikap fatalistis
Hal lain adalah sikap fatalistis yang juga mempengaruhi perilaku kesehatan.  Contoh : Beberapa anggota masyarakat dikalangan kelompok tertentu (fanatik) yang beragama islam percaya bahwa anak adalah titipan Tuhan, dan sakit atau mati adalah takdir, sehingga masyarakat kurang berusaha untuk segera mencari pertolongan pengobatan bagi anaknya yang sakit pengobatan bagi anaknya yang sakit,atau menyelamatkan seseorang dari kematian.
      c.  Sikap ethnosentris
Sikap ethnosentrime adalah sikap yang memandang bahwa kebudayaan sendiri yang paling baik jika dibandingkan dengan kebudayaan pihak lain.misalnya orang-orang barat merasa bangga terhadap kemajuan ilmu dan teknologi yang dimilikinya,dan selalu beranggapan bahwa kebudayaannya paling maju,sehingga merasa superior terhadap budaya dari masyarakat yang sedang berkembang. tetapi dari sisi lain,semua anggota dari budaya lainnya menganggap bahwa yang dilakukan secar alamiah adalah yang terbaik. Oleh karena itu,sebagai petugas kesehatan kita harus menghindari sikap yang menganggap bahwa petugas adalah orang yang paling pandai,paling mengetahui tentang masalah kesehatan karena pendidikan petugas lebih tinggi dari pendidikan masyarakat setempat sehingga tidak perlu mengikut sertakan masyarakat tersebut dalam masalah kesehatan masyarakat.dalam hal ini memang petugas lebih menguasai tentang masalah kesehatan,tetapi masyarakat dimana  mereka bekerja lebih mengetahui keadaan di masyarakatnya sendiri.
     d. Pengaruh perasaan bangga pada statusnya
     Contoh : Dalam upaya perbaikan gizi, disuatu daerah pedesaan tertentu, menolak untuk makan daun singkong, walaupun mereka tahu kandungan vitaminnya  tinggi. Setelah diselidiki ternyata masyarakat bernaggapan daun singkong hanya pantas untuk makanan kambing, dan mereka menolaknya karena status mereka tidak dapat disamakan dengan kambing.
e.  Pengaruh norma
Seperti halnya dengan rasa bangga terhadap statusnya,norma dimasyarakat sangat mempengaruhi perilaku kesehatan dari anggota masyarakatnya yang mendukung norma tersebut. sebagai contoh,untuk menurunkan angka kematian ibu dan bayi banyak mengalami hambatan karena adanya norma yang melarang hubungan antara dokter sebagai pemberi layanan dengan ibu hamil sebagai pengguna layanan.
Contoh : upaya untuk menurunkan angka kematian ibu dan bayi banyak mengalami hambatan karena ada norma yang melarang hubungan antara dokter yang memberikan pelayanan dengan bumil sebagai pengguna pelayanan.
f.    Pengaruh nilai
Nilai yang berlaku didalam masyarakat berpengaruh terhadap perilaku kesehatan. Contoh : masyarakat memandang lebih bergengsi beras putih daipada beras merah, padahal mereka mengetahui bahwa vitamin B1 lebih tinggi diberas merah daripada diberas putih. Meskipun masyarakat mengetahiu bahwa beras merah lebih banyak mengandung vitamin B1 jika dibandingkan dengan beras putih,masyarakat ini memberikan nilai bahwa beras putih lebih enak dan lebih bersih.
Contoh lain adalah masih banyak petugas kesehatan yang merokok meskipun mereka mengetahui bagaimana  bahaya merokok terhadap kesehatan
g.   Pengaruh unsur budaya yang dipelajari pada tingkat awal dari proses sosialisasi terhadap perilaku kesehatan.
Kebiasaan yang ditanamkan sejak kecil akan berpengaruh terhadap kebiasaan pada seseorang ketika ia dewasa. Misalnya saja, manusia yang biasa makan nasi sejak kecil, akan sulit diubah kebiasaan makannya setelah dewasa (Notoatmodjo, 2007).
Pada tingkat awal proses sosialisasi,seorang anak diajakan antara lain bagaimana cara makan,bahan makanan apa yang dimakan,cara buang air kecil dan besar,dan lain-lain. kebiasaan tersebut terus dilakukan sampai anak tersebut dewasa dan bahkan menjadi tua.kebiasaan tersebut sangat mempngaruhi perilaku kesehatan yang sangat sulit untuk diubah (Koentjaraningrat, 2002).
h. Pengaruh konsekuensi dari inovasi terhadap perilaku kesehatan
Apabila seorang petugas kesehatan ingin melakukan perubahan perilaku kesehatan masyarakat, maka yang harus dipikirkan adalah konsekuensi apa yang akan terjadi jika melakukan perubahan, menganalisis faktor-faktor yang terlibat/berpengaruh pada perubahan, dan berusaha untuk memprediksi tentang apa yang akan terjadi dengan perubahan tersebut (Koentjaraningrat, 2002).
Tidak ada perubahan yang terjadi dalam isolasi,atau dengan perkataan lain,suatu perubahan akan menghasilkan perubahan yang kedua dan perubahan yang ketiga.apabila seorang pendidik kesehatan ingin melakukan perubahan perilaku kesehatan masyarakat,maka yang harus dipikirkan adalah konsekuensi apa yang akan terjadi jika melakukan perubahan,menganalisis faktor-faktor yang terlibat/berpengaruh terhadap perubahan,dan berusaha untuk memprediksi tentang apa yang akan terjadi dengan perubahan tersebutapabila ia tahu budaya masyarakat setempat dan apabila ia tahu tentang proses perubahan kebudayaan,maka ia harus dapat mengantisipasi reaksi yang muncul yang mempengaruhi outcome dari perubahan yang  telah direncanakan  (Notoatmodjo, 2007).
6.  Makanan Dan Budaya
a.  Definisi Makanan
Makanan adalah bahan selain obat yang mengandung zat-zat gizi dan atau unsurunsur/ikatan kimia yang dapat diubah menjadi zat gizi oleh tubuh, yang berguna bila dimasukkan dalam tubuh (Arisman, 2009).
b.  Kebudayaan Menentukan Makanan
Sebagai suatu konsep budaya, makanan (food) bukanlah semata-mata suatu produk organik dengan kualitas-kualitas biokimia yang dapat dipakai oleh organisma termasuk manusia untuk mempertahankan hidupnya. Akan tetapi makanan sebagai sesuatu yang akan dimakan, diperlukan pengesahan budaya. Lewat konsep-konsep budaya itulah sejumlah makanan yang menurut ilmu gizi sangat bermanfaat untuk dikonsumsi, tetapi dalam prakteknya bisa jadi justru dihindari.
Contoh :
1)    Adanya pantangan bayi dan anak tidak diberikan daging, ikan, telur, dan makanan yang dimasak dengan santan dan kelapa parut sebab dipercaya akan menyebabkan cacingan, sakit perut, dan sakit mata .
2)    Bagi gadis dilarang makan buah: pepaya, nanas dan jenis pisang tertentu (yang dianggap tabu) karena ada hubungan yang erat dengan siklus masa haid, hubungan kelamin dan reproduksi .
   Jadi, dapat kita pahami bahwa adanya masalah gizi di Indonnesia bukan hanya karena masalah sosek, tapi juga karena alasan-alasan budaya, di mana ada ketersediaan makanan tetapi terpaksa tidak dikonsumsi karena kepercayaan atau ketidaklaziman atau karena larangan agama (Arisman, 2009). 
 c. Istilan Makanan “Food Versus Nutrimen”
Masalah aktivitas makan tidak semata-mata sebagai aktivitas fisik manusia untuk pemenuhan naluriahnya seperti lapar, tetapi  juga di dalamnya dilekati oleh pengetahuan budaya. Lewat pengetahuan budaya itu, masyarakat manusia mengkategorikan makanan ke dalam dua istilah yaitu nutrimen (nutriment) dan makanan (food).
1)    Nutriment adalah suatu konsep biokimia, suatu zat yang mampu untuk memelihara dan menjaga kesehatan organisme yang menelannya, terlepas dari apakah makanan itu diperbolehkan atau dilarang dalam kaitannya dengan budaya (Arisman, 2009).
2)    Food adalah suatu konsep budaya. Sebagai konsep budaya, maka di dalamnya terdapat penjelasan budaya mengenai kategori (bahan) makanan anjuran lawan makanan tabu (larangan); makanan prestise lawan makanan rendah; makanan dingin lawan makanan panas, dan sebagainya. Sebagai suatu konsep budaya, makanan (food) bukanlah semata-mata suatu produk organik dengan kualitas-kualitas biokimia yang dapat dipakai oleh organisma termasuk manusia untuk mempertahankan hidupnya. Akan tetapi makanan sebagai sesuatu yang akan dimakan, diperlukan pengesahan budaya (Notoatmodjo, 2007).
    Jellife & Bennet 1962 menyatakan : “Manusia dimana saja, bahkan dalam keadaan sukar sekalipun, hanya makan sebagian dari bahan-bahan yang sebenarnya dapat dimakan tersedia”.
d.  Klasifikasi Makanan
Variasi klasifikasi makanan antara lain :
1)    Menurut prestise – status
2)    Pertemuan sosial
3)    Usia
4)    Keadaan sehat – sakit
5)    Nilai simbolik – ritual  (Arisman, 2009).
e.  Peranan Simbolik Makanan
1)  Sebagai ungkapan ikatan social
Misalnya :
a)    Menawarkan makanan sebagai simbolis ungkapan persahabatan, perhatian, kasih sayang
b)    Tidak memberi makanan sebagai ungkapan simbolis permusuhan, kemarahan
c)    Sebagai ungkapan kesetiakawanan kelompok. Misalnya: makan bersama, berkumpul dimeja besar melambangkan keakraban keluarga
 2)  Makanan dan stress
  Misal : terpenuhinya makanan kesukaan – kebiasaan membuat dirinya tenang.
3)    Simbolisme makanan dalam bahasa
Kualitas makanan digunakan untuk menggambarkan kualitas manusia.  Misal : wajah susu madu diartikan sebagai seseorang dengan wajah kuning langsat .
f.  Pembatasan Budaya Terhadap Kecukupan Gizi
1)  Kegagalan melihat hubungan antara makanan dan kesehatan
Adalah kesenjangan yang besar dalam pemahaman tentang bagaimana makanan itu dapat digunakan sebaik-baiknya untuk kesehatan, misal :
a)    Susunan hidangan yang cenderung ditafsirkan berdasar kuantitasnya tanpa memperhatikan kualitas.
b)    Kepercayaan / tabu terhadap makanan yang tidak menguntungkan kesehatan bila tabu tersebut diterapkan.
2)    Kegagalan untuk mengenali kebutuhan gizi pada anak-anak.
a)    Kegagalan budaya masyarakat memahami bahwa anak-anak memerlukan makanan khusus.
b)    Kepercayaan/tabu terhadap makanan yang merugikan anak-anak.
c)    Ketidaktahuan gizi / kecukupan gizi anak (Koentjaraningrat, 2002).
7.  Manfaat Bagi Petugas Kesehatan Mempelajari Kebudayaan
a.    Di dalam semua religi atau agama, ada kepercayaan tertentu yang berkaitan dengan kesehatan, gizi, dll. Misal : orang yang beragama Islam : tidak makan babi, sehingga dalam 2 rangka memperbaiki status gizi, seorang petugas kesehatan dapat menganjurkan makanan lain yang bergizi yang tidak bertentangan dengan agamanya.
b.    Dengan mempelajari organisasi masyarakat, maka petugas kesehatan akan mengetahui organisasi apa saja yang ada di masyarakat, kelompok mana yang berkuasa, kelompok  mana yang menjadi panutan, dan tokoh mana yang disegani. Sehingga dapat dijadikan strategi pendekatan yang lebih tepat dalam upaya mengubah perilaku kesehatan masyarakat.
c.    Petugas kesehatan juga perlu mengetahui pengetahuan masyarakat tentang kesehatan. Dengan  mengetahui pengetahuan masyarakat maka petugas kesehatan akan mengetahui mana yang perlu ditingkatkan, diubah dan pengetahuan mana yang perlu dilestarikan dalam memperbaiki status kesehatan.
d.     Petugas kesehatan juga perlu mempelajari bahasa lokal agar lebih mudah berkomunikasi, menambah rasa kedekatan, rasa kepemilikan bersama dan rasa persaudaraan.
e.    Selain itu perlu juga mempelajari tentang kesenian dimasyarakat setempat. Karena petugas kesehatan dapat memanfaatkan kesenian yang ada dimasyarakat  untuk menyampaikan pesan kesehatan.
f.     Sistem mata pencaharian juga perlu dipelajari karena sistem mata pencaharian  ada kaitannya dengan pola penyakit yang diderita oleh masyarakat tersebut.
g.    Teknologi dan peralatan masyarakat setempat  . Masyarakat akan lebih mudah menerima pesan yang disampaikan petugas jika petugas menggunakan teknologi dan peralatan yang dikenal masyarakat (Notoatmodjo, 2007).
8. Perubahan Sosial Budaya
Dalam teori HL blum tentang status ksehatan,maka dijelaskan tentang beberapa faktor yang mempengaruhi status kesehatan, antara lain:
1.      Lingkungan yang terdiri dari lingkungan fisik,social budaya,ekonomi,prilaku,keturunan,dan pelayanan kesehatan.
2.       Blum juga menjelaskan,bahwa lingkungan sosial budaya tersebut tidak saja mempengaruhi status kesehatan,tetapi juga mempengaruhi perilaku kesehatan
Sebagaimana kita ketahui bahwa masyarakat Indonesia terdiri dari banyak suku bangsa yang mempunyai latar budaya yang beraneka ragam.lingkungan budaya tersebut sangat mepegaruhi tingkah laku manusia yang memiliki budaya tersebut,sehingga dengan beranekaragam budaya,menimbulkan variasi dalam perilaku manusia dalam segala hal, termasuk dalam perilaku kesehatan (Notoatmodjo, 2007).
Dengan masalah tersebut, maka petugas kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat dangan latar budaya yang beraneka ragam, perlu sekali mengetahui budaya dan masyarakat yang dilayaninya,agar pelayanan kesehatan yang diberikan kepada masyarakat akan memberikan hasil yang optimal,yaitu meningkatkan kesehatan masyarakat (Prasetyawati, 2012).
Manusia adalah mahluk sosial yang dalam kehidupannya tidak bisa hidup sendiri sehingga membentuk kesatuan hidup yang dinamakan masyarakat.dengan definisi tersebut,Ternyata pengertian masyarakat masih dirasakan luas dan abstrak sehingga untuk lebih konkretnya maka ada beberapa unsur masyarakat,unsur masyarakat dikelompokan menjadi 2 bagian yaitu:
1.         Kesatuan sosial dan
2.         Pranata sosial.
Kesatuan sosial merupakan bentuk dan susunan dari kesatuan-kesatuan individu yang berinteraksi dengan kehidupan masyarakat.sedangkan yang dimaksud , pranata sosial adalah himpunan norma-norma dari segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok dalam kehidupan masyarakat. norma-norma tersebut memberikan petunjuk bagi tingkah laku seseorang yang hidup dalam masyarakat. Kebudayaan. dalam pengertian yang terbatas,banyak orang yang memberikan definisi kebudayaan sebagai bangunan yang indah,candi,tari-tarian,seni suara dan seni rupa (Notoatmodjo, 2007).
9.   Contoh-Contoh Kebudayaan  Yang Berhubungan Dengan Kesehatan Ibu
Berikut kebudayaan yang dianut oleh masyarakat Indonesia adala
1.  Kebudayaan bagi wanita hamil :
Berbagai kelompok masyarakat di berbagai tempat yang menitik beratkan perhatian mereka terhadap aspek kultural dari kehamilan dan menganggap peristiwa itu sebagai tahapan-tahapan kehidupan yang harus dijalani didunia.Masa kehamilan dan kelahiran dianggap masa krisis yang berbahaya,baik bagi janin atau bayi maupun bagi ibunya karna itu sejak kehamilan sampai kelahiran para kerabat dan handai-tolan mengadakan serangkaian upacara baggi wanita hamil dengan tujuan mencari keselamatan bagi diri wanita itu serta bayinya,saat berada di dalam kandungan hingga saat lahir (Prasetyawati, 2012).
Orang jawa adalah salah satu contoh dari masyarakat yang sering menitikberatkan perhatian pada aspek krisis kehidupan dari pertistiwa kehamilan,sehingga di dalam adat-istiadat mereka terdapat berbagai upacara adat yang cukup rinci untuk menyambut kelahiran bayi.Biasanya upacara dimulai sejak usia ketujuh bulan kandungan ibu sampai pada saat kelahirannya,walaupun ada pula sebagian kecil warga masyarakat yang telah melakukannya sejak janin di kandungan ibu berusia tiga bulan.upacara –upacara adat jawa yang bertujuan mengupayakan keselamatan bagi janin dalam prosesnya menjadi bayi hingga saat kelahirannya itu adalah upacara mitoni,procotan dan brokohan (Prasetyawati, 2012).
Sebagian masyarakat jawa juga percaya bahwa bayi yang lahir pada usia tujuh bulan mempunyai peluang untuk hidup,bahkan lebih kuat daripada bayi yang lahir pada usia kehamilan delapan bulan,walupun kelahiran itu masih prematur.Kepercayaan ini tampak terdapat pula pada sejumlah suku bangsa di indonesia dan malaysia(Koentjaraningrat, 2002).
Upacara procotan dilakukan dengan membuat sajian jenang procot yakni bubur putih yang dicampur dengan irisan ubi.Upacara procotan khusus bertujuan agar sang bayi mudah lahir dan rahim ibunya (Notoatmodjo, 2007).
Brokohan adalah upacara sesudah lahirnya bayi dengan selamat dengan membuat sajian nasi urap dan telur rebus yang diedarkan pada sanak kluarga untuk memberitahukan kelahiran sang bayi. Pusat perhatian orang jawa mengenai pelaksanaan upacara pada masa kehamilan dan kelahiran terletak pada unsur tecapainya keselamatan,yang dilandasi atas keyakinan mengenai krisis kehidupan yang mengandung bahaya dan harus ditangkal,serta harapan akan kebaikan bagi janin dan ibunya.Maka upacara kelahiran seringkali  tidak dilaksanakan dalam bentuk kenduri besar dengan mengundang banyak handai-taulani (Koentjaraningrat, 2002).
Selain  di jawa di Setiap daerah juga mempunyai kebudayaan yang berbeda-beda dikalangan masyarakat terhadap kesehatan ibu. Berikut budaya yang ada di beberapa daerah  terhadap kesehatan ibu hamil :
1.   Jawa Tengah :
Bahwa ibu hamil pantang makan telur karena akan  mempersulit persalinan dan pantang makan daging karena akan menyebabkan perdarahan yang banyak.
2.   Jawa Barat :
Ibu yang kehamilannya memasuki 8-9 bulan sengaja harus mengurangi makannya agar bayi yang dikandungnya kecil dan mudah dilahirkan.
3.   Masyarakat Betawi :
Berlaku pantangan makan ikan asin, ikan laut, udang dan kepiting karena dapat menyebabkan ASI menjadi asin.
4.  Daerah Subang
   Ibu hamil pantang makan dengan menggunakan piring yang besar karena khawatir bayinya akan besar sehingga akan mempersulit persalinan. Dan memang, selain ibunya kurang gizi, berat badan bayi yang dilahirkan juga rendah.Tentunya hal ini sangat mempengaruhi daya tahan dan kesehatan si bayi. Selain itu, larangan untuk memakan buah-buahan seperti pisang, nenas, ketimun dan lain-lain bagi wanita hamil juga masih dianut oleh beberapa kalangan masyarakat terutama masyarakat di daerah pedesaan. (Wibowo,1993).
Pada beberapa masyarakat tradisional di Indonesia kita bisa melihat konsepsi budaya yang terwujud dalam perilaku berkaitan dengan kebudayaan ibu bersalin yang berbeda, dengan konsepsi kesehatan modern. Beberapa hal yang dilakukan oleh masyarakat pada ibu bersalin:
a)    Minum rendaman air rumput Fatimah akan merangsang mulas.
Memang, rumput Fatimah bisa membuat mulas pada ibu hamil, tapi apa kandungannya belum diteliti secara medis. Rumput fatimah atau biasa disebut Labisia pumila ini, berdasarkan kajian atas obat-obatan tradisional di Sabah, Malaysia, tahun 1998, dikatakan mengandung hormon oksitosin yang dapat membantu menimbulkan kontraksi. Tapi, apa kandungan dan seberapa takarannya belum diteliti secara medis. Jadi, harus dikonsultasikan dulu ke dokter sebelum meminumnya. Karena, rumput ini hanya boleh diminum bila pembukaannya sudah mencapai 3-5 cm, letak kepala bayi sudah masuk panggul, mulut rahim sudah lembek atau tipis, dan posisi ubun-ubun kecilnya normal. Jika letak ari-arinya di bawah atau bayinya sungsang, tak boleh minum rumput ini karena sangat bahaya. Terlebih jika pembukaannya belum ada, tapi si ibu justru dirangsang mulas pakai rumput ini, bisa-bisa janinnya malah naik ke atas dan membuat sesak nafas si ibu. Mau tak mau, akhirnya dilakukan jalan operasi (Prasetyawati, 2012).
b)    Meluarnya lendir semacam keputihan yang agak banyak menjelang persalinan, akan membantu melicinkan saluran kelahiran hingga bayi lebih mudah keluar. Ini tak benar! Keluarnya cairan keputihan pada usia hamil tua justru tak normal, apalagi disertai gatal, bau, dan berwarna. Jika terjadi, segera konsultasikan ke dokter. Ingat, bayi akan keluar lewat saluran lahir. Jika vagina terinfeksi, bisa mengakibatkan radang selaput mata pada bayi. (Koentjaraningrat, 2002).
c)    Minum minyak kelapa memudahkan persalinan.
Minyak kelapa, memang konotasinya bikin lancar dan licin. Namun dalam dunia kedokteran, minyak tak ada gunanya sama sekali dalam melancarkan persalinan. Mungkin secara psikologis, ibu hamil menyakini, dengan minum dua sendok minyak kelapa dapat memperlancar persalinannya. Jika itu demi ketenangan psikologisnya, maka diperbolehkan, karena minyak kelapa bukan racun.
d)    Minum madu dan telur dapat menambah tenaga untuk persalinan.
Madu tak boleh sembarangan dikonsumsi ibu hamil. Jika BB-nya cukup, sebaiknya jangan minum madu karena bisa mengakibatkan overweight. Bukankah madu termasuk karbonhidrat yang paling tinggi kalorinya? Jadi, madu boleh diminum hanya jika BB-nya kurang. Begitu BB naik dari batas yang ditentukan, sebaiknya segera hentikan. Demikian juga dengan telur, pada dasarnya selama telur itu matang maka tidak akan berbahaya bagi kehamilan. Hal ini disebabkan karena telur banyak mengandung protein yang dapat menambah kalori tubuh.
e)    Makan duren, tape, dan nanas bisa membahayakan persalinan.
Ini benar karena bisa mengakibatkan perndarahan atau keguguran. Duren mengandung alkohol, jadi panas ke tubuh. Begitu juga tape serta aneka masakan yang menggunakan arak, sebaiknya dihindari. Buah nanas juga, karena bisa mengakibatkan keguguran.
 f)     Makan daun kemangi membuat ari-ari lengket, hingga mempersulit persalinan. Yang membuat lengket ari-ari bukan daun kemangi, melainkan ibu yang pernah mengalami dua kali kuret atau punya banyak anak, misal empat anak. Ari-ari lengket bisa berakibat fatal karena kandungan harus diangkat. Ibu yang pernah mengalami kuret sebaiknya melakukan persalinan di RS besar. Hingga, bila terjadi sesuatu dapat ditangani segera (Prasetyawati, 2012).
g)    Tak boleh keramas
Pantangan yang satu ini dicemaskan bisa membuat si ibu masuk angin. Itu sebab, sebagai gantinya rambut cukup diwuwung, yakni sekadar disiram dengan air dingin. Lagi-lagi, penyiraman ini diyakini agar darah putih bisa turun dan tak menempel di mata. Namun agar tak bau apek dan tetap harum disarankan menggunakan ratus pewangi. Tentu saja pantangan semacam itu untuk kondisi jaman sekarang dirasa memberatkan. Terlebih untuk ibu-ibu yang harus sering beraktivitas di luar rumah. Sedangkan mandi boleh-boleh saja asal dilakukan jam 5 atau 6 untuk mandi pagi dan sebelum magrib untuk mandi malam. Penggunaan air dingin, katanya, justru lebih baik ketimbang air hangat karena bisa melancarkan produksi ASI (Notoatmodjo, 2007).
 5.    Hindari makan jemek
Golongan makanan yang harus dijauhi adalah pepaya, durian, pisang, dan terung. Karena konon ragam makanan tadi bisa dikhawatirkan bikin benyek organ vital kaum Hawa. Termasuk makanan bersantan dan pedas karena pencernaannya bakal terganggu yang bisa berpengaruh pada bayinya. Begitu juga ikan dan telur asin serta makanan lain yang berbau amis karena dikhawatirkan bisa menyebabkan bau anyir pada ASI yang membuat bayi muntah saat disusui. Selain juga, proses penyembuhan luka-luka di jalan lahir akan lebih lambat (Koentjaraningrat, 2002).
Secara medis, menurut Chairulsjah, tak benar anggapan untuk pantang pepaya dan pisang yang justru amat dianjurkan karena tergolong sumber makanan yang banyak mengandung serat untuk memudahkan BAB. Ikan dan telur juga merupakan salah satu sumber protein hewani yang baik dan amat dibutuhkan tubuh. Sedangkan durian memang tak dianjurkan karena kandungan kolesterolnya tinggi, selain memicu pembentukan gas yang bisa mengganggu pencernaan.
6.    Tidak boleh berpergian
Kalau dipikir-pikir larangan ini, bertujuan supaya si ibu tak terlalu letih beraktivitas. Kalau capek bisa-bisa ASI-nya berkurang. Kasihan si kecil. Karena biasanya seumur ini sedang kuat-kuatnya menyusu. Belum lagi kemungkinan si bayi rewel ditinggal ibunya terlalu lama. Sementara kalau diajak pun masih kelewat kecil. Malah takut ada apa-apa di jalan, terutama kalau menggunakan angkutan umum. Bepergian pun membuat si ibu jadi tak tahan menghadapi aneka godaan untuk menyantap segala jenis makanan yang dipantang.
B.   Tinjauan Tentang Kesehatan
1.     Defenisi
   Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Pemeliharaan kesehatan adalah upaya penaggulangan dan pencegahan gangguan kesehatan yang memerlukan pemeriksaan, pengobatan dan/atau perawatan termasuk kehamilan dan persalinan. Pendidikan kesehatan adalah proses membantu sesorang, dengan bertindak secara sendiri-sendiri ataupun secara kolektif, untuk membuat keputusan berdasarkan pengetahuan mengenai hal-hal yang mempengaruhi kesehatan pribadinya dan orang lain (Prasetyawati, 2012).
Definisi yang bahkan lebih sederhana diajukan oleh Larry Green dan para koleganya yang menulis bahwa pendidikan kesehatan adalah kombinasi pengalaman belajar yang dirancang untuk mempermudah adaptasi sukarela terhadap perilaku yang kondusif bagi kesehatan. Data terakhir menunjukkan bahwa saat ini lebih dari 80 persen rakyat Indonesia tidak mampu mendapat jaminan kesehatan dari lembaga atau perusahaan di bidang pemeliharaan kesehatan, seperti Akses, Taspen, dan Jamsostek. Golongan masyarakat yang dianggap 'teranaktirikan' dalam hal jaminan kesehatan adalah mereka dari golongan masyarakat kecil dan pedagang. Dalam pelayanan kesehatan, masalah ini menjadi lebih pelik, berhubung dalam manajemen pelayanan kesehatan tidak saja terkait beberapa kelompok manusia, tetapi juga sifat yang khusus dari pelayanan kesehatan itu sendiri (Notoatmodjo, 2007).
UU No.23,1992 tentang Kesehatan menyatakan bahwa: Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Dalam pengertian ini maka kesehatan harus dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh terdiri dari unsur-unsur fisik, mental dan sosial dan di dalamnya kesehatan jiwa merupakanbagian integral kesehatan.
2.    Kebudayaan dan Pengobatan Tradisional
Masing-masing kebudayaan memiliki berbagai pengobatan untuk penyembuhan anggota masyarakatnya yang sakit. Berbeda dengan ilmu kedokteran yang menganggap bahwa penyebab penyakit adalah kuman, kemudian diberi obat antibiotika dan obat tersebut dapat mematikan kuman penyebab penyakit. Pada masyarakat tradisional, tidak semua penyakit itu disebabkan oleh penyebab biologis. Kadangkala mereka menghubung-hubungkan dengan sesuatu yang gaib, sihir, roh jahat atau iblis yang mengganggu manusia dan menyebabkan sakit (Koentjaraningrat, 2002).
Banyak suku di Indonesia menganggap bahwa penyakit itu timbul akibat guna-guna. Orang yang terkena guna-guna akan mendatangi dukun untuk meminta pertolongan. Masing-masing suku di Indonesia memiliki dukun atau tetua adat sebagai penyembuh orang yang terkena guna-guna tersebut. Cara yang digunakan juga berbeda-beda masing-masing suku. Begitu pula suku-suku di dunia, mereka menggunakan pengobatan tradisional masing-masing untuk menyembuhkan anggota sukunya yang sakit (Notoatmodjo, 2007).
Suku Azande di Afrika Tengah mempunyai kepercayaan bahwa jika anggota sukunya jari kakinya tertusuk sewaktu sedang berjalan melalui  jalan biasa dan dia terkena penyakit tuberkulosis maka dia dianggap terkena serangan sihir. Penyakit itu disebabkan oleh serangan tukang sihirdan korban tidak akan sembuh sampai serangan itu berhenti (Prasetyawati, 2012).
Orang Kwakuit di bagian barat Kanada percaya bahwa penyakit dapat disebabkan oleh dimasukkannya benda asing ke dalam tubuh dan yang terkena dapat mencari pertolongan ke dukun. Dukun itu biasa disebut Shaman. Dengan suatu upacara penyembuhan maka Shaman akan mengeluarkan benda asing itu dari tubuh pasien..
3.    Konsep Sehat dan Sakit Menurut Budaya Masyarakat
Konsep sehat dan sakit sesungguhnya tidak terlalu mutlak dan universal karena ada faktor–faktor lain diluar kenyataan klinis yang mempengaruhinya terutama faktor sosial budaya. Kedua pengertian saling mempengaruhi dan pengertian yang satu hanya dapat dipahami dalam konteks pengertian yang lain (Simatupang, 2008).
Banyak ahli filsafat, biologi, antropologi, sosiologi, kedokteran, dan lain-lain bidang ilmu pengetahuan telah mencoba memberikan pengertian tentang konsep sehat dan sakit ditinjau dari masing-masing disiplin ilmu. Masalah sehat dan sakit merupakan proses yang berkaitan dengan kemampuan atau ketidakmampuan manusia beradaptasi dengan lingkungan baik secara biologis, psikologis maupun sosio budaya (Notoatmodjo, 2007).
Definisi sakit: seseorang dikatakan sakit apabila ia menderita penyakit menahun (kronis), atau gangguan kesehatan lain yang menyebabkan aktivitas kerja/kegiatannya terganggu. Walaupun seseorang sakit (istilah sehari -hari) seperti masuk angin, pilek, tetapi bila ia tidak terganggu untuk melaksanakan kegiatannya, maka ia di anggap tidak sakit Simatupang, 2008).
Masalah kesehatan merupakan masalah kompleks yang merupakan resultante dari berbagai masalah lingkungan yang bersifat alamiah maupun masalah buatan manusia, social budaya, perilaku, populasi penduduk, genetika, dan sebagainya. Derajat kesehatan masyarakat yang disebut sebagai psycho socio somatic health well being , merupakan resultante dari 4 faktor yaitu:
1.    Environment atau lingkungan.
2.     Behaviour atau perilaku, Antara yang pertama dan kedua dihubungkan dengan ecological balance.
3.    Heredity atau keturunan yang dipengaruhi oleh populasi, distribusi penduduk, dan sebagainya.
4.    Health care service berupa program kesehatan yang bersifat preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif.
Dari empat faktor tersebut di atas, lingkungan dan perilaku merupakan faktor yang paling besar pengaruhnya (dominan) terhadap tinggi rendahnya derajat kesehatan masyarakat. Tingkah laku sakit, peranan sakit dan peranan pasien sangat dipengaruhi oleh faktor -faktor seperti kelas social, perbedaan suku bangsa dan budaya. Maka ancaman kesehatan yang sama (yang ditentukan secara klinis), bergantung dari variable-variabel tersebut dapat menimbulkan reaksi yang berbeda di kalangan pasien  (Notoatmodjo, 2007).
Istilah sehat mengandung banyak muatan kultural, social dan pengertian profesional yang beragam. Dulu dari sudut pandangan kedokteran, sehat sangat erat kaitannya dengan kesakitan dan penyakit. Dalam kenyataannya tidaklah sesederhana itu, sehat harus dilihat dari berbagai aspek. WHO melihat sehat dari berbagai aspek. WHO mendefinisikan pengertian sehat sebagai suatu keadaan sempurna baik jasmani, rohani, maupun kesejahteraan social seseorang. Sebatas mana seseorang dapat dianggap sempurna jasmaninya (Prasetyawati, 2012).
Oleh para ahli kesehatan, antropologi kesehatan di pandang sebagai disiplin biobudaya yang memberi perhatian pada aspek-aspek biologis dan sosial budaya dari tingkah laku manusia, terutama tentang cara-cara interaksi antara keduanya sepanjang sejarah kehidupan manusia yang mempengaruhi kesehatan dan penyakit. Penyakit sendiri ditentukan oleh budaya: hal ini karena penyakit merupakan pengakuan sosial bahwa seseorang tidak dapat menjalankan peran normalnya secara wajar Simatupang, 2008).
Seorang pengobat tradisional yang juga menerima pandangan kedokteran modern, mempunyai pengetahuan yang menarik mengenai masalah sakit-sehat. Baginya, arti sakit adalah sebagai berikut: sakit badaniah berarti ada tanda-tanda penyakit di badannya seperti panas tinggi, penglihatan lemah, tidak kuat bekerja, sulit makan, tidur terganggu, dan badan lemah atau sakit, maunya tiduran atau istirahat saja (Simatupang, 2008).
Persepsi masyarakat mengenai terjadinya penyakit berbeda antara daerah yang satu dengan daerah yang lain, karena tergantung dari kebudayaan yang ada dan berkembang dalam masyarakat tersebut. Persepsi kejadian penyakit yang berlainan dengan ilmu kesehatan sampai saat ini masih ada di masyarakat; dapat turun dari satu generasi ke generasi berikutnya dan bahkan dapat berkembang luas (Prasetyawati, 2012).
Berikut ini contoh persepsi masyarakat tentang penyakit malaria, yang saat ini masih ada di beberapa daerah pedesaan di Papua (Irian Jaya). Makanan pokok penduduk Papua adalah sagu yang tumbuh di daerah rawa -rawa. Selain rawa-rawa, tidak jauh dari mereka tinggal terdapat hutan lebat. Penduduk desa tersebut beranggapan bahwa hutan itu milik penguasa gaib yang dapat menghukum setiap orang yang melanggar ketentuannya (Notoatmodjo, 2007).
Pelanggaran dapat berupa menebang, membabat hutan untuk tanah pertanian, dan lain-lain akan diganjar hukuman berupa penyakit dengan gejala demam tinggi, menggigil, dan muntah. Penyakit tersebut dapat sembuh dengan cara minta ampun kepada penguasa hutan, kemudian memetik daun dari pohon tertentu, dibuat ramuan untuk di minum dan dioleskan ke seluruh tubuh penderita. Dalam beberapa hari penderita akan sembuh. (Simatupang, 2008).
Persepsi masyarakat mengenai penyakit diperoleh dan ditentukan dari penuturan sederhana dan mudah secara turun temurun. Misalnya penyakit akibat kutukan Allah, makhluk gaib, roh-roh jahat, udara busuk, tanaman berbisa, binatang, dan sebagainya. Pada sebagian penduduk Pulau Jawa, dulu penderita demam sangat tinggi diobati dengan cara menyiram air di malam hari. Air yang telah diberi ramuan dan jampi-jampi oleh dukun dan pemuka masyarakat yang disegani digunakan sebagai obat malaria (Notoatmodjo, 2007).





 

BAB III
PEMBAHASAN

A.   Kebudayaan dan Perubahannya
Kebudayaan itu tidak statis, kecuali mungkin pada masyarakat pedalaman yang terpencil. Hubungan antara kebudayaan dan kesehatan biasanya dipelajari pada masyarakat yang terisolasi dimana cara-cara hidup mereka tidak berubah selama beberapa generasi, walaupun mereka merupakan sumber  data-data biologis yang penting dan model antropologi yang berguna, lebih penting lagi untuk memikirkan bagaimana mengubah kebudayaan mereka itu. Pada Negara dunia ke 3 laju perkembangan ini cukup cepat, dengan berkembangnya suatu masyarakat perkotaan dari masyarakat pedesaan (Simatupang, 2008).
 Ide-ide tradisional yang turun temurun, sekarang telah di modifikasi dengan pengalaman-pengalaman dan ilmu pengetahuan baru. Sikap terhadap penyakit pun banyak mengalami perubahan .Kaum muda dari pedesaan meninggalkan lingkungan mereka menuju kekota. Akibatnya tradisi budaya lama di desa makin tersisih. Meskipun lingkungan dari masyarakat kota modern dapat di kontrol dengan tekhnologi, setiap individu didalamnya adalah subjek dari pada tuntutan ini, tergantung dari kemampuannya untuk beradaptasi
Hubungan yang selaras antara faktor budaya dan biologis, yang mungkin berkembang sebagai hasil dari faktor lingkungan, dapat dilukiskan dengan cntoh-contoh dari Papua Nugini dan Nigeria.”pigbel” sejenis penyakit berat yang dapat menimbulkan kematian disebabkan oleh kuman clodistrium perfringens type C. Penduduk papua Nugini yang tinggal didaratan tinggi biasanya sedikit makan daging oleh sebab itu, cenderung untuk menderita kekurangan enzim protetase dalam usus. Bila suatu perayaan tradisional diadakan, mereka makan daging babi dalam jumlah banyak tapi tungku tempat masaknya tidak cukup panas untuk memasak daging dengan baik sehingga kuman clostridia masih dapat berkembang. Makana pokok mereka adalah kentang, mengandung tripsin inhibitor, oleh sebab itu racun dari kuman yang seharusnya terurai oleh tripsin, menjadi terlindung. Tripsin inhibitor juga dihasilkan oleh cacing ascaris yang banyak terdapat pada penduduk tersebut. Kuman dapat  juga berkembang dalam daging yang kurang dicernakan, dan secara bebas mengeluarkan racunnya (Prasetyawati, 2012).
Dari beberapa faktor budaya diatas,masing-masing faktor berhubungan satu sama lain nya. Wanita- wanita Hausa yang tinggal di sekitar Zaria Nigeria utara, secara tradisi memakan garam kurang selama priode nifas, untuk meningkatkan produksi air susunya. Merka juga menganggap bahwa hawa dingin adalah penyebab penyakit.leh sebab itu mereka memanasi tubuhnya paling kurang selama 40 hari setelah melahirkan. Diet garam yang berlebihan dan hawa panas, merupakan penyebab timbulnya kegagalan jantung. Faktor budaya disini adalah kebiasaan makan garam yang berlebihan dan memanasi tubuh adalah faktor pencetus terjadinya kegagalan jantung (Notoatmodjo, 2007).
B.   Kebudayaan dan sistem pelayanan kesehatan.
  Bila suatu bentuk pelayanan kesehatan baru di perkenalkan kedalam suatu masyarakat dimana faktor-faktor budaya masih kuat. Biasanya dengan segera mereka akan menolak dan memilih cara pengobatan tradisional sendiri. Apakah mereka akan memilih cara baru atau lama, akan memberi petunjuk kepada kita akan kepercayaan dan harapan pokokmereka lambat laun akann sadar apakah pengobatan baru tersebut berfaedah, sama sekali tidak berguna, atau lambat memberi pegaruh. Namun mereka lebih menyukai pengobatan tradisional karena berhubungan erat dengan dasar hidup mereka. Maka cara baru itu akan dipergunakan secara sangat terbatas, atau untuk kasus-kasus tertentu saja (Cahyani, 2012).
Pelayanan kesehatan yang modern oleh sebab itu harus disesuaikan dengan kebudayaan setempat, akan sia-sia jika ingin memaksakan sekaligus cara-cara moderen dan menyapu semua cara-cara tradisional. Bila tenaga kesehatan berasal dari lain suku atau bangsa, sering mereka merasa asing dengna penduduk setempat. ini tidak aan terjadi jika tenaga kesehatan tersebut berusaha mempelajari kebudayaan mereka dan menjembatani jarak yang ada diantara mereka. Dengan sikap yang tidak simpatik serta tangan besi, maka jarak tersebut akan semakin lebar. Setiap masyarakat mempunyai cara pengobatan dan kebiasaan yang berhubungan dengan ksehatan masing-masing. Sedikit usaha untuk mempelajari kebudayaan mereka. akan mempermudah memberikan gagasan yang baru yang sebelumnya tidak mereka terima (Prasetyawati, 2012).
  Pemuka-pemuka didalam masyarakat itu harus di yakinkan sehingga mereka dapat memberikan dukungan dan yakin bahwa cara-cara baru tersebut bukan untuk melunturkan kekuasaan mereka  tetapi sebaliknya akan memberika manfaat yang lebih besar.pilihan pengobatan dapat menimbulkan kesulitan. Misalnya bila pengobatan tradisional biasanya mengunakan cara-cara menyakitkan seperti mengiris-iris bagian tubuh atau dengan memanasi penderita,akan tidak puas hanya dengan memberikan pil untuk diminum. Hal tersebut diatas bisa menjadi suatu penghalang dalam memberikan pelayanan kesehatan, tapi dengan berjalannya waktu mereka akan berfikir dan menerima (Notoatmodjo, 2007).
Di negara-negara maju, terdapat unsur-unsur kebudayaan yang dapat menunjang tingginya status kesehatan masyarakat seperti pendidikan yang optimal, keadaan sosial-ekonomi yang tinggi, dan kesehatan lingkungan yang baik. Dengan demikian, pelayanan kesehatan menjadi sangat khusus sehingga dapat memenuhi kebutuhan klien(Cahyani, 2012).
C.   Pengaruh Sosial Budaya Terhadap Pelayanan Kesehatan
Hubungan antara faktor sosial budaya dan pelayanan kesehatan sangatlah penting untuk di pelajari khususnya bagi tenaga kesehatan. Bila suatu informasi kesehatan yang baru akan di perkenalkan kepada masyarakat haruslah di barengi dengan mengetahui terlebih dahulu tentang latar belakang sosial budaya yang dianut di dalam masyarakat tersebut (Simatupang, 2008).
Kebudayaan yang dianut oleh masyarakat tertentu tidaklah kaku dan bisa untuk di rubah, tantangannya adalah mampukah tenaga kesehatan memberikan penjelasan dan informasi yang rinci tentang pelayanan kesehatan yang akan di berikan kepada masyarakat. Ada banyak cara yang bisa dilakukan ,mulai  dari perkenalan program kerja, menghubungi tokoh-tokoh masyarakat maupun melakukan pendekatan secara personal (Cahyani, 2012).
 Menjadi sakit memang tidak diharapkan oleh semua orang apalagi penyakit-penyakit yang berat dan fatal. Masih banyak masyarakat yang tidak mengerti bagaimana penyakit itu dapat menyerang seseorang. Ini dapat dilihat dari sikap merka terhadap penyakit tersebut. Ada kebiasaan dimana setiap oang sakit diisolasi dan dibiarkan saja. Kebiasaan ini ini mungkin dapat mencegah penularan dari penyakit-penyakit infeksi seperti cacar dan TBC(Simatupang,2008).
Bentuk pengobatan yang di berikan biasanya hanya berdasarkan anggapan mereka sendiri tentang bagaimana penyakit itu timbul. Kalau mereka menganggap penyakit itu disebabkan oleh hal-hal yang supernatural atau magis, maka digunakan pengobatan secara tradisional. Pengobatan modern dipilih bila meraka duga penyebabnya adalah fator ilmiah. Ini dapat merupakan sumber konflik bagi tenaga kesehatan, bila ternyata pengobatan yang mereka pilih berlawana denganpemikiran secara medis (Notoatmodjo, 2007).
Didalam masyarakat industri modern iatrogenic disease merupakan problema. Budaya menuntut merawat penderita di rumah sakit, pada hal rumah sakit itulah tempat ideal bagi penyebaran kuman-kuman yang telah resisten terhadp anti biotika (Cahyani, 2012).


D.   Pengaruh Sosial Budaya Terhadap Kesehatan Masyarakat
Tantangan berat yang masih dirasakan dalam pembangunan kesehatan di Indonesia adalah jumlah penduduk yang besar dengan pertumbuhan yang cukup tinggi serta penyebaran penduduk yang tidak merata di seluruh wilayah. Selain masalah tersebut, masalah lain yang perlu diperhatikan yaitu berkaitan dengan sosial budaya masyarakat, misalnya tingkat pengetahuan yang belum memadai terutama pada golongan wanita, kebiasaan negatif yang berlaku di masyarakat, adat istiadat, perilaku, dan kurangnya peran serta masyarakat dalam pembangunan kesehatan (SiImatupang, 2008).
Sosial budaya masyarakat yang merupakan hasil budi dan akal manusia yang dilandasi oleh pengalaman, sehingga budaya masyarakat bila dikaitkan dengan kesehatan, ada yang merugikan kesehatan dan ada pula yang menguntungkan kesehatan. Yang menguntungkan dan dapat dimanfaatkan dalam pembangunan kesehatan, yaitu semangat gotog royong dan kekeluargaan, serta sikap musyawarah dalam mengambil keputusan (Maryunani, 2011).
Pembangunan dalam suatu negara selain berdampak positif juga menimbulkan hal-hal negatif seperti timbulnya daerah kumuh (slum area) di perkotaan akibat pesatnya urbanisasi, polusi karena pesatnya perkembangan industri, banyak ibu-ibu karier yang tidak dapat mengasuh dan memberikan ASI secara optimal kepada anaknya, masalah kesehatan jiwa yang menonjol dan penyalahgunaan obat. Perkembangan penduduk dan pembangunan akan menghasilkan berbagai macam sampah yang dapat mengganggu kesehatan (Prasetyawati, 2012).
Masalah-masalah kesehatan masyarakat yang berkaitan dengan aspek sosial budaya dapat dibedakan menjadi:
1.  Kesehatan Ibu dan Anak
Berdasarkan survei rumah tangga (SKRT) pada tahun 1986, angka kematian ibu maternal berkisar 450 per 100.000 kelahiran hidup atau lebih dari 20.000 kematian pertahunnya (Maryunani, 2011).
Angka kematian ibu merupakan salah satu indikator kesehatan ibu yang meliputi ibu dalam masa kehamilan, persalinan, dan nifas. Angka tersebut dikatakan tinggi bila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN.
Dari hasil penelitian di 12 rumah sakit, dikatakan bahwa kehamilan merupakan penyebab utama kematian ibu maternal, yaitu sebesar 94,4% dengan penyebabnya, yaitu pendarahan, infeksi, dan toxaemia (*)%). Selain menimbulkan kematian, ada penyebab lain yang dapat menambah resiko terjadinya kematian yaitu Anemia gizi pada ibu hamil, dengan Hb kurang dari 11gr% (Cahyani, 2012).
Masih tingginya angka kematian dan kesuburan di Indonesia berkaitan erat dengan faktor sosial budaya masyarakat, seperti tingkat pendidikan penduduk, khususnya wanita dewasa yang masih rendah, keadaan sosial ekonomi yang belum memadai, tingkat kepercayaan masyarakat tergadap pelayanan kesehatan dan petugas kesehatan yang masih rendah dan jauhnya lokasi tempat pelayanan kesehatan dari rumah-rumah pendudukkebiasaan-kebiasaan dan adat istiadat dan perilaku masyarakat yang kurang menunjang dan lain sebagainya (Simatupang, 2008).
Tingkat pendidikan terutama pada wanita dewasa yang masih rendah, mempunyai pengaruh besar terhadap masih tingginya angka kematian bayi. Berdasarkan survei rumah tangganya (SKRT) pada tahun 1985, tingkat buta huruf pada wanita dewasa adalah sebesar 25,7%. Rendahnya tingkat pendidikan dan buta huruf pada wanita menyebabkan ibu-ibu tidak mengetahui tentang perawatan semasa hamil, kelahiran, perawatan bayi dan semasa nifas, tidak mengetahui kapan ia harus datang ke pelayanan kesehatan, kontrol ulang, dan sebagainya (Notoatmodjo, 2007).
Kebiasaan-kebiasaan adat istiadat dan perilaku masyarakat sering kali merupakan penghalang atau penghambat terciptanya pola hidup sehat di masyarakat. Perilaku, kebiasaan, dan adat istiadat yang merugikan seperti misalnya:
a.    Ibu hamil dilarang tidur siang karena takut bayinya besar dan akan sulit melahirkan
b.    Ibu menyusui dilarang makan makanan yang asin, misalnya: ikan, telur,
c.    Ibu habis melahirkan dilarang tidur siang,
d.    Bayi berusia 1 minggu sudah boleh diberikan nasi atau pisang agar mekoniumnya cepat keluar,
e.    Ibu post partum harus tidur dengan posisi duduk atau setengah duduk karena takut darah kotor naik ke mata,
   Dikatakan merugikan karena beberapa hal tersebut di atas justru dibutuhkan dalam rangka peningkatan kondisi kesehatan.
Tingkat kepercayaan masyarakat kepada terhadap petugas kesehatan, dibeberapa wilayah masih rendah. Mereka masih percaya kepada dukun karena kharismatik dukun tersebut yang sedemikian tinggi, sehingga ia lebih senang berobat dan meminta tolong kepada ibu dukun. Petugas kesehatan pemerintah dianggap sebagai orang baru yang tidak mengenal masyarakat di wilayahnya dan tidak mempunyia kharismatik (Prasetyawati, 2012).
Selain faktor tersebut, rendahnya kunjungan masyarakat ke pelayanan kesehatan dikarenakan jauhnya lokasi pelayanan kesehatan dengan rumah penduduk sehingga walaupun masyarakat sudah mempunyai kemauan memeriksakan dirinya ke pelayanan kesehatan, namun karena jauh dan harus segera mendapatka pertolongan, akhirnya ia berobat ke dukun yang dekat lokasinya. Keadaan ini disikapi oleh pemerintah dengan berupaya membangun fasilitas pelayanan kesehatan di daerah tersebut, menempatkan tenaga kesehatan disertai dengan peralatan yang dibutuhkan dalam memberikan pelayanan, peningkatan kualitas pelayanan dengan meningkatkan kemampuan petugas melalui pelatihan maupun pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi (Notoatmodjo, 2007).
2. Keluarga Berencana
Pada umumnya, masalah-masalah yang berkaitan dengan fertilitas dan laju pertumbuhan penduduk disebabkan oleh pola pikir masyarakat yang bersifat kaku. Mereka masih mempunyai pendapatan bahwa anak adalah sumber rezeki, atau banyak anak banyak rezeki. Anak adalah tumpuan di hari tuanya. Mereka tidak menyadari bahwa keterbatasan orang tua merupakan ancaman masa depan bagi si anak (Prasetyawati, 2012).
Selain itu, faktor agama juga sangat menentukan keberhasilan pengendalian penduduk. Pada beberapa daerah yang masyarakatnya menggunakan agama sebagai pandangan hidup, misalnya islam, nasrani, mereka akan menentang program pengendalian penduduk berupa penggunaan alat kontrasepsi. Mereka menganggap bahwa dengan menggunakan alat kontrasepsi, berarti membunuh anak yang telah dianugerahkan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Keadaan-keadaan ini merupakan tantangan bagi pelaksana program Keluarga Berencana (Simatupang, 2008).

3. Gizi
Jika kita berbicara tentang gizi, maka yang terpikir oleh kita adalah semua makanan yang kita makan. Ditinjau dari aspek sosial budaya, Koentjaraningrat menyebutkan bahwa makanan yang kita makan dapat dibedakan menjadi dua konsep, yaitu nutrimen dan makanan. Nutrimen adalah suatu konsep biokimia yang berarti zat-zat dalam makanan yang menyebabkan bahwa individu yang memakannya dapat hidup dan berada dalam kondisi kesehatan yang baik. Makanan dikatakan sebagai suatu konsep kebudayaan, yaitu merupakan bahan-bahan yang telah diterima dan diolah secara budaya untuk dimakan, sesudah melalui proses penyiapan dan penyuguhan yang juga secara budaya, agar dapat hidup dan berada dalam kondisi kesehatan yang baik  (Simatupang, 2008).
Kesukaan makan seseorang sangat dipengaruhi oleh kebiasaan makannya sejak kanak-kanak. Keluarga dalam hal ini sangat menentukan kesukaan anak terhadap makanan tertentu. Makanan sebagai salah satu aspek kebudayaan sering ditentukan oleh keadaan lingkungan, misalnya wilayah yang sebagian besar memiliki pohon kelapa, maka jenis makanan yang dimakan banyak yang menggunakan santan atau kelapa, sedangkan wilayah yang sebagian besar terdiri dari perkebunan, jenis dan komposisi makanan banyak yang terbuat dari sayur-sayuran atau dikenal dengan lalapan. (Prasetyawati, 2012).
Rasa makanan yang disukai oleh suatu masyarakat umumnya bervariasi. Ada sekelompok masyarakat yang menyukai makanan yang rasanya pedas, manis, asin, dan sebagainya. Kelompok masyarakat yang menyukai makanan yang rasanya manis dapat ditemukan di daerah-daerah di Pulau Jawa, sedangkan makanan yang rasanya pedas dapat ditemukan di daerah-daerah Sumatera dan Sulawesi. Sehingga sering kali masyarakat tertentu yang datang ke suatu wilayah yang berbeda dengan jenis makanan yang biasa ia makan, ia perlu mengadakan penyesuaian terhadap makanan tersebut. Perlu diperhatikan bahwa tidak mudah bagi seseorang untuk mengganti makanan yang biasa ia makan dengan jenis makanan yang baru ia kenal (Cayani, 2012).
Distribusi makanan dalam keluarga tidaklah sama dengan keluarga lain. Ada aturan-aturan tertentu yang harus dipenuhi oleh anggota keluarga. Seorang ayah yang dianggap sebagai pencari nafkah keluarga, harus diberikan makanan yang ‘lebih’ dibandingkan dengan anggota keluarga lainnya. Kata lebih yang dimaksud meliputi kualitas, kuantitas, dan frekuensi makan. Ibu hamil tidak bisa makan dengan sebebasnya, tapi mempunyai keterbatasan tertentu, ada makanan-makanan tertentu yang tidak boleh dimakan oleh ibu hamil. Tamu dianggap sebagai raja, sehingga diberikan makanan yang tidak biasanya. Anak mempunyai makanan khusus seperti bubur nasi dan sebagainya. Sedangkan pembantu rumah tangga bisasnya diberikan makanan yang rendah kualitasnya (Notoatmodjo, 2007).
Masalah kekurangan gizi bukan saja disebabkan oleh faktor sosial-ekonomi masyarakat, namun berkaitan pula dengan faktor sosial-budaya masyarakat setempat. Seperti misalnya persepsi masyarakat terhadap pemenuhan kebutuhan masih belum sesuai. Menurut mereka, yang disebut dengan makan adalah makan sampai kenyang, tanpa memperhatikan jenis, komposisi, dan mutu makanan, pendistribusian makanan dalam keluarga tidak berdasarkan debutuhan untuk pertumbuhan dan perkembangan anggota keluarga, namun berdasarkan pantangan-pantangan yang harus diikuti oleh kelompok khusus, misalnya ibu hamil, bayi, balita, dan sebagianya (Maryunani, 2011)
Di samping hal tersebut, pengetahuan keluarga khususnya ibu memegang peranan yang cukup penting dalam pemenuhan gizi keluarga. Kurangnya pengetahuan ibu tentang makanan yang mengandung nilai gizi tinggi, cara pengolahan, cara penyajian makanan, dan variasi makanan yang dapat menimbulkan selera makan anggota keluarganya, sangat berpengaruh dalam status gizi keluarga. Oleh karena itu, ibu lah sasaran utama dalam usaha-usaha perbaikan gizi keluarga (Prasetyawati, 2012).
Masalah kelebihan gizi, umumnya diderita oleh sekelomppok masyarakat yang mempunyai kemampuan ekonomi yang cukup, disamping faktor pola makan terhadap jenis makanan tertentu, juga ditentukan oleh faktor herediter (Simatupang, 2008)
Dalam kaitannya dalam kesehatan ibu dan anak serta kesehatan masyarakat, masalah gizi mempunyai pengaruh terhadap timbulnya penyakit-penyakit, misalnya anemia, pre-eklampsia, diabetes melitus, perdarahan, infeksi, dan sebagianya (Notoatmodjo, 2007).
Pengaruh sosial budaya terhadap kesehatan masyarakat. Tantangan berat yang masih dirasakan dalam pembangunan kesehatan di Indonesia adalahsebagai berikut.:
1.    Jumlah penduduk yang besar dengan pertumbuhan yang cukup tinggi sertapenyebaran penduduk yang tidak merata di seluruh wilayah.
2.    Tingkat pengetahuan masyarakat yang belum memadai terutama pada golonganwanita
3.    Kebiasaan negatif yang berlaku di masyarakat, adat istiadat, dan perilaku yang kurangmenunjang dalam bidang kesehatan
4.    Kurangnya peran serta masyarakat dalam pembangunan bidang kesehatan
Aspek sosial budaya yang berhubungan dengan kesehatan antara lain adalah faktor kemiskinan, masalah kependudukan, masalah lingkungan hidup, pelacuran dan homoseksual (Prasetyawati, 2012).
 Kemiskinan membahayakan kesehatan, baik secara fisik dan mental. Penyakit umumyang sering terjadi berkaitan dengan faktor kemiskinan adalah kekurang vitamin,penyakit cacing, gusi berdarah, beri-beri, penyakit mata, Kurang Kalori Protein(KKP), busung lapar, dan lain-lain (Notoatmodjo, 2007).
Miskin adalah mereka yang tidak mendapatkan makanan yang cukup sehat dan akancukup kandungan gizinya.Fakta saat ini derajat kesehatan penduduk miskin masih rendah, hal ini ditandai dengan
a.    Kematian penduduk miskin tiga kali lebih tinggi daripada penduduk yangtidak miskin
b.    Pengetahuan masyarakat tentang kesehatan dan pendidikan belummendukung.
c.    Perilaku hidup bersih di masyarakat belum membudaya.
d.    Angka kematian bayi (AKB), angka kematian anak, serta angka kematian ibu(AKA/AKI) pada penduduk miskin jauh lebih tinggi dari yang tidak miskin (Notoatmodjo,2007).






BAB IV
PENUTUP

A.   Kesimpulan
1.    Pada Hakikatnya budaya sosial terjadi akibat oleh adanya perbedaan yang mencolok antara nilai dalam masyarakat dengan realita yang berbeda. Yang akhirnya berdampak dalam kehidupan.
2.    Aspek budaya yang dapat mempengaruhi kesehatan seseorang antara lain adalah
a.    Tradisi
b.    Sikap fatalism
c.    Nilai
d.    Ethnocentrisme
e.    Unsur budaya dipelajari pada tingkat awal dalam proses sosialisasi
3.    Masalah-masalah kesehatan yang berkaitan dengan sosial budaya
a.    Keluarga Berencana
Pada umumnya, masalah-masalah yang berkaitan dengan fertilitas dan laju pertumbuhan penduduk disebabkan oleh pola pikir masyarakat yang bersifat kaku.
b.    Gizi
  Makanan yang kita makan dapat dibedakan menjadi dua konsep, yaitu nutrimen dan makanan. Nutrimen adalah suatu konsep biokimia yang berarti zat-zat dalam makanan yang menyebabkan bahwa individu yang memakannya dapat hidup dan berada dalam kondisi kesehatan yang baik. Makanan dikatakan sebagai suatu konsep kebudayaan, yaitu merupakan bahan-bahan yang telah diterima dan diolah secara budaya untuk dimakan, sesudah melalui proses penyiapan dan penyuguhan yang juga secara budaya, agar dapat hidup dan berada dalam kondisi kesehatan yang baik
4.    Aspek Sosial Budaya yang Mempengaruhi Perilaku Kesehatan dan Status Kesehatan adalah kemiskinan, masalah kependudukan, masalah lingkungan hidup, pelacuran dan homoseksual.
5.    Peranan Sosial Budaya dalam Kesehatan Masyarakat
Sosial budaya masyarakat yang merupakan hasil budi dan akal manusia yang dilandasi oleh pengalaman, sehingga budaya masyarakat bila dikaitkan dengan kesehatan, ada yang merugikan kesehatan dan ada pula yang menguntungkan kesehatan. Yang menguntungkan dan dapat dimanfaatkan dalam pembangunan kesehatan, yaitu semangat gotog royong dan kekeluargaan, serta sikap musyawarah dalam mengambil keputusan.
Pembangunan dalam suatu negara selain berdampak positif juga menimbulkan hal-hal negatif seperti timbulnya daerah kumuh (slum area) di perkotaan akibat pesatnya urbanisasi, polusi karena pesatnya perkembangan industri, banyak ibu-ibu karier yang tidak dapat mengasuh dan memberikan ASI secara optimal kepada anaknya, masalah kesehatan jiwa yang menonjol dan penyalahgunaan obat. Perkembangan penduduk dan pembangunan akan menghasilkan berbagai macam sampah yang dapat mengganggu kesehatan.
B.   Saran
1.    Sebagai petugas kesehatan perlu mengetahui pengetahuan masyarakat tentang kesehatan. Dengan  mengetahui pengetahuan masyarakat, maka petugas kesehatan akan mengetahui mana yang perlu ditingkatkan, diubah dan pengetahuan mana yang perlu dilestarikan dalam memperbaiki status kesehatan.
2.    Perlu mempelajari bahasa lokal agar lebih mudah berkomunikasi, menambah rasa kedekatan, rasa kepemilikan bersama dan rasa persaudaraan.
 
 DAFTAR PUSTAKA

Alamsyah, 2011. Manajemen Pelayanan Kesehatan. Nuha Medika. Yogyakarta.

Arisman, 2009. Gizi Dalam Daur Kehidupan.Penerbit Buku Kedokteran ECG: Jakarta.

Cahyani. 2012.Sosial Budaya Kesehatan. Http:social/co/id. Diakses tanggal 1 November 2013.

Koentjaraningrat, 2002, Pengantar Anthropologi.Nuha Medika.Yogyakarta.

Maryunani,A. 2011. Ilmu Kesehatan Anak Dalam Kebidanan. Penerbit Trans Info, Jakarta.

Notoatmodjo, 2007. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Karya Medika. Jakarta.

Simatupang, 2008. Manajemen Pelayanan Kebidanan. Penerbit Buku Kedokteran












 

1 komentar:

  1. Alhamdulillah nemukan artikel ini.. sangat memabntu penyelesaian tugas saya. Terimakasih penulis. salam kenal erna

    BalasHapus