PENGARUH PEMBERIAN
KAPSUL KONSENTRAT IKAN GABUS PADA PASIEN PASCABEDAH DI RSU. DR. WAHIDIN
SIDUROHUSODO MAKASSAR
Effect of fish albumin concentrate on post operative patient
in Wahidin
General Hospital,
Makassar
Nurpudji A. Taslim1,
, Healthy Hidayanty 2, Nurhaedar Jafar3
1Konsentrasi
Gizi Program Studi Kesmas Program Pascasarjana, Universitas Hasanuddin, 2Bagian
Gizi, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, 3Bagian Gizi,
Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin
ABSTRACT
Albumin
serum is one of important parameter in order to measure nutritional status to
the patients with acute and chronic disease. Snakeheads fish contents higher
albumin serum then other fish. It is used to increasing endurance, in wound
healing process and other body metabolism. This research aimed to find out the
influence of giving capsule of snakehead fish to the level of albumin,
nutritional status, nutritions intake, and wound healing process to post operative
patients in Wahidin Sudirohusodo Public Hospital of Makassar.
This
research used quasi experimental design in the form of non randomized control
group pre-post test design. The sample constituted post operative patients with
opened wound. They consisted of intervention group which was given capsule and
TKTP diit, and control group which was only given TKTP diit. Each group
consisted of thirteen patients. Before intervention, the level of albumin, nutritional
status (LILA), nutritions intake were measured. After ten days, the level of
albumin, nutritional status (LILA), nutritions intake and healing process were
measured. The data were then analyzed using paired t-test and independent
t-test.
The
results show that there was a significant difference in intervention group for
albumin serum, energy intake, protein intake, fat intake, carbohydrate intake,
and zinc intake (p < 0,05), whereas the increase of vitamin C intake and
LILA were not significant (p > 0,05). Consumption concentrate capsule of
snakehead fish as long as ten days can increase albumin serum rate 0,7 g/dl,
intake energy, protein, lipid, carbohidrat and zinc are 653,8
kal, 25,2 g, 22,8 g, 89,5 g, and 2,7 mg respectively. In control group, both in albumin
serum and in nutrient intake indicate significant result (p < 0,05). Based
on wound healing process, it was faster four days in intervention group
compared in control group.
Key Words : Snakeheads fish, post
operative, albumin and nutritional status
ABSTRAK
Serum Albumin merupakan salah satu
parameter penting dalam mengukur status gizi pada pasien-pasien dengan penyakit
akut maupun kronik. Salah satu sumber makanan yang kaya akan albumin adalah
ikan gabus. Ikan gabus mengandung albumin yang lebih tinggi dibandingkan dengan
jenis ikan lain yang diperlukan oleh tubuh yang berfungsi meningkatkan daya
tahan tubuh, mempercepat penyembuhan luka dan membantu proses metabolisme tubuh
lainnya.
Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui pengaruh pemberian kapsul konsentrat ikan gabus terhadap kadar
albumun, status gizi, asupan zat gizi dan proses penyembuhan luka pasien pasca
bedah di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo Makassar.
Desain penelitian yang digunakan adalah Quasi Eksperimental dalam bentuk Non Randomized Control Group pre-post test design. Sampel dalam penelitian ini
adalah pasien-pasien pasca bedah dengan luka terbuka. Sampel terdiri atas
kelompok intervensi yang mendapat kapsul dan diit TKTP dan kelompok kontrol
yang hanya mendapat Diit TKTP, masing-masing berjumlah 13 orang. Sebelum
intervensi dilakukan pengukuran kadar albumin, asupan zat gizi dan status gizi
(LILA). Setelah 10 hari dilakukan
pengukuran albumin, asupan zat gizi, status gizi (LILA), dan pengukuran
proses penyembuhan. Data dianalisis dengan menggunakan uji paired t-test dan independent t-test.
Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pada kelompok intervensi terjadi perbedaan
bermakna untuk serum albumin, asupan energi, asupan protein , asupan lemak,
asupan karbohidrat, dan asupan zinc (p < 0,05), sedangkan asupan vitamin C
dan LILA terjadi peningkatan yang tidak bermakna (p > 0,05). Pemberian
kapsul ikan gabus selama 10 hari dapat meningkatkan kadar albumin sebesar 0,7 g/dl, asupan energi, protein, lemak,
karbohidrat dan zinc masing-masing sebesar 653,8 kal, 25,2 g, 22,8 g, 89,5 g,
dan 2,7 mg. Pada kelompok kontrol baik pada serum albumin maupun asupan zat
gizi menunjukkan hasil yang tidak bermakna (p > 0,05), tetapi LILA
menunjukan hasil yang bermakna (p < 0,05). Berdasarkan proses Penyembuhan
luka, terjadi kecepatan penyembuhan 4 hari lebih cepat pada kelompok intervensi
dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Kata
Kunci : Ikan gabus, pasca bedah, albumin, status gizi
PENDAHULUAN
Serum Albumin merupakan salah satu parameter
penting yang digunakan untuk mengukur status gizi pada pasien-pasien dengan
penyakit akut maupun kronik. Protein ini mempunyai efek stabilitas terhadap
endotelium dan membantu menjaga permeabilitas kapiler pada makromolekul.
Konsentrasi serum albumin normal pada orang dewasa sehat sekitar 35 sampai 50
g/l. Angka ini akan berkurang pada keadaan hypoalbuminemia pada pasien-pasien
dengan penyakit serius. Herrmann dkk menemukan sebanyak 21% pasien yang dirawat
di rumah sakit mempunyai konsentrasi serum albumin kurang dari 34 g/l1.
Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa setiap penurunan konsentrasi serum
albumin 10 g/l secara signifikan akan meningkatkan odds rasio (OR) terhadap
kematian, kesakitan, lama rawat di ICU dan lama rawat inap di rumah sakit
masing-masing sebesar 1.37, 0.89, 0.28 dan 0.71.
Terdapat hubungan yang signifikan antara
hypoalbuminemia dengan peningkatan resiko komplikasi infeksi, lamanya rawat
inap di rumah sakit, maupun kematian baik pada pasien medis maupun pasien
bedah. Pasien-pasien dengan kadar
albumin serum yang lebih rendah memiliki resiko 2,5 kali lebih tinggi terhadap
kejadian infeksi dan mortalitas serta 8 kali lebih tinggi terhadap lama rawat
ICU dan lama rawat inap di rumah Sakit2.
Hipoalbuminemia dapat menggambarkan hubungan yang
signifikan dengan peningkatan morbiditas pada pasien di rumah sakit. Level
albumin bervariasi pada berbagai komplikasi infeksi (sepsis, pneumonia, infeksi
luka). Serum albumin juga efektif sebagai faktor akut pada trauma dan stres
pembedahan, hal ini diperkirakan sebagai akibat operasi yang dapat menyebabkan
komplikasi dan malnutrisi3.
Asupan
zat gizi yang adekuat bagi pasien yang dirawat inap sangat diperlukan dalam
upaya mencegah penurunan status gizi yang terjadi selama masa perawatan. Malnutrisi
berat mempengaruhi morbiditas karena terganggunya penyembuhan luka dan
menurunnya daya tahan tubuh terhadap infeksi4. Pada malnutrisi
ringan protein dan kalori tidak banyak mempengaruhi hasil operasi. Pada
penderita bedah terdapat beberapa faktor yang menyebabkan malnutrisi, yaitu
kurangnya asupan makanan dan proses radang yang mengakibatkan katabolisme
meningkat dan anabolisme menurun. Keadaan ini dapat langsung tampak pada
penurunan kadar serum albumin dan hipotrofi otot.
Studley, 1936 mendapatkan morbilitas
yang meningkat pada pasien malnutrisi pra bedah. Terjadi peningkatan 2,5 kali
lebih besar angka komplikasi pada penderita yang mengalami gangguan intake 10
hari dengan serum albumin kurang dari 3,2 gram% dan berat badan menurun lebih
dari 10 kg. Arnold Umar mendapatkan 15% penderita bedah digestif mengalami
kekurangan gizi dan B. Phillipi pada tahun 1986 mendapatkan penderita bedah
digestif pra bedah mayor 35,1% gizi kurang dan 10,8% gizi buruk ditinjau dari
nilai albumin serum5.
Suatu penelitian dengan subjek
penderita fraktur femur yang membandingkan kadar albumin penderita dengan
malnutrisi dan status gizi baik, menemukan adanya penurunan kadar albumin yang
sama pada hari-hari pertama. Pasien dengan status gizi baik mengalami perbaikan
albumin setelah 10 hari sedangkan penderita malnutrisi berat mengalami
keterlambatan perbaikan. Pemberian nutrisi tambahan melalui pipa nasogatrik
pada kelompok malnutrisi berat dapat mempercepat pemulihan kadar albumin. Temuan ini membuktikan adanya hubungan
antara nutrien dengan albumin plasma. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa
pemeriksaan albumin sewaktu tidak dapat digunakan sebagai pertanda status gizi,
tetapi pemeriksaan albumin secara serial dapat menggambarkan status gizi
penderita6.
Peningkatan serum albumin selama ini
dilakukan salah satunya berupa pemberian makanan yang mengandung kadar albumin
yang tinggi yaitu pemberian telur (putih telur). Dengan mengkonsumsi telur maka
pasien yang rendah albuminnya akan mengalami peningkatan, namun terjadi pula
peningkatan kadar kolesterol yang mengganggu proses metabolisme tubuh7.
Selain itu, untuk mengatasi hipoalbuminemia, pasien diberikan preparat albumin
sebanyak 4 ampul dengan harga satuan sekitar Rp 1.500.000. Bagi pasien dengan
penghasilan rendah, tentu harga ini sangat mahal, oleh karena itu perlu dicari
alternatif lain sebagai sumber protein albumin.
Ikan gabus diketahui mengandung
senyawa-senyawa penting bagi tubuh manusia diantaranya protein yang cukup
tinggi, lemak, air dan mineral. Mineral zink (Zn) merupakan zat gizi mikro yang
sangat penting diperlukan oleh tubuh yang berfungsi meningkatkan daya tahan
tubuh, mempercepat penyembuhan luka dan membantu proses metabolisme tubuh
lainnya.
Kandungan
protein pada ikan gabus yaitu 25,2 gram relatif lebih tinggi jika dibandingkan
dengan beberapa jenis ikan lainnya, misalnya ikan bandeng 20 gram, kembung 22
gram, dan ikan teri 16 gram. Protein ikan mempunyai daya cerna 95%7.
Albumin dari ikan gabus tersebut dapat
menggantikan albumin telur yang selama ini dipergunakan, yang berasal dari
putih telur. Hasil penelitian sebelumnya diketahui bahwa dengan pemberian
konsumsi ikan gabus masak beserta fitrat hasil rebusannya ternyata mampu
meningkatkan kadar albumin darah dan pengurangan luas permukaan luka pada
pasien7.
Penelitian yang dilakukan oleh
Prof. Dr. Ir. Eddy Suprayitno, MS menyimpulkan bahwa pemberian ekstrak dari 2
kilogram ikan gabus per hari pada sejumlah pasien yang memiliki kadar albumin
rendah (1,8 g/dl), dapat meningkatkan kadar albumin di darah pasien menjadi
normal, yakni 3,5-5,5 g/dl, dan luka operasi sembuh tanpa efek samping, setelah
diberikan selama delapan hari 8.
Hasil
Penelitian Taslim, dkk 2005 menunjukkan
bahwa pemberian ikan gabus sebanyak
100 ml setiap hari selama 10 hari telah dapat meningkatkan kadar albumin dan
protein total pasien. Hal ini tampaknya
diikuti oleh peningkatan status gizi dan konsumsi pada kelompok
intervensi. Rata-rata besar peningkatan
kadar albumin yang terlihat dalam penelitian ini sebesar 0.6 g/dl dibandingkan
dengan kelompok kontrol.
Besar peningkatan
yang terlihat dalam penelitian ini lebih rendah dari besar yang pernah dilaporkan
dari pemberian suplemen secara parenteral (0,8 sampai 1g). Namun, dilihat dari segi biaya yang
dikeluarkan, maka dengan besar peningkatan seperti ini, penggunaan ikan gabus
jauh lebih cost efektif dibanding
produk parenteral. Harga ikan gabus
untuk setiap kali pemberian ditaksir sebesar Rp 15.000 setiap kali pemberian
sehingga total selama 10 hari hanyalah Rp150.000.
Penggunaan
putih telur dan preparat albumin untuk meningkatkan kadar albumin disamping
kurang efisien, juga membutuhkan biaya yang cukup tinggi dibandingkan dengan
albumin yang berasal dari ikan. Penggunaan albumer hanya dapat diberikan kepada
pasien yang mampu, karena harganya relatif mahal.
BAHAN DAN METODE
Lokasi Penelitian
Rumah
Sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo (RSWS) sebagai rumah sakit Badan Layanan Umum (BLU) milik
Departemen Kesehatan, mempunyai fasilitas dan kemampuan menyelenggarakan hampir
semua jenis pelayanan kedokteran baik
spesialis maupun subspesialis,
sehingga layak menjadi pusat layanan rujukan di kawasan Timur Indonesia. Luas
lahan RSWS adalah 8,4 HA serta luas bangunan 39.246 m2. Kapasitas tempat tidur berjumlah 610 buah
terdiri dari kelas utama 43 buah (
7,05%), kelas I 66 buah ( 10,82%), Kelas II
179 buah ( 29,34%), dan kelas III
272 buah ( 44,59%), serta 50
tempat tidur dialokasikan di pelayanan lainnya seperti Intensif 20 buah,
Intermediate 21 buah, dan kamar isolasi
sebanyak 9 buah tempat tidur.
BLU
Rumah Sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo mengembangkan pelayanan unggulan,
pendidikan dan penelitian bidang kegawatdaruratan, urologi, jantung, lipid dan
endokrin beserta pelayanan penunjang lainnya.
BLU
Rumah Sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo terdiri atas sarana dan prasarana penunjang
pelayanan seperti sarana yang terdiri atas Kantor, Instalasi Rawat Jalan, Instalasi
Rawat Inap, Cardiac Centre, Perawatan Intensive, Hemodialisis, Endescopy dan
Bedah Pusat, Rehabilitasi Medik, Tindakan Khusus, Laboratorium, Farmasi, Utility,
Dapur dan Laundry, Wisma, Kamar Jenazah, Taman dan Selasar, Halaman dan Fasilitas
Tempat Tidur. Prasarana yang terdiri atas Pembangkit Listrik, Sarana Air Bersih
(SAB), Tabung Oksigen, Air Condencer dan Reservoir, Pengolahan Limbah, Sistem
Keamanan, Sistem Pemadam Kebakaran, Jalan dan Tempat Parkir, Transportasi dan
alat komunikasi.
Desain dan Variabel Penelitian
Penelitian
ini merupakan penelitian uji klinik, yaitu penelitian eksperimental semu (Quasi Eksperimental) dalam bentuk Non
Randomized Control Group pre-post test design. Dengan memberikan perlakukan
atau intervensi pada subjek penelitian kemudian efek perlakuan diukur dan
dianalisis. Subjek penelitian dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok
intervensi mendapat diit TKTP dan kapsul konsentrat ikan gabus, kelompok
kontrol hanya mendapat diit TKTP. Pre test dengan penentuan status gizi secara
antropometri (LILA), pengukuran kadar albumin dan asupan makanan dengan
menggunakan recall 24 jam. Setelah masa perlakuan selesai (10 hari) dilakukan
post-test dengan penentuan status gizi (LILA), pengukuran albumin, asupan
makanan dan proses penyembuhan.
Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini
adalah semua pasien pasca bedah yang dirawat di RSU. Dr. Wahidin Sudirohusodo
Makassar. Sampel terdiri atas kelompok intervensi dan kelompok kontrol yang
masing-masing berjumlah 13 orang pasien. Semua sampel dalam penelitian ini
adalah pasien-pasien pasca bedah yang dirawat pada bangsal bedah akibat
kecelakaan lalu lintas dan diambil berdasarkan kriteria inklusi yaitu umur ≥ 18 tahun, pasien mengalami luka , tidak ada
gangguan ginjal (proteinuria) dan bersedia ikut dalam penelitian. Kriteria
eksklusi yaitu pasien mengalami luka dengan komplikasi diebetes melitus,
menolak mengkonsumsi kapsul ikan gabus, keluar dari rumah sakit sebelum
intervensi dilakukan, dan tidak mau
menjadi sampel penelitian.
Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dua tahap, tahap pertama
dilakukan screening untuk menemukan pasien intervensi dan pasien kontrol.
Setelah itu ditentukan sampel yang memenuhi kriteria sesuai dengan hasil
perhitungan. Setelah terpilih kelompok intervensi dan kontrol dilanjutkan
dengan pengumpulan data tahap kedua. Data yang dikumpulkan meliputi data dari
semua variabel yang diangkat dalam penelitian berupa karakteristik pasien
dengan menggunakan kuesioner, data antropometri (lingkar lengan atas) diukur
dengan menggunakan pita pengukur LILA, data asupan makanan dengan menggunakan
formulir food recall 24 jam dan proses penyembuhan luka yang dipantau setiap
hari pada saat dilakukan pembersihan luka oleh perawat. Pengumpulan data ini dilakukan oleh peneliti
dibantu oleh enumerator dengan latar belakang S1 Gizi yang telah dilatih
sebelumnya.
Analisis Data
Data diolah dengan menggunakan perangkat lunak (software) program SPSS for windows 11.0,
dan program W-food, dengan menggunakan beberapa uji statistik. Untuk melihat perubahan
kadar albumin, LILA, asupan zat gizi sebelum dan sesudah intervensi dianalisis
dengan uji paired t-test. Sedangkan untuk menganalisis perbedaan kadar albumin, LILA, asupan zat gizi dan
proses penyembuhan antara kelompok kasus dan kelompok kontrol digunakan unpaired t-test. Batas
kemaknaan yang digunakan pada penelitian ini adalah a =
0,05
HASIL PENELITIAN
Karakteristik subjek penelitian
Data yang diperoleh dari sampel yaitu data
primer dan data sekunder dengan beberapa karakteristik umur, jenis kelamin,
suku, agama, status perkawinan pendidikan terakhir, dan pekerjaan. Berdasarkan
karakteristik umur pada kelompok intervensi kelompok umur 20-29 tahun adalah kelompok umur terbanyak
sedangkan pada kelompok kontrol, 30-39 tahun merupakan kelompok umur terbanyak.
Baik pada kelompok intervensi maupun kelompok kontrol, pasien terbanyak adalah
laki-laki, bersuku bugis dan berstatus kawin. Pada kelompok intervensi sarjana
dan SMU adalah pendidikan terakhir terbanyak sedangkan pada kelompok kontrol
adalah SMU. Swasata merupakan jenis pekerjaan yang paling banyak dilakukan oleh
pasien baik pada kelompok intervensi maupun kelompok kontrol. (tabel 1).
Tabel 1. Karakteristik subjek penelitian
Karakteristik
|
Intervensi n = 13
|
Kontrol n = 13
|
n
|
%
|
n
|
%
|
Umur
20 – 29
30 – 39
40 – 49
≥ 50
|
5
3
4
1
|
38.5
23.1
30.8
7.7
|
4
6
3
0
|
30.8
46.2
23.1
0.0
|
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
|
13
0
|
100
0.0
|
10
3
|
76.9
23.1
|
Suku
Bugis
Makassar
Mandar
Lain-lain
|
6
5
1
1
|
46.2
38.5
7.7
7.7
|
6
4
0
3
|
46.2
30.8
0.0
23.1
|
Status Perkawinan
Kawin
Belum Kawin
|
10
3
|
76.9
23.1
|
8
5
|
61.5
38.5
|
Pendidikan
Terakhir
Sajana
Diploma
SMU
SMP
SD
|
4
0
4
3
2
|
30.8
0.0
30.8
23.1
15.4
|
1
2
5
2
3
|
7.7
15.4
38.5
15.4
23.1
|
Pekerjaan
PNS
Swasta
Petani
Buruh
Honorer
Tidak Kerja
|
2
4
2
3
1
1
|
15.4
30.8
15.4
23.1
7.7
7.7
|
0
7
0
1
2
3
|
0.0
53.8
0.0
7.7
15.4
23.1
|
Sumber : Data Primer
Kadar Albumin dan Status Gizi (LILA)
Setelah 10 hari dilakukan
intervensi, pengumpulan data kembali dilakukan pada seluruh pasien baik
kelompok intervensi maupun kelompok kontrol. Tabel di atas memperlihatkan
perubahan kadar albumin darah tidak diikuti dengan perubahan status gizi
(LILA). Tampak peningkatan yang signifikan kadar albumin antara sebelum dan
sesudah intervensi pada kelompok intervensi, tetapi tidak bermakna pada
peningkatan LILA. Sedangkan pada kelompok kontrol terjadi penurunan kadar
albumin yang tidak bermakna antara sebelum dan setelah intervensi, dan terjadi
penurunan yang bermakna pada LILA (tabel 2).
Asupan Zat
Gizi
Tabel 3 menunjukkan hasil
intervensi untuk beberapa zat gizi makro dan mikro yang dikonsumsi oleh pasien
baik kelompok intervensi maupun kelompok kontrol. Pada kelompok intervensi, tampak
terlihat perubahan yang bermakna antara sebelum dan sesudah intervensi pada
konsumsi energi, protein, lemak, karbohidrat dan zinc, tetapi tidak bermakna
pada konsumsi vitamin C. Sedangkan pada konsumsi zat gizi yang sama, tidak
terlihat perubahan yang bermakna pada kelompok kontrol (p > 0,05).
Tabel
2 Hasil peningkatan Kadar albumin dan status gizi setelah intervensi
|
I (pre)
|
II (post)
|
II – I
|
P
|
Albumin
|
|
|
|
|
Intervensi (13)
|
2,7 ± 0,2054
|
3,4 ± 0,3470
|
0,7 ± 0.0363
|
0,000
|
Kontrol (13)
|
3,6 ±
0,4666
|
3,6 ±
0,6132
|
- 0,1 ±
0,8220
|
0,693
|
LILa
|
|
|
|
|
Intervensi (13)
|
21,7 ±
2,9483
|
21,8 ±
3,4558
|
0,04 ±
1.3301
|
0,919
|
Kontrol (13)
|
24,5 ±
3,8297
|
24,1 ±
3,8087
|
- 0,4 ±
0,3625
|
0,002
|
Sumber : Data Primer
Tabel
3 Hasil peningkatan asupan zat gizi
setelah intervensi
|
I (pre)
|
II (post)
|
II – I
|
P
|
Energi
|
|
|
|
|
Intervensi (13)
|
1096,9 ± 497,3232
|
1750,7 ±
641,1437
|
653,8 ±
465.0215
|
0,000
|
Kontrol (13)
|
1286,1 ± 607,5516
|
1390,0 ±
535,0322
|
103,9 ± 382.9738
|
0,347
|
Protein
|
|
|
|
|
Intervensi (13)
|
41,6 ±
20,5987
|
66,7 ±
30,0234
|
25,2 ±
22.4389
|
0,002
|
Kontrol (13)
|
46,9 ±
24,0981
|
51,5 ± 19,9991
|
4,5 ± 17.1939
|
0,362
|
Lemak
|
|
|
|
|
Intervensi (13)
|
30,4 ±
19,9652
|
53,2 ±
27,6473
|
22,8 ±
23.8386
|
0,005
|
Kontrol (13)
|
30,8 ±
17,7693
|
39,9 ±
21,5199
|
9,1 ±
19.4430
|
0,116
|
Karbohidrat
|
|
|
|
|
Intervensi (13)
|
165,4 ±
68,5746
|
254,9 ±
91,3779
|
89,5 ±
84.4799
|
0,002
|
Kontrol (13)
|
202,8 ±
94,2577
|
205,1 ±
77,8166
|
2,2 ±
52.7414
|
0,881
|
Zinc
|
|
|
|
|
Intervensi (13)
|
4,7 ±
2,4191
|
7,3 ±
3,3445
|
2,7 ±
2.5765
|
0,003
|
Kontrol (13)
|
5,0 ±
2,0890
|
5,8 ±
2,1684
|
0,8 ±
2.2555
|
0,224
|
Vitamin C
|
|
|
|
|
Intervensi (13)
|
30,8 ±
31,4064
|
34,4 ±
31,1677
|
3,6 ±
41.4301
|
0,759
|
Kontrol (13)
|
15,0 ±
13,0512
|
20,8 ±
18,5299
|
5,8 ±
13.9113
|
0,161
|
Sumbert
: Data Primer
Proses Penyembuhan Luka
Proses penyembuhan luka dilihat berdasarkan ada tidaknya tanda-tanda
infeksi (pus, jaringan nekrotik) selama 10 hari intervensi baik pada kelompok
intervensi maupun kelompok kontrol. Tabel 4 menunjukkan bahwa pada kelompok
intervensi terdapat lebih banyak pasien dengan proses penyembuhan yang cepat
dibandingkan dengan kelompok kontrol. Cepatnya proses penyembuhan luka pada
pasien intervensi memperpendek pula lama rawat inap di rumah sakit 4 hari
dibandingkan kelompok kontrol (tabel 5)
Tabel. 4 Proses Penyembuhan Luka
Penyembuhan Luka
|
Intervensi
|
Kontrol
|
n
|
%
|
n
|
%
|
Cepat
|
8
|
61,5
|
4
|
30,8
|
Lambat
|
5
|
31,5
|
9
|
69,2
|
Jumlah
|
13
|
100,0
|
13
|
100,0
|
Sumber : Data Primer
Tabel 5 Analisis perbedaan Lama Rawat Inap
|
n
|
Mean ± SD
|
P
|
Lama Rawat Inap
|
|
|
|
- Intervensi
|
13
|
30,08 ± 19,037
|
0,604
|
- Kontrol
|
13
|
33,77 ± 16,724
|
Sumber : Data
Primer
PEMBAHASAN
Kadar Albumin
Perubahan
kadar albumin sering dipakai sebagai perubahan biokimia yang berhubungan dengan
status gizi walaupun tidak terlalu sensitive. Pada penderita malnutrisi sering
ditemukan kadar albumin yang rendah, tetapi tidak jarang albumin serum masih
dalam batas normal9.
Pada
penelitian ini terlihat bahwa kadar albumin antara kelompok intervensi dan
kelompok kontrol tidak berbeda secara bermakna berdasarkan uji t-independen dimana p > 0,05. Kadar albumin pada kelompok intervensi
mengalami kenaikan bermakna dibandingkan dengan kadar albumin kelompok kontrol
yang mengalami penurunan.
Perubahan
kadar albumin serum yang bermakna klinis berupa penurunan kadar albumin
(hipoalbuminemia). Perubahan ini dapat disebabkan oleh sintesis yang kurang
(disfungsi hati, diit yang kurang), perluasan kompartmen sebaran (kebocoran
kapiler, sepsis, atau renjatan), “kehilangan”ke ruang ketiga respons fase akut
dan kehamilan. Pengaruh penyebaran (distribusi) lebih besar daripada sintesis,
dan bila seseorang tidak makan maka kadar albumin baru akan menurun sampai di
bawah batas normal setelah seminggu10.
Albumin
serum yang rendah merupakan pertanda yang tidak spesifik dari penyakit.
Rendahnya kadar albumin serum menunjukkan suatu kemunduran dan peningkatannya
menunjukkan suatu perbaikan. Kadar
yang sangat rendah dari albumin terlihar dengan kurangnya pengeluaran. Albumin
serum akan menurun bila menjadi sakit, dan kembali normal pada saat pasien
membaik kondisinya11.
Peningkatan kadar albumin dapat
dihubungkan adanya perbaikan system imunitas, perbaikan jaringan/sel yang rusak
akibat infeksi. Albumin akan mensuplai asam amino untuk sintesis protein aktif
cytokine seperti C-reaktive protein, protein phase akut, dan lain-lain, yang
dibutuhkan pada pembentukan makrofa pada system pagositosis serta pembentukan
antibody12.
Hasil penelitian dengan menggunakan paired
t-test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna kadar albumin pasien
sebelum dan sesudah intervensi pada kelompok intervensi. Rata-rata kadar
albumin pasien sebelum intervensi adalah sebesar 2,7 gr/dl dan setelah intervensi
meningkat menjadi 3,4 g/dl, dibandingkan dengan kelompok kontrol yang mengalami
penurunan secara tidak bermakna sebesar 0,092. Penelitian ini memperlihatkan
bahwa pemberian kapsul konsentrat ikan gabus selama 10 hari dapat meningkatkan
kadar albumin darah pasien secara bermakna sebesar 0,7 g/dl.
Hasil penelitian ini sama dengan hasil
yang pernah dilaporkan dengan pemberian nutrisi dengan cara enteral (0,8 – 1,5
mg/dl). Besar peningkatan albumin pada penelitian ini lebih besar dari yang dilaporkan oleh
Taslim, dkk (2005) yaitu sebesar 0,64 mg/dl13.
Asupan Zat Gizi
Pada penelitian ini terlihat bahwa asupan
energi antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol tidak berbeda secara
bermakna berdasarkan uji t-independen
dimana p > 0,05. Tingkat asupan
energi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol rata-rata mengalami
kenaikan tetapi kenaikan pada kelompok
kontrol tidak sebesar kenaikan asupan energi pada kelompok intervensi. Meskipun
pada kedua kelompok mengalami kenaikan tetapi sebagian besar masih kurang
dibandingkan dengan angka kecukupan gizi yang dianjurkan berdasarkan
perhitunganan per individu dengan menggunakan rumus Harris Benedict14.
Jika keadaan pascatrauma berat disertai
penyulit sepsis akan terjadi hipermetabolisme dan hiperkatabolisme dengan
penggunaaan energi dan nitrogen yang tidak efisien. Dalam keadaan pascatrauma
berat, pasien membutuhkan kalori
sebanyak 2000-3000 kalori (Sjamsuhidajat, 1997). Berdasarkan hasil penelitian
bahwa rata-rata asupan kalori pada kelompok intervensi adalah 1750,692 ± 641,1437 dan pada kelompok kontrol adalah
sebesar 1390,000 ± 535,0322.
kebutuhan energi seseorang menurut
FAO/WHO (1985) adalah konsumsi energi yang berasal dari makanan yang
diperlukan untuk menutupi pengeluaran energi seseorang bila ia mempunyai ukuran
dan komposisi tubuh dengan tingkat aktivitas yang sesuai dengan kesehatan
jangka panjang, dan memungkinkan pemeliharaan aktivitas fisik yang dibutuhkan
secara sosial dan ekonomi. Kebutuhan energi total orang dewasa diperlukan untuk
metaboliosme basal, aktivitas fisik, efek makanan atau pengaruh dinamik khusus,
dan kebutuhan energi terbesar pada umumnya diperlukan untuk metabolisme basal15.
Kekurangan energi akan terjadi bila
konsumsi energi melalui makanan kurang dari energi yang diperlukan. Tubuh akan
mengalami keseimbangan energi negative. Akibatnya, berat badan kurang dari
berat badan seharusnya.
Hasil penelitian dengan menggunakan paired t-test menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan asupan zat gizi sebelum dan sesudah pemberian kapsul konsentrat ikan
gabus selama 10 hari pada kelompok intervensi.
Konsumsi energi rata-rata pasien sebelum diberikan kapsul konsentrat
ikan gabus sebesar 1096,9 kal dan setelah diberikan kapsul konsentrat ikan
gabus konsumsi energi meningkat menjadi 1750,7 kal, dengan besar
peningkatan 653,8 kal. Nilai ini lebih
tinggi dari kontrol yang hanya meningkat sebesar 103,9 kal. Ini menunjukkan
bahwa konsumsi kapsul konsentrat ikan gabus yang diberikan selama 10 hari yang
mengandung 15 gram konsentrat ikan gabus
dapat meningkatkan asupan energi
pasien secara bermakna.
Hasil peningkatan asupan energi ini
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Taslim, dkk (2005) dimana terjadi
peningkatan asupan energi yang bermakna,
tetapi peningkatan energi pada penelitian ini lebih rendah yaitu
sebesar 231,69 kal.
Kebutuhan protein didefinisikan sebagai
asupan protein yang aman untuk kebutuhan faali, dan memelihara kesehatan hampir
semua orang, sesuai dengan golongan umur dan jenis kelamin. Protein merupan zat
pembentuk tubuh yang penting di samping air, lemak, vitamin, mineral dan
karbohidrat yang terdapat atau ditemukan pada seluruh tubuh, yaitu otot, kulit,
rambut, jantung, paru-paru, otak dan organ tubuh lainnya.
Mutu protein ditentukan oleh jenis dan
proporsi asam amino yang dikandungnya. Protein kompleks atau protein dengan
nilai biologis tinggi atau bermutu tinggi adalah protein yang mengandung semua
jenis asam amino esensial dalam proporsi yang sesuai untuk keperluan pertumbuhan.
Dengan menggunakan uji t-Independent tingkat asupan protein
antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol tidak berbeda secara bermakna
dengan nilai p > 0,05. Konsumsi protein rata-rata pasien sebelum diberikan
kapsul konsentrat ikan gabus sebesar 41,6 g dan setelah diberikan kapsul konsentrat
ikan gabus selama 10 hari meningkat menjadi 66,7 g, sedangkan pada kelompok
kontrol konsumsi rata-rata pasien sebelum intervensi adalah sebesar 46,9 g dan
selama 10 hari dengan hanya mengkonsumsi diet TKTP dari rumah sakit pasien juga
mengalami peningkatan asupan protein menjadi 51,5 g.
Kebutuhan protein dan kalori pasien hampir
pasti menjadi lebih tinggi daripada orang normal ketika terdapat luka yang
besar. Asam amino diperlukan untuk sintesis protein struktural seperti kolagen
dan untuk melakukan sintesa protein yang berperan di dalam respons immun. Pada
stadium awal setelah luka yang besar, berbagai sistem endokrin dan sistem
syaraf mengadakan reaksi terhadap cedera yang kemudian memicu proses-proses
katabolik yang merusak jaringan tubuhnya sendiri untuk menyediakan bahan-bahan
yang diperlukan bagi proses perbaikan yang sifatnya segera. Pasien-pasien
dengan luka trauma yang berat, dapat menderita hipertropi otot yang dramatis
dan kehilangan berat badan yang cepat, hanya dalam beberapa hari saja.
Penggantian protein, kalori, elektrolit dan cairan merupakan komponen
pengobatan awal yang sangat vital. Bahkan pada luka terbuka yang kronis,
seperti dekubitus, protein dalam jumlah yang signifikan dapat juga hilang dalam
eksudat. Mengkaji status nutrisi pasien merupakan suatu bagian penting dari
pengkajian pasien secara menyeluruh. Defisiensi protein tidak hanya
memperlambat penyembuhan, tetapi juga mengakibatkan luka tersebut sembuh dengan
kekuatan regangan yang menyusut.
Respon metabolik dari luka yang disebabkan
oleh prosedur pembedahan menyebabkan kehilangan nitrogen dari tubuh. Negative Nitrogen Balance disebabkan oleh peningkatan ekskresi urea dan
produk nitrogen lain dari urin. Demikian juga dengan luka yang terbuka dimana
terjadi kehilangan protein dalam jaringan16.
Penderita luka tanpa sepsis atau stress
berkelebihan memanfaatkan protein dengan efisien. Pada penderita ini harus
dilakukan pemantauan kebutuhan air, kalori, protein/nitrogen, elektrolit, dan
vitamin setiap hari. Dalam keadaan pascatrauma berat dibutuhkan 1,5 g
protein/kgBB/24 jam. Bila terjadi penyulit sepsis, kebutuhan protein menjadi 2
g/kgBB/24 jam. Protein diberikan lebih banyak selama ureun tidak naik4.
Dengan menggunakan analisis paired t-test, diperoleh peningkatan
protein yang bermakna pada kelompok intervensi sebesar 25,2 g, sedangkan pada
kelompok kontrol mengalami kenaikan asupan protein yang tidak bermakna sebesar
4,5 g. Ini menunjukkan bahwa konsumsi kapsul konsentrat ikan gabus bersama-sama
dengan diet TKTP yang diberikan oleh rumah sakit pada pasien pasca bedah selama 10 hari dapat meningkatkan asupan
protein pasien secara bermakna dibandingkan dengan pasien yang hanya menerima
diet TKTP dari rumah sakit.
Peningkatan ini tampaknya diikuti dengan
meningkatnya nafsu makan pasien yang terlihat pada jumah makanan yang
dihabiskan oleh pasien. Besar peningkatan asupan protein dalam penelitian ini
lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Taslim, dkk (2005) dimana peningkatan asupan protein pada kelompok intervensi
hanya sebesar 8,9 g.
Hasil analisis tingkat asupan lemak antara
kelompok intervensi dan kelompok kontrol tidak berbeda secara bermakna dengan
nilai p > 0,05. Asupan lemak rata-rata sebelum mendapatkan kapsul konsentrat
ikan gabus adalah 30,4 g dan meningkat menjadi 53,2 g pada kelompok intervensi
begitu pula pada kelompok kontrol asupan rata-rata sebelum intervensi adalah
sebesar 30,8 g dan meningkat menjadi 39,9 g.
Berdasarkan hasil uji paired t-test diperoleh bahwa terdapat perbedaan bermakna antara
sebelum dan sesudah intervensi pada kelompok intervensi yang mendapatkan kapsul
konsentrat ikan gabus selama 10 hari bersama-sama dengan diet TKTP dari rumah
sakit. Pada kelompok ini terjadi peningkatan asupan lemak secara bermakna
sebesar 22,8 g, sedangkan pada kelompok kontrol terjadi peningkatan yang tidak
bermakna sebesar 9,1 g. Ini menunjukkan bahwa pemberian kapsul konsentrat ikan
gabus selama 10 hari dapat meningkatkan asupan lemak pasien secara bermakna
dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Hasil ini tidak sejalan dengan penelitian
Taslim, dkk (2005) yang mendapatkan peningkatan asupan lemak yang tidak
bermakna sebesar 1,22 gram.
Dengan meningkatnya asupan lemak pada
pasien, dapat menghemat penggunaan protein untuk sintesis protein, sehingga
protein tidak digunakan sebagai sumber energi. Hal ini dapat dilihat dari
meningkatnya LILA pasien dalam sepuluh hari setelah intervensi dilakukan,
meskipun peningkatan tersebut belum mencapai pada tingkat yang normal.
Peranan utama karbohidrat di dalam tubuh
adalah menyediakan glukosa bagi sel-sel tubuh, yang kemudian diubah menjadi
energi. Glukosa memegang peranan penting dalam metabolisme karbohidrat.
Jaringan tertentu hanya memperoleh energi dari karbohidrat seperti sel darah
merah serta sebagian besar otak dan system syaraf 15.
Hasil penelitian dengan menggunakan uji t-independent di peroleh bahwa tidak ada
perbedaan bermakna asupan karbohidrat antara kelompok intervensi dan kelompok
kontrol dengan nilai p > 0,05. untuk kelompok intervensi rata-rata asupan
karbohidrat adalah sebesar 165,4 g dan setelah 10 hari asupan ini meningkat
menjadi 254,9 g begitu pula pada kelompok kontrol yang hanya mendapatkan diet
TKTP dari rumah sakit asupan rata-rata karbohidrat adalah sebesar 202,8 g
setelah 10 hari meningkat menjadi 205,1 g.
Berdasarkan uji paired t-test, pada kelompok intervensi terdapat perbedaan bermakna
antara sebelum dan sesudah intervensi. Pada kelompok ini terjadi peningkatan
asupan karbohidrat secara bermakna sebesar 89,5 g (p = 0,002), sedangkan pada
kelompok kontrol terjadi peningkatan asupan karbohidrat yang tidak bermakna
sebesar 2,2 g (p = 0,881). Ini
menunjukkan bahwa konsumsi kapsul konsentrat ikan gabus bersama-sama
dengan diet TKTP dari rumah sakit dapat meningkatkan asupan karbohidrat pasien
secara bermakna dibandingkan dengan pasien yang hanya menerima diet TKTP.
Peningkatan asupan karbohidrat ini seirng dengan meningkatnya nafsu makan
pasien yang ditandai dengan habisnya makanan yang dihidangkan.
Besar peningkatan asupan karbohidrat dalam
penelitian ini lebih tinggi dari asupan karbohidrat yang dilaporkan oleh
Taslim, dkk (2005) sebesar 45,09 gram.
Zinc menupakan salah satu mineral yang
penting dalam proses penyembuhan. Zinc akan meningkatkan kekuatan tegangan
(gaya yang diperlukan untuk memisahkan tepi-tepi) penyembuhan luka17.
Hasil analisis dengan menggunakan uji t-independent diperoleh bahwa tidak ada
perbedaan bermakna asupan zinc antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol
dengan nilai p > 0,05. Pada kelompok intervensi konsumsi zinc rata-rata
pasien sebelum intervensi adalah sebesar 4,6 mg dan setelah pemberian kapsul
konsentrat ikan gabus selama 10 hari meningkat menjadi 7,3 mg begitu pula pada
kelompok kontrol asupan rata-rata zinc pasien adalah sebesar 5,0 mg setelah 10
hari meningkat menjadi 5,8 mg.
Analisis dengan menggunakan paired t-test menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan bermakna asupan zinc sebelum dan sesudah intervensi pada kelompok
intrvensi. Pada kelompok ini terjadi peningkatan zinc secara bermakna sebesar
2,7 mg (p = 0,003), sedangkan pada kelompok kontrol peningkatan asupan zinc
terjadi secara tidak bermakna sebesar 0,8 mg (p = 0,224).
Zinc berperan dalam berbagai aspek
metabolisme, seperti reaksi-reaksi yang berkaitan dengan sintesis dan degradasi
karbohidrat, protein, lemak dan asam nukleat. Taraf darah seng yang tinggi dapat mencegah
terjadinya kehilangan indra rasa yang biasanya disertai penurunan nafsu makan.
Besar peningkatan asupan zinc ini seiring
dengan meningkatnya nafsu makan pasien yang ditandai dengan habisnya konsumsi
makanan yang disediakan bagi pasien. Besar peningkatan asupan zinc pada
penelitian inii lebih besar dari hasil yang dilaporkan oleh Taslim, dkk (2005)
sebesar 2,01 mg
Vitamin C banyak berkaitan dengan
pembentukan kolagen. Vitamin C diperlukan untuk hidroksilasi prolin dan lisin
menjadi hidroksiprolin, bahan penting dalam pembentukan kolagen. Kolagen
merupakan senyawa protein yang mempengaruhi integritas struktur sel di semua
jaringan ikat, seperti pada tulang rawan, matriks tulang, dentin gigi, membrane
kapiler, kulit dan tendon (urat otot). Dengan demikian, vitamin C berperan
dalam penyembuhan luka, patah tulang, perdarahan di bawah kulit dan perdarahan
gusi15.
Hasil analisis dengan menggunakan uji t-independent diperoleh bahwa tidak
terdapat perbedaan bermakna asupan vitamin C antara kelompok intervensi dan
kelompok kontrol dengan nilai p > 0,05. Asupan vitamin rata-rata pada
kelompok intervensi adalah sebesar 30,8 mg meningkat menjadi 34,4 mg setelah 10
hari mendapatkan intervensi kapsul konsentrat ikan gabus sedangkan pada
kelompok kontrol asupan vitamin C rata-rata adalah sebesar 15 mg meningkat
menjadi 20,8 mg setelah 10 hari.
Berdasarkan analisis paired t-test, baik pada kelompok intervensi maupun pada kelompok
kontrol tidak terdapat perbedaan bermakna sebelum dan sesudah intervensi. Pada
kelompok intervensi terjadi peningkatan asupan vitamin C secara tidak bermakna
sebesar 3,6 mg (p = 0,759) begitu pula pada kelompok kontrol terjadi
peningkatan secara tidak bermakna sebesar 5,8 mg (p = 0,161).
Status Gizi
Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai
akibat konsumsi makanan dengan penggunaannya oleh tubuh15. Menurut
Sayogo, status gizi adalah hasil keseimbangan konsumsi zat-zat gizi dengan
penggunaan dari individu tersebut, dimana individu dikatakan berada pada
keadaan gizi normal apabila terdapat keseimbangan antara keduanya. Pengukuran
yang dilakukan untuk menentukan status gizi pasien hanya menggunakan indikator
LILA, mengingat pengukuran berat badan dan tinggi badan tidak dapat dilakukan
karena pasien yang menjadi sampel tidak memungkinkan untuk dilakukan pengukuran
akibat cedera yang diderita.
Hasil
analisis dengan menggunakan t-independent
menunjukkan bahwa tidak terdapat
perbedaan bermakna LILA antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol dengan
nilai p > 0,05. Pada kelompok intervensi rata-rata LILA pasien sebesar 21,7
cm meningkat menjadi 21,8 cm setelah
diberikan intervensi selama 10 hari, dibandingkan pada kelompok kontrol
rata-rata LILA pasien adalah sebesar 24,5 cm dan mengalami penurunan menjadi
24,1 cm setelah 10 hari. Hasil ini menunjukkan bahwa terjadi deplesi jaringan
lemak tubuh akibat asupan yang tidak adekuat.
Berdasarkan
analisis dengan menggunakan paired t-test
diperoleh bahwa pada kelompok intervensi terjadi peningkatan LILA secara
tidak bermakna sebesar 0,04 cm (p = 0,919) dan pada kelompok kontrol terjadi
penurunan LILA secara bermakna sebesar 0,04 cm (0,002).
Tahap
awal asupan energi dan protein akan digunakan untuk kebutuan fisiologis, selanjutnya pemenuhan untuk
aktifitas fisik dan peningkatan deposit zat gizi (karbohidrat, protein dan
lemak). Peningkatan deposit ini akan terlihat pada parameter antropometri
seperti peningkatan berat badan, peningkatan massa tubuh dan parameter antropometri
lainnya seperti LILA.
LILA
merupakan indikator yang digunakan untuk menilai simpanan protein otot yang
biasanya rendah pada pasien malnutrisi. Peningkatan nilai LILA menggambarkan
telah terjadi peningkatan simpanan protein endogen yang berhubungan dengan
peningkatan asupan protein sebagai sumber asam amino.
I. Proses Penyembuhan
Pasien yang menjadi sampel dalam penelitian ini umumnya mengalami luka
dengan tingkat yang berbeda-beda akibat kecelakaan. Fase penyembuhan luka
terbagi dalam 4 fase yang meliputi fase respons inflamasi akut terhadap cedera,
fase destruktif, fase poliferatif, dan fase maturatif. Dalam kenyataannya,
fase-fase tersebut saling tumpang tindih dan durasi dari setiap fase serta
waktu untuk penyembuhan yang sempurna bergantung pada beberap faktor, termasuk ukuran dan tempat luka, kondisi
fisiologis umum pasien, dan adanya bantuan ataupun intervensi dari luar yang
ditujukan dalam rangka mendukung penyembuhan18.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna lama
rawat inap antara kelompok kasus dan kelompok kontrol dengan nilai p = 0,604 (p
> 0.05). lama rawat inap rata-rata pada kelompok intervensi adalah 30,08 ±
19,037 hari sedangkan pada kelompok
kontrol 33,77 ±
16,724 hari. Dilihat dari lamanya rawat inap, pada kelompok intervensi
penyembuhan luka lebih cepat 4 hari daripada kelompok kontrol.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kelompok intervensi lebih banyak
pasien dengan proses penyembuhan yang cepat dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Pada hari pertama intervensi terlihat jelas luka dengan tanda-tanda
infeksi seperti jaringan nekrosis dan pus (nanah). Setelah sepuluh hari
intervensi dengan menggunakan kapsul konsentrat ikan gabus tanda-tanda infeksi
tersebut berkurang, hal ini dapat dihubungkan dengan semakin meningkatnya
asupan zat gizi pasien terutama zat-zat gizi yang dapat membantu proses
penyembuhan luka dan juga dengan meningkatnya kadar albumin serum pada pasien.
Sedangkan pada kelompok kontrol terlihat penurunan penyembuhan luka. Pada
kelompok ini terlihat jelas perubahan
luka pasien. Pada hari pertama
pengamatan setelah bedah dilakukan, luka pada pasien nampak jelas dengan
tanda-tanda infeksi seperti jaringan nekrosis dan pus (nanah). Setelah sepuluh
hari pengamatan terlihat tanda-tanda infeksi tersebut semakin luas. Pada
kelompok kontrol terjadi penigkatan asupan makanan yang tidak signifikan
disertai dengan menurunnya kadar albumin secara signifikan.
Terlambatnya penyembuhan semua
luka tidak akan dapat dihindari apabila diet pasien mengalami defisiensi
protein, kalori, vitamin seperti vitamin A dan C, serta mineral, seperti besi,
seng dan tembaga18. Setelah pembedahan umumnya penderita mengalami
malnutrisi yang bermakna19.
Meskipun rata-rata asupan pasien yang diberikan mengalami peningkatan
namun belum mencapai standar normal untuk mencegah malnutrisi. Hal ini
disebabkan oleh faktor-faktor lain yang mempengeruhi lama penyembuhan pasien.
Salah satunya adalah stress pascatrauma. Pada awal kejadian, penderita sering
mengalami krisis kehidupan akibat terganggunya fungsi-fungsi vital. Setelah
krisis teratasi penderita masih berhadapan dengan perasaan sakit yang hebat
baik akibat luka-lukanya maupun akibat pengobatan lukanya. Perawatan yang panjang pada luka sering membuat
penderita menjadi putus asa.20. Perasaan ini yang akan mempengaruhi
jumlah asupan makanan pada pasien di rumah sakit. Penderita juga sering
mengalami masalah kecemasan akibat sekuele dari emosinya, dengan gejala bias
berbentuk delirium, anxietas, depresi, gangguan stress pascatrauma, dan
lain-lain.
KESIMPULAN
1. Pemberian kapsul konsentrat ikan gabus
selama 10 hari dapat meningkatkan kadar albumin pasien pasca bedah sebesar 0,75
mg/dl dibanding pasien kontrol
2. Pemberian kapsul konsentrat ikan gabus
selama 10 hari dapat meningkatkan asupan zat energi, protein, lemak,
karbohidrat, dan zinc pasien pascabedah masing-masing sebesar 653,8 kal, 25,2
g, 22,8 g, 89,5 g, dan 2,7 mg dibanding pasien kontrol
3.
Pemberian kapsul konsentrat ikan gabus dapat
mempercepat lama rawat inap 4 hari dibandingkan kelompok kontrol
4.
Pemberian kapsul konsentrat ikan gabus selama 10 hari
dapat mempercepat penyembuhan luka yang nampak pada semakin cepat berkurang
tanda-tanda infeksi pada luka
SARAN
1. Perlu pemberian kapsul konsentrat ikan
gabus lebih lama lagi (lebih dari 10 hari) untuk mempercepat penyembuhan luka
2.
Perlu dilakukan pengukuran-pengukuran indikator status
gizi pasien untuk menentukan berapa besar kebutuhan pasien
3.
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk melihat
proses penyembuhan luka secara lebih spesifik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Vincant, Jean-Louis, et al. 2003. Hypoalbuminemia in Acute Illness : Is There
a Rationale for Intervention. Ann Surg 237 (3):319-334
2. Sung,
Jin, et al. 2004. Admission Serum Albumin
Is Predictive of Outcome in Critically Ill Trauma Patients. The American
Surgeon
3.
Gibbs, James, et al. 1999. Preoperative Serum Albumin Level as a Predictor of Operative Mortality
and Morbidity. Arshives of Internal Medicine, Vol 34.
4.
Sjamsuhidajat,
R, Wim de Jong. 1997. Buku-Ajar
Ilmu Bedah. EGC. Jakarta.
5.
Lalisang,
Toar JM. 1998. Peran Nutrisi pada Kasus
Bedah dalam Kapita Selekta Nutrisi
Klinik. Daldiyono dan Thaha, AR. Perhimpunan Nutrisi Enteral dan
Parenteral Indonesia. Jakarta.
6.
Finelli C, et al. 2001. Use and Abuse of Albumin : A Survey of Clinical Records from An
Internal Medicine Ward. Journal of Nutrition 21:183-5.
7.
Johanes, Cavalo. 1998. Studi Profil Asam Amino Albumin dan Mineral Zn pada Ikan Gabus
(Ophicepalus striatus) dan Ikan Tomang. Fakultas Perikanan Unibraw. Malang.
9.
Daldiyono
dan Thaha, A.R (ed). 1989. Kapita
Selekta Nutrisi Klinik. Permepari. Jakarta.
10. Julius. 2005. Metabolisme Protein Pada Penyakit Hati. http://www.internafkunand.or.id/
metabolisme%20albumin.htm
11. Neligan, Patrick. 2001. Critical Care Medicine : Tutorial.
University of Pennsylvania.
12. Linder, MC. 1992. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme. Terjemahan oleh Ainuddin.
Parakkasi. UI Press. Jakarta.
13. Taslim, Astuti Nurpudji, dkk. 2005. Laporan Penelitian Ikan Gabus. Pusat
Penelitian Pangan, Gizi dan Kesehatan Unhas. Makassar
14. Hartono,
A. 2000. Buku AJAR Nutrisi Bedah
(Disorders of Nutrition and Metabolism in Clinical Surgery Under Standing and
Management). Alih Bahasa: Darman Iyan. Jakarta.
15. Almatsier, Sunita. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Gramedia.
Jakarta.
16. Wilmore,
Douglas W. 2001. Abstrak The Effect of
Glutamine Supplementation in Patients Following Elective Surgery and Accidental
Injury. American Society for Nutritional Sciences.
17. Moore,
Mary Courtney. 1997. Buku Pedoman Terapi
Diet dan Nutrisi (Pocket Guide to Nutrition and Diet Therapy). Edisi kedua.
EGC. Jakarta.
18. Morison, Moya. 2002. Manajemen Luka. EGC. Jakarta
19. Widjanarko, Jasin, Toar JM Lalisang. Dampak Pembeahan Mayor Elektif pada Status
Nutrisi.Jurnal Medika Nusantara Vol 19 No. 1, Januari-Maret 1998.
20. Suwardi, Yos, dkk. 2005. Prevalensi Gangguan Stress Pascatrauma pada
Penderita Dewasa dengan Luka Bakar Sedang dan Berat. Majalah Kedokteran
Indonesia, Volume: 55, Nomor : 9, September 2005.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar