Translate

Rabu, 15 Oktober 2014

Jurnal : Pengaruh Pemberian Kapsul Konsentrat Ikan Gabus pada Pasien Pasca Bedah di RSU.DR.Wahidin Sidurohusodo Makassar



PENGARUH PEMBERIAN KAPSUL KONSENTRAT IKAN GABUS PADA PASIEN PASCABEDAH DI RSU. DR. WAHIDIN SIDUROHUSODO MAKASSAR

Effect of fish albumin concentrate on post operative patient
 in Wahidin General Hospital, Makassar

Nurpudji A. Taslim1, , Healthy Hidayanty 2, Nurhaedar Jafar3
1Konsentrasi Gizi Program Studi Kesmas Program Pascasarjana, Universitas Hasanuddin, 2Bagian Gizi, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, 3Bagian Gizi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin

ABSTRACT

            Albumin serum is one of important parameter in order to measure nutritional status to the patients with acute and chronic disease. Snakeheads fish contents higher albumin serum then other fish. It is used to increasing endurance, in wound healing process and other body metabolism. This research aimed to find out the influence of giving capsule of snakehead fish to the level of albumin, nutritional status, nutritions intake, and wound healing process to post operative patients in Wahidin Sudirohusodo Public Hospital of Makassar. 
            This research used quasi experimental design in the form of non randomized control group pre-post test design. The sample constituted post operative patients with opened wound. They consisted of intervention group which was given capsule and TKTP diit, and control group which was only given TKTP diit. Each group consisted of thirteen patients. Before intervention, the level of albumin, nutritional status (LILA), nutritions intake were measured. After ten days, the level of albumin, nutritional status (LILA), nutritions intake and healing process were measured. The data were then analyzed using paired t-test and independent t-test.
            The results show that there was a significant difference in intervention group for albumin serum, energy intake, protein intake, fat intake, carbohydrate intake, and zinc intake (p < 0,05), whereas the increase of vitamin C intake and LILA were not significant (p > 0,05). Consumption concentrate capsule of snakehead fish as long as ten days can increase albumin serum rate 0,7 g/dl, intake energy, protein, lipid, carbohidrat and zinc are 653,8 kal, 25,2 g, 22,8 g, 89,5 g, and 2,7 mg respectively. In control group, both in albumin serum and in nutrient intake indicate significant result (p < 0,05). Based on wound healing process, it was faster four days in intervention group compared in control group.

Key Words : Snakeheads fish, post operative, albumin and nutritional status

ABSTRAK
Serum Albumin merupakan salah satu parameter penting dalam mengukur status gizi pada pasien-pasien dengan penyakit akut maupun kronik. Salah satu sumber makanan yang kaya akan albumin adalah ikan gabus. Ikan gabus mengandung albumin yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis ikan lain yang diperlukan oleh tubuh yang berfungsi meningkatkan daya tahan tubuh, mempercepat penyembuhan luka dan membantu proses metabolisme tubuh lainnya.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian kapsul konsentrat ikan gabus terhadap kadar albumun, status gizi, asupan zat gizi dan proses penyembuhan luka pasien pasca bedah di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo Makassar.
Desain penelitian yang digunakan adalah Quasi Eksperimental dalam bentuk Non Randomized Control Group pre-post test design. Sampel dalam penelitian ini adalah pasien-pasien pasca bedah dengan luka terbuka. Sampel terdiri atas kelompok intervensi yang mendapat kapsul dan diit TKTP dan kelompok kontrol yang hanya mendapat Diit TKTP, masing-masing berjumlah 13 orang. Sebelum intervensi dilakukan pengukuran kadar albumin, asupan zat gizi dan status gizi (LILA). Setelah 10 hari dilakukan  pengukuran albumin, asupan zat gizi, status gizi (LILA), dan pengukuran proses penyembuhan. Data dianalisis dengan menggunakan uji paired t-test dan independent t-test.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kelompok intervensi terjadi perbedaan bermakna untuk serum albumin, asupan energi, asupan protein , asupan lemak, asupan karbohidrat, dan asupan zinc (p < 0,05), sedangkan asupan vitamin C dan LILA terjadi peningkatan yang tidak bermakna (p > 0,05). Pemberian kapsul ikan gabus selama 10 hari dapat meningkatkan kadar albumin sebesar  0,7 g/dl, asupan energi, protein, lemak, karbohidrat dan zinc masing-masing sebesar 653,8 kal, 25,2 g, 22,8 g, 89,5 g, dan 2,7 mg. Pada kelompok kontrol baik pada serum albumin maupun asupan zat gizi menunjukkan hasil yang tidak bermakna (p > 0,05), tetapi LILA menunjukan hasil yang bermakna (p < 0,05). Berdasarkan proses Penyembuhan luka, terjadi kecepatan penyembuhan 4 hari lebih cepat pada kelompok intervensi dibandingkan dengan kelompok kontrol.
           
Kata Kunci : Ikan gabus, pasca bedah, albumin, status gizi

PENDAHULUAN

Serum Albumin merupakan salah satu parameter penting yang digunakan untuk mengukur status gizi pada pasien-pasien dengan penyakit akut maupun kronik. Protein ini mempunyai efek stabilitas terhadap endotelium dan membantu menjaga permeabilitas kapiler pada makromolekul. Konsentrasi serum albumin normal pada orang dewasa sehat sekitar 35 sampai 50 g/l. Angka ini akan berkurang pada keadaan hypoalbuminemia pada pasien-pasien dengan penyakit serius. Herrmann dkk menemukan sebanyak 21% pasien yang dirawat di rumah sakit mempunyai konsentrasi serum albumin kurang dari 34 g/l1. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa setiap penurunan konsentrasi serum albumin 10 g/l secara signifikan akan meningkatkan odds rasio (OR) terhadap kematian, kesakitan, lama rawat di ICU dan lama rawat inap di rumah sakit masing-masing sebesar 1.37, 0.89, 0.28 dan 0.71.
Terdapat hubungan yang signifikan antara hypoalbuminemia dengan peningkatan resiko komplikasi infeksi, lamanya rawat inap di rumah sakit, maupun kematian baik pada pasien medis maupun pasien bedah.  Pasien-pasien dengan kadar albumin serum yang lebih rendah memiliki resiko 2,5 kali lebih tinggi terhadap kejadian infeksi dan mortalitas serta 8 kali lebih tinggi terhadap lama rawat ICU dan lama rawat inap di rumah Sakit2.
                  Hipoalbuminemia dapat menggambarkan hubungan yang signifikan dengan peningkatan morbiditas pada pasien di rumah sakit. Level albumin bervariasi pada berbagai komplikasi infeksi (sepsis, pneumonia, infeksi luka). Serum albumin juga efektif sebagai faktor akut pada trauma dan stres pembedahan, hal ini diperkirakan sebagai akibat operasi yang dapat menyebabkan komplikasi dan malnutrisi3.
Asupan zat gizi yang adekuat bagi pasien yang dirawat inap sangat diperlukan dalam upaya mencegah penurunan status gizi yang terjadi selama masa perawatan. Malnutrisi berat mempengaruhi morbiditas karena terganggunya penyembuhan luka dan menurunnya daya tahan tubuh terhadap infeksi4. Pada malnutrisi ringan protein dan kalori tidak banyak mempengaruhi hasil operasi. Pada penderita bedah terdapat beberapa faktor yang menyebabkan malnutrisi, yaitu kurangnya asupan makanan dan proses radang yang mengakibatkan katabolisme meningkat dan anabolisme menurun. Keadaan ini dapat langsung tampak pada penurunan kadar serum albumin dan hipotrofi otot.
            Studley, 1936 mendapatkan morbilitas yang meningkat pada pasien malnutrisi pra bedah. Terjadi peningkatan 2,5 kali lebih besar angka komplikasi pada penderita yang mengalami gangguan intake 10 hari dengan serum albumin kurang dari 3,2 gram% dan berat badan menurun lebih dari 10 kg. Arnold Umar mendapatkan 15% penderita bedah digestif mengalami kekurangan gizi dan B. Phillipi pada tahun 1986 mendapatkan penderita bedah digestif pra bedah mayor 35,1% gizi kurang dan 10,8% gizi buruk ditinjau dari nilai albumin serum5.
            Suatu penelitian dengan subjek penderita fraktur femur yang membandingkan kadar albumin penderita dengan malnutrisi dan status gizi baik, menemukan adanya penurunan kadar albumin yang sama pada hari-hari pertama. Pasien dengan status gizi baik mengalami perbaikan albumin setelah 10 hari sedangkan penderita malnutrisi berat mengalami keterlambatan perbaikan. Pemberian nutrisi tambahan melalui pipa nasogatrik pada kelompok malnutrisi berat dapat mempercepat pemulihan kadar albumin. Temuan ini membuktikan adanya hubungan antara nutrien dengan albumin plasma. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa pemeriksaan albumin sewaktu tidak dapat digunakan sebagai pertanda status gizi, tetapi pemeriksaan albumin secara serial dapat menggambarkan status gizi penderita6.
Peningkatan serum albumin selama ini dilakukan salah satunya berupa pemberian makanan yang mengandung kadar albumin yang tinggi yaitu pemberian telur (putih telur). Dengan mengkonsumsi telur maka pasien yang rendah albuminnya akan mengalami peningkatan, namun terjadi pula peningkatan kadar kolesterol yang mengganggu proses metabolisme tubuh7. Selain itu, untuk mengatasi hipoalbuminemia, pasien diberikan preparat albumin sebanyak 4 ampul dengan harga satuan sekitar Rp 1.500.000. Bagi pasien dengan penghasilan rendah, tentu harga ini sangat mahal, oleh karena itu perlu dicari alternatif lain sebagai sumber protein albumin.
Ikan gabus diketahui mengandung senyawa-senyawa penting bagi tubuh manusia diantaranya protein yang cukup tinggi, lemak, air dan mineral. Mineral zink (Zn) merupakan zat gizi mikro yang sangat penting diperlukan oleh tubuh yang berfungsi meningkatkan daya tahan tubuh, mempercepat penyembuhan luka dan membantu proses metabolisme tubuh lainnya.
            Kandungan protein pada ikan gabus yaitu 25,2 gram relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan beberapa jenis ikan lainnya, misalnya ikan bandeng 20 gram, kembung 22 gram, dan ikan teri 16 gram. Protein ikan mempunyai daya cerna 95%7.
Albumin dari ikan gabus tersebut dapat menggantikan albumin telur yang selama ini dipergunakan, yang berasal dari putih telur. Hasil penelitian sebelumnya diketahui bahwa dengan pemberian konsumsi ikan gabus masak beserta fitrat hasil rebusannya ternyata mampu meningkatkan kadar albumin darah dan pengurangan luas permukaan luka pada pasien7.
Penelitian yang dilakukan oleh Prof. Dr. Ir. Eddy Suprayitno, MS menyimpulkan bahwa pemberian ekstrak dari 2 kilogram ikan gabus per hari pada sejumlah pasien yang memiliki kadar albumin rendah (1,8 g/dl), dapat meningkatkan kadar albumin di darah pasien menjadi normal, yakni 3,5-5,5 g/dl, dan luka operasi sembuh tanpa efek samping, setelah diberikan selama delapan hari 8.
Hasil Penelitian Taslim, dkk 2005  menunjukkan bahwa pemberian ikan gabus sebanyak 100 ml setiap hari selama 10 hari telah dapat meningkatkan kadar albumin dan protein total pasien.  Hal ini tampaknya diikuti oleh peningkatan status gizi dan konsumsi pada kelompok intervensi.  Rata-rata besar peningkatan kadar albumin yang terlihat dalam penelitian ini sebesar 0.6 g/dl dibandingkan dengan kelompok kontrol. 
Besar peningkatan yang terlihat dalam penelitian ini lebih rendah dari besar yang pernah dilaporkan dari pemberian suplemen secara parenteral (0,8 sampai 1g).  Namun, dilihat dari segi biaya yang dikeluarkan, maka dengan besar peningkatan seperti ini, penggunaan ikan gabus jauh lebih cost efektif dibanding produk parenteral.  Harga ikan gabus untuk setiap kali pemberian ditaksir sebesar Rp 15.000 setiap kali pemberian sehingga total selama 10 hari hanyalah Rp150.000. 
            Penggunaan putih telur dan preparat albumin untuk meningkatkan kadar albumin disamping kurang efisien, juga membutuhkan biaya yang cukup tinggi dibandingkan dengan albumin yang berasal dari ikan. Penggunaan albumer hanya dapat diberikan kepada pasien yang mampu, karena harganya relatif mahal.

BAHAN DAN METODE
Lokasi Penelitian
Rumah Sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo (RSWS) sebagai rumah  sakit Badan Layanan Umum (BLU) milik Departemen Kesehatan, mempunyai fasilitas dan kemampuan menyelenggarakan hampir semua jenis pelayanan kedokteran baik  spesialis maupun  subspesialis, sehingga layak menjadi pusat layanan rujukan di kawasan Timur Indonesia. Luas lahan  RSWS adalah 8,4 HA serta  luas bangunan 39.246 m2.  Kapasitas tempat tidur berjumlah 610 buah terdiri dari kelas utama 43 buah  ( 7,05%), kelas I  66 buah ( 10,82%),  Kelas II  179 buah ( 29,34%), dan kelas III  272 buah ( 44,59%),  serta 50 tempat tidur dialokasikan di pelayanan lainnya seperti Intensif 20 buah, Intermediate 21 buah,  dan kamar isolasi sebanyak 9 buah tempat tidur.
            BLU Rumah Sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo mengembangkan pelayanan unggulan, pendidikan dan penelitian bidang kegawatdaruratan, urologi, jantung, lipid dan endokrin beserta pelayanan penunjang lainnya.
            BLU Rumah Sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo terdiri atas sarana dan prasarana penunjang pelayanan seperti sarana yang terdiri atas Kantor, Instalasi Rawat Jalan, Instalasi Rawat Inap, Cardiac Centre, Perawatan Intensive, Hemodialisis, Endescopy dan Bedah Pusat, Rehabilitasi Medik, Tindakan Khusus, Laboratorium, Farmasi, Utility, Dapur dan Laundry, Wisma, Kamar Jenazah, Taman dan Selasar, Halaman dan Fasilitas Tempat Tidur. Prasarana yang terdiri atas Pembangkit Listrik, Sarana Air Bersih (SAB), Tabung Oksigen, Air Condencer dan Reservoir, Pengolahan Limbah, Sistem Keamanan, Sistem Pemadam Kebakaran, Jalan dan Tempat Parkir, Transportasi dan alat komunikasi.

Desain dan Variabel Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian uji klinik, yaitu penelitian eksperimental semu (Quasi Eksperimental) dalam bentuk Non Randomized Control Group pre-post test design. Dengan memberikan perlakukan atau intervensi pada subjek penelitian kemudian efek perlakuan diukur dan dianalisis. Subjek penelitian dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok intervensi mendapat diit TKTP dan kapsul konsentrat ikan gabus, kelompok kontrol hanya mendapat diit TKTP. Pre test dengan penentuan status gizi secara antropometri (LILA), pengukuran kadar albumin dan asupan makanan dengan menggunakan recall 24 jam. Setelah masa perlakuan selesai (10 hari) dilakukan post-test dengan penentuan status gizi (LILA), pengukuran albumin, asupan makanan dan proses penyembuhan.
Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien pasca bedah yang dirawat di RSU. Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar. Sampel terdiri atas kelompok intervensi dan kelompok kontrol yang masing-masing berjumlah 13 orang pasien. Semua sampel dalam penelitian ini adalah pasien-pasien pasca bedah yang dirawat pada bangsal bedah akibat kecelakaan lalu lintas dan diambil berdasarkan kriteria inklusi yaitu umur   18 tahun, pasien mengalami luka , tidak ada gangguan ginjal (proteinuria) dan bersedia ikut dalam penelitian. Kriteria eksklusi yaitu pasien mengalami luka dengan komplikasi diebetes melitus, menolak mengkonsumsi kapsul ikan gabus, keluar dari rumah sakit sebelum intervensi dilakukan, dan  tidak mau menjadi sampel penelitian.

Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dua tahap, tahap pertama dilakukan screening untuk menemukan pasien intervensi dan pasien kontrol. Setelah itu ditentukan sampel yang memenuhi kriteria sesuai dengan hasil perhitungan. Setelah terpilih kelompok intervensi dan kontrol dilanjutkan dengan pengumpulan data tahap kedua. Data yang dikumpulkan meliputi data dari semua variabel yang diangkat dalam penelitian berupa karakteristik pasien dengan menggunakan kuesioner, data antropometri (lingkar lengan atas) diukur dengan menggunakan pita pengukur LILA, data asupan makanan dengan menggunakan formulir food recall 24 jam dan proses penyembuhan luka yang dipantau setiap hari pada saat dilakukan pembersihan luka oleh perawat.  Pengumpulan data ini dilakukan oleh peneliti dibantu oleh enumerator dengan latar belakang S1 Gizi yang telah dilatih sebelumnya.

Analisis Data

Data diolah dengan menggunakan perangkat lunak (software) program SPSS for windows 11.0, dan program W-food, dengan menggunakan beberapa uji statistik. Untuk melihat perubahan kadar albumin, LILA, asupan zat gizi sebelum dan sesudah intervensi dianalisis dengan uji paired t-test. Sedangkan untuk menganalisis perbedaan  kadar albumin, LILA, asupan zat gizi dan proses penyembuhan antara kelompok kasus dan kelompok kontrol  digunakan unpaired t-test. Batas kemaknaan yang digunakan pada penelitian ini adalah a = 0,05




HASIL PENELITIAN
Karakteristik subjek penelitian
Data yang diperoleh dari sampel yaitu data primer dan data sekunder dengan beberapa karakteristik umur, jenis kelamin, suku, agama, status perkawinan pendidikan terakhir, dan pekerjaan. Berdasarkan karakteristik umur pada kelompok intervensi kelompok umur  20-29 tahun adalah kelompok umur terbanyak sedangkan pada kelompok kontrol, 30-39 tahun merupakan kelompok umur terbanyak. Baik pada kelompok intervensi maupun kelompok kontrol, pasien terbanyak adalah laki-laki, bersuku bugis dan berstatus kawin. Pada kelompok intervensi sarjana dan SMU adalah pendidikan terakhir terbanyak sedangkan pada kelompok kontrol adalah SMU. Swasata merupakan jenis pekerjaan yang paling banyak dilakukan oleh pasien baik pada kelompok intervensi maupun kelompok kontrol. (tabel 1).
Tabel 1. Karakteristik subjek penelitian
Karakteristik
Intervensi n = 13
Kontrol n = 13
n
%
n
%
Umur
   20 – 29
   30 – 39
   40 – 49
   ≥ 50

5
3
4
1

38.5
23.1
30.8
7.7

4
6
3
0

30.8
46.2
23.1
0.0
Jenis Kelamin
   Laki-laki
   Perempuan

13
0

100
0.0

10
3

76.9
23.1
Suku
   Bugis
   Makassar
   Mandar
   Lain-lain

6
5
1
1

46.2
38.5
7.7
7.7

6
4
0
3

46.2
30.8
0.0
23.1
Status Perkawinan
   Kawin
   Belum Kawin

10
3

76.9
23.1

8
5

61.5
38.5
Pendidikan Terakhir
   Sajana
   Diploma
   SMU
   SMP
   SD

4
0
4
3
2

30.8
0.0
30.8
23.1
15.4

1
2
5
2
3

7.7
15.4
38.5
15.4
23.1
Pekerjaan
   PNS
   Swasta
   Petani
   Buruh
   Honorer
   Tidak Kerja

2
4
2
3
1
1

15.4
30.8
15.4
23.1
7.7
7.7

0
7
0
1
2
3

0.0
53.8
0.0
7.7
15.4
23.1
        Sumber : Data Primer
Kadar Albumin dan Status Gizi (LILA)
Setelah 10 hari dilakukan intervensi, pengumpulan data kembali dilakukan pada seluruh pasien baik kelompok intervensi maupun kelompok kontrol. Tabel di atas memperlihatkan perubahan kadar albumin darah tidak diikuti dengan perubahan status gizi (LILA). Tampak peningkatan yang signifikan kadar albumin antara sebelum dan sesudah intervensi pada kelompok intervensi, tetapi tidak bermakna pada peningkatan LILA. Sedangkan pada kelompok kontrol terjadi penurunan kadar albumin yang tidak bermakna antara sebelum dan setelah intervensi, dan terjadi penurunan yang bermakna pada LILA (tabel 2).
Asupan Zat Gizi
Tabel 3 menunjukkan hasil intervensi untuk beberapa zat gizi makro dan mikro yang dikonsumsi oleh pasien baik kelompok intervensi maupun kelompok kontrol. Pada kelompok intervensi, tampak terlihat perubahan yang bermakna antara sebelum dan sesudah intervensi pada konsumsi energi, protein, lemak, karbohidrat dan zinc, tetapi tidak bermakna pada konsumsi vitamin C. Sedangkan pada konsumsi zat gizi yang sama, tidak terlihat perubahan yang bermakna pada kelompok kontrol (p > 0,05).



Tabel 2 Hasil peningkatan Kadar albumin dan status gizi setelah intervensi

I (pre)
II (post)
II – I
P
Albumin




  Intervensi (13)
2,7 ± 0,2054
3,4 ± 0,3470
0,7 ± 0.0363
0,000
  Kontrol (13)
3,6 ± 0,4666
3,6 ± 0,6132
- 0,1 ± 0,8220
0,693
LILa




  Intervensi (13)
21,7 ± 2,9483
21,8 ± 3,4558
0,04 ± 1.3301
0,919
  Kontrol (13)
24,5 ± 3,8297
24,1 ± 3,8087
- 0,4 ± 0,3625
0,002
Sumber : Data Primer

Tabel 3 Hasil peningkatan  asupan zat gizi setelah intervensi

I (pre)
II (post)
II – I
P
Energi




  Intervensi (13)
1096,9 ± 497,3232
1750,7 ± 641,1437
653,8 ± 465.0215
0,000
  Kontrol (13)
1286,1 ± 607,5516
1390,0 ± 535,0322
103,9 ±  382.9738
0,347
Protein




  Intervensi (13)
41,6 ± 20,5987
66,7 ± 30,0234
25,2 ± 22.4389
0,002
  Kontrol (13)
46,9 ± 24,0981
51,5 ± 19,9991
4,5 ±  17.1939
0,362
Lemak




  Intervensi (13)
30,4 ± 19,9652
53,2 ± 27,6473
22,8 ± 23.8386
0,005
  Kontrol (13)
30,8 ± 17,7693
39,9 ± 21,5199
9,1 ± 19.4430
0,116
Karbohidrat




  Intervensi (13)
165,4 ± 68,5746
254,9 ± 91,3779
89,5 ± 84.4799
0,002
  Kontrol (13)
202,8 ± 94,2577
205,1 ± 77,8166
2,2 ± 52.7414
0,881
Zinc




  Intervensi (13)
4,7 ± 2,4191
7,3 ± 3,3445
2,7 ± 2.5765
0,003
  Kontrol (13)
5,0 ± 2,0890
5,8 ± 2,1684
0,8 ± 2.2555
0,224
Vitamin C




  Intervensi (13)
30,8 ± 31,4064
34,4 ± 31,1677
3,6 ± 41.4301
0,759
  Kontrol (13)
15,0 ± 13,0512
20,8 ± 18,5299
5,8 ± 13.9113
0,161
Sumbert : Data Primer

Proses Penyembuhan Luka
Proses penyembuhan luka dilihat berdasarkan ada tidaknya tanda-tanda infeksi (pus, jaringan nekrotik) selama 10 hari intervensi baik pada kelompok intervensi maupun kelompok kontrol. Tabel 4 menunjukkan bahwa pada kelompok intervensi terdapat lebih banyak pasien dengan proses penyembuhan yang cepat dibandingkan dengan kelompok kontrol. Cepatnya proses penyembuhan luka pada pasien intervensi memperpendek pula lama rawat inap di rumah sakit 4 hari dibandingkan kelompok kontrol (tabel 5)

Tabel. 4 Proses Penyembuhan Luka
Penyembuhan Luka
Intervensi
Kontrol
n
%
n
%
Cepat
8
61,5
4
30,8
Lambat
5
31,5
9
69,2
Jumlah
13
100,0
13
100,0
     Sumber : Data Primer


Tabel 5  Analisis perbedaan Lama Rawat Inap

n
Mean ± SD
P
Lama Rawat Inap



- Intervensi
13
30,08 ± 19,037
0,604
- Kontrol
13
33,77 ± 16,724
     Sumber : Data Primer


PEMBAHASAN

Kadar Albumin
Perubahan kadar albumin sering dipakai sebagai perubahan biokimia yang berhubungan dengan status gizi walaupun tidak terlalu sensitive. Pada penderita malnutrisi sering ditemukan kadar albumin yang rendah, tetapi tidak jarang albumin serum masih dalam batas normal9.
Pada penelitian ini terlihat bahwa kadar albumin antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol tidak berbeda secara bermakna berdasarkan uji t-independen dimana p > 0,05.  Kadar albumin pada kelompok intervensi mengalami kenaikan bermakna dibandingkan dengan kadar albumin kelompok kontrol yang mengalami penurunan.
Perubahan kadar albumin serum yang bermakna klinis berupa penurunan kadar albumin (hipoalbuminemia). Perubahan ini dapat disebabkan oleh sintesis yang kurang (disfungsi hati, diit yang kurang), perluasan kompartmen sebaran (kebocoran kapiler, sepsis, atau renjatan), “kehilangan”ke ruang ketiga respons fase akut dan kehamilan. Pengaruh penyebaran (distribusi) lebih besar daripada sintesis, dan bila seseorang tidak makan maka kadar albumin baru akan menurun sampai di bawah batas normal setelah seminggu10.
Albumin serum yang rendah merupakan pertanda yang tidak spesifik dari penyakit. Rendahnya kadar albumin serum menunjukkan suatu kemunduran dan peningkatannya menunjukkan suatu perbaikan. Kadar yang sangat rendah dari albumin terlihar dengan kurangnya pengeluaran. Albumin serum akan menurun bila menjadi sakit, dan kembali normal pada saat pasien membaik kondisinya11.
Peningkatan kadar albumin dapat dihubungkan adanya perbaikan system imunitas, perbaikan jaringan/sel yang rusak akibat infeksi. Albumin akan mensuplai asam amino untuk sintesis protein aktif cytokine seperti C-reaktive protein, protein phase akut, dan lain-lain, yang dibutuhkan pada pembentukan makrofa pada system pagositosis serta pembentukan antibody12.  
Hasil penelitian dengan menggunakan paired t-test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna kadar albumin pasien sebelum dan sesudah intervensi pada kelompok intervensi. Rata-rata kadar albumin pasien sebelum intervensi adalah sebesar 2,7 gr/dl dan setelah intervensi meningkat menjadi 3,4 g/dl, dibandingkan dengan kelompok kontrol yang mengalami penurunan secara tidak bermakna sebesar 0,092. Penelitian ini memperlihatkan bahwa pemberian kapsul konsentrat ikan gabus selama 10 hari dapat meningkatkan kadar albumin darah pasien secara bermakna sebesar 0,7 g/dl.
Hasil penelitian ini sama dengan hasil yang pernah dilaporkan dengan pemberian nutrisi dengan cara enteral (0,8 – 1,5 mg/dl). Besar peningkatan albumin pada penelitian ini   lebih besar dari yang dilaporkan oleh Taslim, dkk (2005) yaitu sebesar 0,64 mg/dl13.


Asupan Zat Gizi
Pada penelitian ini terlihat bahwa asupan energi antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol tidak berbeda secara bermakna berdasarkan uji t-independen dimana p > 0,05.  Tingkat asupan energi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol rata-rata mengalami kenaikan  tetapi kenaikan pada kelompok kontrol tidak sebesar kenaikan asupan energi pada kelompok intervensi. Meskipun pada kedua kelompok mengalami kenaikan tetapi sebagian besar masih kurang dibandingkan dengan angka kecukupan gizi yang dianjurkan berdasarkan perhitunganan per individu dengan menggunakan rumus Harris Benedict14.
Jika keadaan pascatrauma berat disertai penyulit sepsis akan terjadi hipermetabolisme dan hiperkatabolisme dengan penggunaaan energi dan nitrogen yang tidak efisien. Dalam keadaan pascatrauma berat,  pasien membutuhkan kalori sebanyak 2000-3000 kalori (Sjamsuhidajat, 1997). Berdasarkan hasil penelitian bahwa rata-rata asupan kalori pada kelompok intervensi adalah 1750,692 ± 641,1437 dan pada kelompok kontrol adalah sebesar 1390,000 ± 535,0322. kebutuhan energi seseorang menurut  FAO/WHO (1985) adalah konsumsi energi yang berasal dari makanan yang diperlukan untuk menutupi pengeluaran energi seseorang bila ia mempunyai ukuran dan komposisi tubuh dengan tingkat aktivitas yang sesuai dengan kesehatan jangka panjang, dan memungkinkan pemeliharaan aktivitas fisik yang dibutuhkan secara sosial dan ekonomi. Kebutuhan energi total orang dewasa diperlukan untuk metaboliosme basal, aktivitas fisik, efek makanan atau pengaruh dinamik khusus, dan kebutuhan energi terbesar pada umumnya diperlukan untuk metabolisme basal15.
Kekurangan energi akan terjadi bila konsumsi energi melalui makanan kurang dari energi yang diperlukan. Tubuh akan mengalami keseimbangan energi negative. Akibatnya, berat badan kurang dari berat badan seharusnya.
Hasil penelitian dengan menggunakan paired t-test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan asupan zat gizi sebelum dan sesudah pemberian kapsul konsentrat ikan gabus selama 10 hari pada kelompok intervensi.  Konsumsi energi rata-rata pasien sebelum diberikan kapsul konsentrat ikan gabus sebesar 1096,9 kal dan setelah diberikan kapsul konsentrat ikan gabus konsumsi energi meningkat menjadi 1750,7 kal, dengan besar peningkatan  653,8 kal. Nilai ini lebih tinggi dari kontrol yang hanya meningkat sebesar 103,9 kal. Ini menunjukkan bahwa konsumsi kapsul konsentrat ikan gabus yang diberikan selama 10 hari yang mengandung 15 gram konsentrat ikan gabus  dapat  meningkatkan asupan energi pasien secara bermakna.
Hasil peningkatan asupan energi ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Taslim, dkk (2005) dimana terjadi peningkatan asupan energi yang bermakna,  tetapi peningkatan energi pada penelitian ini lebih rendah yaitu sebesar  231,69 kal.
Kebutuhan protein didefinisikan sebagai asupan protein yang aman untuk kebutuhan faali, dan memelihara kesehatan hampir semua orang, sesuai dengan golongan umur dan jenis kelamin. Protein merupan zat pembentuk tubuh yang penting di samping air, lemak, vitamin, mineral dan karbohidrat yang terdapat atau ditemukan pada seluruh tubuh, yaitu otot, kulit, rambut, jantung, paru-paru, otak dan organ tubuh lainnya.
Mutu protein ditentukan oleh jenis dan proporsi asam amino yang dikandungnya. Protein kompleks atau protein dengan nilai biologis tinggi atau bermutu tinggi adalah protein yang mengandung semua jenis asam amino esensial dalam proporsi yang sesuai untuk keperluan pertumbuhan.
Dengan menggunakan uji t-Independent tingkat asupan protein antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol tidak berbeda secara bermakna dengan nilai p > 0,05. Konsumsi protein rata-rata pasien sebelum diberikan kapsul konsentrat ikan gabus sebesar 41,6 g dan setelah diberikan kapsul konsentrat ikan gabus selama 10 hari meningkat menjadi 66,7 g, sedangkan pada kelompok kontrol konsumsi rata-rata pasien sebelum intervensi adalah sebesar 46,9 g dan selama 10 hari dengan hanya mengkonsumsi diet TKTP dari rumah sakit pasien juga mengalami peningkatan asupan protein menjadi 51,5 g.
Kebutuhan protein dan kalori pasien hampir pasti menjadi lebih tinggi daripada orang normal ketika terdapat luka yang besar. Asam amino diperlukan untuk sintesis protein struktural seperti kolagen dan untuk melakukan sintesa protein yang berperan di dalam respons immun. Pada stadium awal setelah luka yang besar, berbagai sistem endokrin dan sistem syaraf mengadakan reaksi terhadap cedera yang kemudian memicu proses-proses katabolik yang merusak jaringan tubuhnya sendiri untuk menyediakan bahan-bahan yang diperlukan bagi proses perbaikan yang sifatnya segera. Pasien-pasien dengan luka trauma yang berat, dapat menderita hipertropi otot yang dramatis dan kehilangan berat badan yang cepat, hanya dalam beberapa hari saja. Penggantian protein, kalori, elektrolit dan cairan merupakan komponen pengobatan awal yang sangat vital. Bahkan pada luka terbuka yang kronis, seperti dekubitus, protein dalam jumlah yang signifikan dapat juga hilang dalam eksudat. Mengkaji status nutrisi pasien merupakan suatu bagian penting dari pengkajian pasien secara menyeluruh. Defisiensi protein tidak hanya memperlambat penyembuhan, tetapi juga mengakibatkan luka tersebut sembuh dengan kekuatan regangan yang menyusut.
 Respon metabolik dari luka yang disebabkan oleh prosedur pembedahan menyebabkan kehilangan nitrogen dari tubuh. Negative Nitrogen Balance  disebabkan oleh peningkatan ekskresi urea dan produk nitrogen lain dari urin. Demikian juga dengan luka yang terbuka dimana terjadi kehilangan protein dalam jaringan16.
 Penderita luka tanpa sepsis atau stress berkelebihan memanfaatkan protein dengan efisien. Pada penderita ini harus dilakukan pemantauan kebutuhan air, kalori, protein/nitrogen, elektrolit, dan vitamin setiap hari. Dalam keadaan pascatrauma berat dibutuhkan 1,5 g protein/kgBB/24 jam. Bila terjadi penyulit sepsis, kebutuhan protein menjadi 2 g/kgBB/24 jam. Protein diberikan lebih banyak selama ureun tidak naik4.
Dengan menggunakan analisis paired t-test, diperoleh peningkatan protein yang bermakna pada kelompok intervensi sebesar 25,2 g, sedangkan pada kelompok kontrol mengalami kenaikan asupan protein yang tidak bermakna sebesar 4,5 g. Ini menunjukkan bahwa konsumsi kapsul konsentrat ikan gabus bersama-sama dengan diet TKTP yang diberikan oleh rumah sakit pada pasien pasca bedah  selama 10 hari dapat meningkatkan asupan protein pasien secara bermakna dibandingkan dengan pasien yang hanya menerima diet TKTP dari rumah sakit.
Peningkatan ini tampaknya diikuti dengan meningkatnya nafsu makan pasien yang terlihat pada jumah makanan yang dihabiskan oleh pasien. Besar peningkatan asupan protein dalam penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Taslim, dkk (2005) dimana peningkatan asupan protein pada kelompok intervensi hanya sebesar 8,9 g.
Hasil analisis tingkat asupan lemak antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol tidak berbeda secara bermakna dengan nilai p > 0,05. Asupan lemak rata-rata sebelum mendapatkan kapsul konsentrat ikan gabus adalah 30,4 g dan meningkat menjadi 53,2 g pada kelompok intervensi begitu pula pada kelompok kontrol asupan rata-rata sebelum intervensi adalah sebesar 30,8 g dan meningkat menjadi 39,9 g.
Berdasarkan hasil uji paired t-test diperoleh bahwa terdapat perbedaan bermakna antara sebelum dan sesudah intervensi pada kelompok intervensi yang mendapatkan kapsul konsentrat ikan gabus selama 10 hari bersama-sama dengan diet TKTP dari rumah sakit. Pada kelompok ini terjadi peningkatan asupan lemak secara bermakna sebesar 22,8 g, sedangkan pada kelompok kontrol terjadi peningkatan yang tidak bermakna sebesar 9,1 g. Ini menunjukkan bahwa pemberian kapsul konsentrat ikan gabus selama 10 hari dapat meningkatkan asupan lemak pasien secara bermakna dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Hasil ini tidak sejalan dengan penelitian Taslim, dkk (2005) yang mendapatkan peningkatan asupan lemak yang tidak bermakna sebesar 1,22 gram.
Dengan meningkatnya asupan lemak pada pasien, dapat menghemat penggunaan protein untuk sintesis protein, sehingga protein tidak digunakan sebagai sumber energi. Hal ini dapat dilihat dari meningkatnya LILA pasien dalam sepuluh hari setelah intervensi dilakukan, meskipun peningkatan tersebut belum mencapai pada tingkat yang normal.
Peranan utama karbohidrat di dalam tubuh adalah menyediakan glukosa bagi sel-sel tubuh, yang kemudian diubah menjadi energi. Glukosa memegang peranan penting dalam metabolisme karbohidrat. Jaringan tertentu hanya memperoleh energi dari karbohidrat seperti sel darah merah serta sebagian besar otak dan system syaraf 15.
Hasil penelitian dengan menggunakan uji t-independent di peroleh bahwa tidak ada perbedaan bermakna asupan karbohidrat antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol dengan nilai p > 0,05. untuk kelompok intervensi rata-rata asupan karbohidrat adalah sebesar 165,4 g dan setelah 10 hari asupan ini meningkat menjadi 254,9 g begitu pula pada kelompok kontrol yang hanya mendapatkan diet TKTP dari rumah sakit asupan rata-rata karbohidrat adalah sebesar 202,8 g setelah 10 hari meningkat menjadi 205,1 g.
Berdasarkan uji paired t-test, pada kelompok intervensi terdapat perbedaan bermakna antara sebelum dan sesudah intervensi. Pada kelompok ini terjadi peningkatan asupan karbohidrat secara bermakna sebesar 89,5 g (p = 0,002), sedangkan pada kelompok kontrol terjadi peningkatan asupan karbohidrat yang tidak bermakna sebesar 2,2 g (p = 0,881). Ini  menunjukkan bahwa konsumsi kapsul konsentrat ikan gabus bersama-sama dengan diet TKTP dari rumah sakit dapat meningkatkan asupan karbohidrat pasien secara bermakna dibandingkan dengan pasien yang hanya menerima diet TKTP. Peningkatan asupan karbohidrat ini seirng dengan meningkatnya nafsu makan pasien yang ditandai dengan habisnya makanan yang dihidangkan.
Besar peningkatan asupan karbohidrat dalam penelitian ini lebih tinggi dari asupan karbohidrat yang dilaporkan oleh Taslim, dkk (2005) sebesar 45,09 gram.
Zinc menupakan salah satu mineral yang penting dalam proses penyembuhan. Zinc akan meningkatkan kekuatan tegangan (gaya yang diperlukan untuk memisahkan tepi-tepi) penyembuhan luka17.
Hasil analisis dengan menggunakan uji t-independent diperoleh bahwa tidak ada perbedaan bermakna asupan zinc antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol dengan nilai p > 0,05. Pada kelompok intervensi konsumsi zinc rata-rata pasien sebelum intervensi adalah sebesar 4,6 mg dan setelah pemberian kapsul konsentrat ikan gabus selama 10 hari meningkat menjadi 7,3 mg begitu pula pada kelompok kontrol asupan rata-rata zinc pasien adalah sebesar 5,0 mg setelah 10 hari meningkat menjadi 5,8 mg.
Analisis dengan menggunakan paired t-test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna asupan zinc sebelum dan sesudah intervensi pada kelompok intrvensi. Pada kelompok ini terjadi peningkatan zinc secara bermakna sebesar 2,7 mg (p = 0,003), sedangkan pada kelompok kontrol peningkatan asupan zinc terjadi secara tidak bermakna sebesar 0,8 mg (p = 0,224).
Zinc berperan dalam berbagai aspek metabolisme, seperti reaksi-reaksi yang berkaitan dengan sintesis dan degradasi karbohidrat, protein, lemak dan asam nukleat. Taraf  darah seng yang tinggi dapat mencegah terjadinya kehilangan indra rasa yang biasanya disertai penurunan nafsu makan.
Besar peningkatan asupan zinc ini seiring dengan meningkatnya nafsu makan pasien yang ditandai dengan habisnya konsumsi makanan yang disediakan bagi pasien. Besar peningkatan asupan zinc pada penelitian inii lebih besar dari hasil yang dilaporkan oleh Taslim, dkk (2005) sebesar 2,01 mg
Vitamin C banyak berkaitan dengan pembentukan kolagen. Vitamin C diperlukan untuk hidroksilasi prolin dan lisin menjadi hidroksiprolin, bahan penting dalam pembentukan kolagen. Kolagen merupakan senyawa protein yang mempengaruhi integritas struktur sel di semua jaringan ikat, seperti pada tulang rawan, matriks tulang, dentin gigi, membrane kapiler, kulit dan tendon (urat otot). Dengan demikian, vitamin C berperan dalam penyembuhan luka, patah tulang, perdarahan di bawah kulit dan perdarahan gusi15.
Hasil analisis dengan menggunakan uji t-independent diperoleh bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna asupan vitamin C antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol dengan nilai p > 0,05. Asupan vitamin rata-rata pada kelompok intervensi adalah sebesar 30,8 mg meningkat menjadi 34,4 mg setelah 10 hari mendapatkan intervensi kapsul konsentrat ikan gabus sedangkan pada kelompok kontrol asupan vitamin C rata-rata adalah sebesar 15 mg meningkat menjadi 20,8 mg setelah 10 hari.
Berdasarkan analisis paired t-test, baik pada kelompok intervensi maupun pada kelompok kontrol tidak terdapat perbedaan bermakna sebelum dan sesudah intervensi. Pada kelompok intervensi terjadi peningkatan asupan vitamin C secara tidak bermakna sebesar 3,6 mg (p = 0,759) begitu pula pada kelompok kontrol terjadi peningkatan secara tidak bermakna sebesar 5,8 mg (p = 0,161).

Status Gizi
Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dengan penggunaannya oleh tubuh15. Menurut Sayogo, status gizi adalah hasil keseimbangan konsumsi zat-zat gizi dengan penggunaan dari individu tersebut, dimana individu dikatakan berada pada keadaan gizi normal apabila terdapat keseimbangan antara keduanya. Pengukuran yang dilakukan untuk menentukan status gizi pasien hanya menggunakan indikator LILA, mengingat pengukuran berat badan dan tinggi badan tidak dapat dilakukan karena pasien yang menjadi sampel tidak memungkinkan untuk dilakukan pengukuran akibat cedera yang diderita.
Hasil analisis dengan menggunakan t-independent menunjukkan bahwa  tidak terdapat perbedaan bermakna LILA antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol dengan nilai p > 0,05. Pada kelompok intervensi rata-rata LILA pasien sebesar 21,7 cm meningkat  menjadi 21,8 cm setelah diberikan intervensi selama 10 hari, dibandingkan pada kelompok kontrol rata-rata LILA pasien adalah sebesar 24,5 cm dan mengalami penurunan menjadi 24,1 cm setelah 10 hari. Hasil ini menunjukkan bahwa terjadi deplesi jaringan lemak tubuh akibat asupan yang tidak adekuat.
Berdasarkan analisis dengan menggunakan paired t-test diperoleh bahwa pada kelompok intervensi terjadi peningkatan LILA secara tidak bermakna sebesar 0,04 cm (p = 0,919) dan pada kelompok kontrol terjadi penurunan LILA secara bermakna sebesar 0,04 cm (0,002). 
Tahap awal asupan energi dan protein akan digunakan untuk kebutuan  fisiologis, selanjutnya pemenuhan untuk aktifitas fisik dan peningkatan deposit zat gizi (karbohidrat, protein dan lemak). Peningkatan deposit ini akan terlihat pada parameter antropometri seperti peningkatan berat badan, peningkatan massa tubuh dan parameter antropometri lainnya seperti LILA.
LILA merupakan indikator yang digunakan untuk menilai simpanan protein otot yang biasanya rendah pada pasien malnutrisi. Peningkatan nilai LILA menggambarkan telah terjadi peningkatan simpanan protein endogen yang berhubungan dengan peningkatan asupan protein sebagai sumber asam amino.

     I.     Proses Penyembuhan

Pasien yang menjadi sampel dalam penelitian ini umumnya mengalami luka dengan tingkat yang berbeda-beda akibat kecelakaan. Fase penyembuhan luka terbagi dalam 4 fase yang meliputi fase respons inflamasi akut terhadap cedera, fase destruktif, fase poliferatif, dan fase maturatif. Dalam kenyataannya, fase-fase tersebut saling tumpang tindih dan durasi dari setiap fase serta waktu untuk penyembuhan yang sempurna bergantung pada beberap faktor,   termasuk ukuran dan tempat luka, kondisi fisiologis umum pasien, dan adanya bantuan ataupun intervensi dari luar yang ditujukan dalam rangka mendukung penyembuhan18.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna lama rawat inap antara kelompok kasus dan kelompok kontrol dengan nilai p = 0,604 (p > 0.05). lama rawat inap rata-rata pada kelompok intervensi adalah 30,08 ± 19,037 hari  sedangkan pada kelompok kontrol 33,77 ± 16,724 hari. Dilihat dari lamanya rawat inap, pada kelompok intervensi penyembuhan luka lebih cepat 4 hari daripada kelompok kontrol.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kelompok intervensi lebih banyak pasien dengan proses penyembuhan yang cepat dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Pada hari pertama intervensi terlihat jelas luka dengan tanda-tanda infeksi seperti jaringan nekrosis dan pus (nanah). Setelah sepuluh hari intervensi dengan menggunakan kapsul konsentrat ikan gabus tanda-tanda infeksi tersebut berkurang, hal ini dapat dihubungkan dengan semakin meningkatnya asupan zat gizi pasien terutama zat-zat gizi yang dapat membantu proses penyembuhan luka dan juga dengan meningkatnya kadar albumin serum pada pasien. Sedangkan pada kelompok kontrol terlihat penurunan penyembuhan luka. Pada kelompok ini  terlihat jelas perubahan luka pasien. Pada hari pertama pengamatan setelah bedah dilakukan, luka pada pasien nampak jelas dengan tanda-tanda infeksi seperti jaringan nekrosis dan pus (nanah). Setelah sepuluh hari pengamatan terlihat tanda-tanda infeksi tersebut semakin luas. Pada kelompok kontrol terjadi penigkatan asupan makanan yang tidak signifikan disertai dengan menurunnya kadar albumin secara signifikan.
Terlambatnya penyembuhan semua luka tidak akan dapat dihindari apabila diet pasien mengalami defisiensi protein, kalori, vitamin seperti vitamin A dan C, serta mineral, seperti besi, seng dan tembaga18. Setelah pembedahan umumnya penderita mengalami malnutrisi yang bermakna19.
Meskipun rata-rata asupan pasien yang diberikan mengalami peningkatan namun belum mencapai standar normal untuk mencegah malnutrisi. Hal ini disebabkan oleh faktor-faktor lain yang mempengeruhi lama penyembuhan pasien. Salah satunya adalah stress pascatrauma. Pada awal kejadian, penderita sering mengalami krisis kehidupan akibat terganggunya fungsi-fungsi vital. Setelah krisis teratasi penderita masih berhadapan dengan perasaan sakit yang hebat baik akibat luka-lukanya maupun akibat pengobatan lukanya. Perawatan yang panjang pada luka sering membuat penderita menjadi putus asa.20. Perasaan ini yang akan mempengaruhi jumlah asupan makanan pada pasien di rumah sakit. Penderita juga sering mengalami masalah kecemasan akibat sekuele dari emosinya, dengan gejala bias berbentuk delirium, anxietas, depresi, gangguan stress pascatrauma, dan lain-lain.

KESIMPULAN

1.      Pemberian kapsul konsentrat ikan gabus selama 10 hari dapat meningkatkan kadar albumin pasien pasca bedah sebesar 0,75 mg/dl dibanding pasien kontrol
2.      Pemberian kapsul konsentrat ikan gabus selama 10 hari dapat meningkatkan asupan zat energi, protein, lemak, karbohidrat, dan zinc pasien pascabedah masing-masing sebesar 653,8 kal, 25,2 g, 22,8 g, 89,5 g, dan 2,7 mg dibanding pasien kontrol
3.      Pemberian kapsul konsentrat ikan gabus dapat mempercepat lama rawat inap 4 hari dibandingkan kelompok kontrol
4.      Pemberian kapsul konsentrat ikan gabus selama 10 hari dapat mempercepat penyembuhan luka yang nampak pada semakin cepat berkurang tanda-tanda infeksi pada luka

SARAN
1.      Perlu pemberian kapsul konsentrat ikan gabus lebih lama lagi (lebih dari 10 hari) untuk mempercepat  penyembuhan luka
2.      Perlu dilakukan pengukuran-pengukuran indikator status gizi pasien untuk menentukan berapa besar kebutuhan pasien
3.      Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk melihat proses penyembuhan luka secara lebih spesifik.

DAFTAR PUSTAKA
1.      Vincant, Jean-Louis, et al. 2003. Hypoalbuminemia in Acute Illness : Is There a Rationale for Intervention. Ann Surg 237 (3):319-334
2.      Sung, Jin, et al. 2004. Admission Serum Albumin Is Predictive of Outcome in Critically Ill Trauma Patients. The American Surgeon
3.      Gibbs, James, et al. 1999. Preoperative Serum Albumin Level as a Predictor of Operative Mortality and Morbidity. Arshives of Internal Medicine, Vol 34.
4.    Sjamsuhidajat, R, Wim de Jong. 1997. Buku-Ajar Ilmu Bedah. EGC. Jakarta.
5.      Lalisang, Toar JM. 1998. Peran Nutrisi pada Kasus Bedah dalam Kapita Selekta Nutrisi Klinik. Daldiyono dan Thaha, AR. Perhimpunan Nutrisi Enteral dan Parenteral Indonesia. Jakarta.
6.      Finelli C, et al. 2001. Use and Abuse of Albumin : A Survey of Clinical Records from An Internal Medicine Ward. Journal of Nutrition 21:183-5.
7.      Johanes, Cavalo. 1998. Studi Profil Asam Amino Albumin dan Mineral Zn pada Ikan Gabus (Ophicepalus striatus) dan Ikan Tomang. Fakultas Perikanan Unibraw. Malang.
8.      Anonimous. 2003. Gabus Temuan Sang Profesor. http://www.gatra.com.

9.      Daldiyono dan Thaha, A.R (ed). 1989. Kapita Selekta Nutrisi Klinik. Permepari. Jakarta.
10.  Julius. 2005. Metabolisme Protein Pada Penyakit Hati. http://www.internafkunand.or.id/ metabolisme%20albumin.htm
11.  Neligan, Patrick. 2001. Critical Care Medicine : Tutorial. University of Pennsylvania.
12.  Linder, MC. 1992. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme. Terjemahan oleh Ainuddin. Parakkasi. UI Press. Jakarta.
13.  Taslim, Astuti Nurpudji, dkk. 2005. Laporan Penelitian Ikan Gabus. Pusat Penelitian Pangan, Gizi dan Kesehatan Unhas. Makassar
14.  Hartono, A. 2000. Buku AJAR Nutrisi Bedah (Disorders of Nutrition and Metabolism in Clinical Surgery Under Standing and Management). Alih Bahasa: Darman Iyan. Jakarta.
15.  Almatsier, Sunita. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Gramedia. Jakarta.
16.  Wilmore, Douglas W. 2001. Abstrak The Effect of Glutamine Supplementation in Patients Following Elective Surgery and Accidental Injury. American Society for Nutritional Sciences.
17.  Moore, Mary Courtney. 1997. Buku Pedoman Terapi Diet dan Nutrisi (Pocket Guide to Nutrition and Diet Therapy). Edisi kedua. EGC. Jakarta.
18.  Morison, Moya. 2002. Manajemen Luka. EGC. Jakarta
19.  Widjanarko, Jasin, Toar JM Lalisang. Dampak Pembeahan Mayor Elektif pada Status Nutrisi.Jurnal Medika Nusantara Vol 19 No. 1, Januari-Maret 1998.
20.  Suwardi, Yos, dkk. 2005. Prevalensi Gangguan Stress Pascatrauma pada Penderita Dewasa dengan Luka Bakar Sedang dan Berat. Majalah Kedokteran Indonesia, Volume: 55, Nomor : 9, September 2005.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar